Seorang dokter jenius dari satuan angkatan darat meninggal karena tanpa sengaja menginjak ranjau yang di pasang untuk musuh.
Tapi bukanya ke akhirat ia justru ke dunia lain dan menemukan takdirnya yang luar biasa.
ingin tau kelanjutannya ayo ikuti kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Bayangan samar perempuan berjubah ungu muncul di belakang Xiumei, lalu bayangan pria berpedang perak di belakang Xiaoran. Leluhur mereka—roh yang tidur di garis darah—muncul, menyatukan cahaya.
Tiang cahaya perak-ungu menjulang lebih tinggi, menembus langit kabut. Segel bergetar, retakan mulai menutup perlahan.
Ledakan
Penjaga Segel menjerit marah, tubuhnya membesar. “TIDAK! Kalian tidak bisa mengurung kami lagi!” Ia meledakkan seluruh tubuhnya, sayap kabut menyebar menjadi badai.
Kabut melanda, mengguncang gunung. Pohon-pohon tumbang, batu-batu berguguran. Yue Lan berputar di udara, menahan badai dengan api. Bai He membuka sayap, menciptakan pusaran cahaya. Ruan Tian menahan tanah agar lingkaran tidak hancur. Shui Ying memelintir tubuhnya, melindungi saudara Wu.
Mo Feng, tubuhnya berlumuran darah, berdiri di depan lingkaran. Aura hitam-ungu menyala sampai ke puncak gunung. Ia menatap Penjaga Segel dengan sorot tajam.
“Aku… lahir dari kabut,” katanya parau. “Tapi aku memilih menjadi perisai mereka!”
Dengan teriakan keras, ia meledakkan seluruh auranya, cakar hitam-ungu menebas tubuh Penjaga. Tubuh kabut itu robek, menjerit, dan dalam sekejap ditelan cahaya segel yang kembali rapat.
Ledakan besar mengguncang pegunungan. Cahaya perak-ungu melingkupi semuanya.
Lalu… hening.
Kabut menghilang perlahan. Gunung Kabut kembali sunyi, meski hancur di banyak tempat. Lingkaran segel kini bersinar stabil, retakan tertutup.
Xiaoran terhuyung, pedangnya nyaris terlepas. Xiumei jatuh berlutut, wajah pucat, tapi tersenyum. “Ran’er… kita berhasil lagi…”
Mo Feng jatuh berlutut, darah menetes dari bibir, tubuhnya penuh luka. Namun ia tertawa lirih. “Kalian… memang keras kepala. Bahkan kabut pun menyerah.”
Shui Ying menundukkan kepala naga birunya anggun, suaranya dalam. “Kalian membuktikan diri lagi. Dunia ini punya harapan.”
Yue Lan melipat sayapnya, bulunya masih menyala lembut. “Tapi harga yang kalian bayar tidak kecil. Kalian harus siap… karena segel berikutnya tak akan mudah.”
Bai He mendekat, matanya lembut. “Elegansi sebuah perang adalah bertahan. Hari ini, kalian bertahan dengan indah.”
Ruan Tian mengaum rendah, suara seperti gemuruh bumi. “Aku tidak memberi pujian sembarangan. Tapi kalian… layak memimpin.”
Xiaoran menatap mereka semua, lalu menoleh pada kakaknya. Ia menggenggam tangan Xiumei erat, mata berkilau. “Kita belum selesai. Tapi aku bersumpah… aku akan melindungimu, melindungi semua orang. Sampai kabut ini benar-benar lenyap.”
Dan di atas Gunung Kabut, bintang-bintang yang tadinya pucat kini bersinar lebih terang, seolah langit sendiri memberi restu.
Sementara itu, jauh di istana Xiang, malam itu pertemuan rahasia kembali terjadi. Pejabat-pejabat yang sudah menerima kabut di tubuhnya kini berwajah pucat, tapi mata mereka merah samar.
Menteri Han menggenggam tangannya erat. “Segel ketiga juga gagal. Anak perempuan itu… makin kuat. Kalau begini, kita semua akan kehilangan segalanya.”
Pria berwajah tirus, utusan kabut, tersenyum tipis. “Tenang. Kalian lupa… segel tidak hanya ada empat. Segel terakhir… bukan hanya penjara, tapi pintu. Dan pintu itu… berada tepat di bawah istana Xiang.”
“Jika itu terbuka,” lanjutnya, “bahkan ratu agung itu tak akan bisa menahan badai. Dunia akan jadi milik kabut.”
Di Gunung Kabut, rombongan mulai bersiap kembali. Wu Jing memimpin pasukan untuk menjemput mereka. Melihat Xiaoran dan Xiumei masih hidup, para prajurit bersorak lega, meski ketakutan masih tergambar di wajah mereka.
Xiaoran berdiri di puncak, memandang jauh ke arah timur, ke arah istana. Hatinya tahu—pertempuran sejati belum datang.
Ia berbisik lirih, hanya didengar angin malam:
“Segel terakhir… akan menelan segalanya. Dan aku harus siap, meski harus mengorbankan diriku.”
Di sampingnya, Mo Feng menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Kalau kau jatuh, Xiaoran… aku yang akan jatuh lebih dulu.”
Xiumei tersenyum tipis, menggenggam tangan adiknya. “Dan kalau kau jatuh, aku akan ikut jatuh. Karena kita satu darah, satu takdir.”
Shui Ying, Yue Lan, Bai He, dan Ruan Tian serta Luo Yun berdiri mengelilingi mereka, anggun dan berwibawa, seperti mahkota cahaya yang menjaga ratu agung.
Dan malam itu, perjalanan menuju segel keempat dimulai perjalanan menuju pintu terakhir yang akan menentukan hidup atau musnahnya dunia
Bersambung
btw kbr pangeran kedua dan permaisuri gmn ya? gk dibahas lg ending nya
mana misterius pulak lagi
ngambil kesempatan dalam kesempitan ini namanya, gak mau buang tenaga tapi cuma mau untung nya aja.