"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Kamu Berubah, Wisnu."
Beberapa kali kepalanya mendongak dengan mata berair. Sewindu terus saja menarik ingusnya dalam beberapa puluh menit terakhir.
Tiba-tiba saja lidahnya tak dapat merasakan apa pun dan hidungnya berair saat bangun pagi ini. Mungkin karena tubuhnya yang terlalu lama berada di bawah hujan kemarin.
Langit masih cukup gelap, namun suara benturan spatula dan permukaan kuali sudah terdengar dari arah dapur. Aroma tumis kangkung menguar, meski Sewindu tidak dapat menciumnya.
“Saya juga mau sarapan, Ndu,” ucap Wisnu yang baru saja keluar dari kamarnya.
Pria itu mengusap pelan matanya sebelum kembali menggunakan kacamata. Rambutnya mekar bagai sarang burung, tak dia pedulikan.
Mendengar itu, Sewindu menyendokkan sedikit kuah tumis kangkung dari kuali. Disodorkannya pada Wisnu yang sedang membasahi kerongkongannya dengan segelas air putih.
“Cobain, Mas. Lidahku nggak bisa ngerasain,” katanya.
Tanpa mengambil sendok dari tangan Sewindu, dia langsung membuka mulutnya. Wajahnya sedikit mengernyit begitu masakan itu masuk ke dalam mulutnya.
Sewindu sontak ikut mengernyit dibuatnya. “Nggak enak, ya? Keasinan? Atau malah nggak ada rasanya?”
“Panas! Sebelum ngasih tuh tiup dulu, Ndu!”
Wisnu buru-buru menenggak habis sisa air putih dalam gelasnya. Lidahnya kebas begitu selesai menelannya.
Mendengar protes itu, Sewindu mencibir, “Salah sendiri nggak mau niup.”
“Mau ikut sarapan?” tanyanya, mengulang ucapan Wisnu sebelumnya.
Terdengar derit kursi makan yang ditarik pelan. Wisnu mendudukkan dirinya di sana seraya memandangi punggung Sewindu.
Dia mengangguk singkat. “Kemarin saya nggak sempat sarapan di luar gara-gara nganterin kamu,” sahut Wisnu dari belakang sana.
Dia melirik pada penanak nasi yang lampunya masih menyala merah. Begitu pula dengan uap tebal yang menguar dari katup uapnya. Sudah pasti isinya masih berupa beras.
Dapur ini menjadi ruangan yang terasa paling hangat di antara dinginnya pagi. Wisnu jadi merasa lebih betah di sana.
Sementara, gadis yang baru memindahkan masakannya ke dalam piring itu berbalik. Diletakkannya dua piring berisi tumis kangkung dan lauk gorengan itu di atas meja.
“Ngapain?” tanya Sewindu saat melihat Wisnu yang masih duduk di sana.
Biasanya, pria itu tidak akan betah berlama-lama ada di ruangan yang sama dengannya. Namun, pagi ini Wisnu malah berdiam di sana seraya memantau pergerakannya.
“Nggak ngapa-ngapain,” sahut Wisnu seraya mengalihkan pandangannya.
Sewindu memincing samar. “Mau marahin aku? Kemarin kan Mas Wisnu belum sempat marah.”
Gelengan menjadi jawaban yang jelas dari Wisnu. “Nggak, ngapain marah?”
“Kemarin Mas Wisnu marah tuh pas baru pulang.”
Wisnu terdiam sejenak. Bahkan saat berbicara di dapur kemarin, dia masih cukup kesal pada Sewindu yang pulang sendiri tanpa mengabarinya lebih dahulu.
Namun, entah keajaiban dari mana. Saat Sewindu mendekat dan mendongak ke arahnya kemarin, lalu meraup wajahnya dengan tangan kosong.
Emosi Wisnu mereda begitu saja setelahnya. Entah karena aroma dan hangat teh melati yang masih melekat di tangan gadis itu, atau malah mata bulat yang menatapnya — menggemaskan.
Wisnu segera menggelengkan kepalanya. Membuyarkan isi lamunannya yang semakin nyeleneh.
“Nggak jadi?” tanya Sewindu, dia ikut menggeleng sambil memandangi lawan bicaranya.
Wisnu kembali menggeleng. “Nggak jadi,” ulangnya menegaskan.
“Saya mau sarapan sama kamu hari ini,” lanjutnya, membuat Sewindu menaikkan alisnya.
Gadis yang masih enggan duduk itu mendelik samar. “Sarapan sama aku?” ulangnya seraya menunjuk dirinya sendiri.
"Sarapan bareng di sini?" tanya Sewindu, lagi.
Pria yang sudah menjadi suaminya itu mengangguk. sambil mengunyah gorengan yang tersaji di atas meja, dia menaikkan pandangan pada Sewindu.
Senyum kecil kembali terbit di wajah tampannya. Mata yang membulat itu mungkin akan menjadi ekspresi favoritnya mulai sekarang.
“Kamu lucu kalau lagi begitu.”
Sewindu menutup mulutnya yang menganga lebar. “Mas Wisnu suka sama aku?!”
Lagi, entah sudah kali keberapa pertanyaan yang sama keluar dari bibir manis itu. Namun, kali ini Sewindu benar-benar menanyakannya. Bukan semata ingin membuat Wisnu kesal seperti biasanya.
Terdengar helaan nafas dari Wisnu. Senyuman kecilnya luntur seketika, kembali dengan raut dingin yang dia bawa setiap harinya.
Pria itu berdiri dari duduknya. Sebelum melewati Sewindu, dia sempatkan untuk mendorong dahi kecil itu dengan telunjuknya.
“Jangan suka mikir kejauhan kayak gitu!”
...****************...
“Masuk dulu, yuk. Ikut sarapan,” ucap Dara dari ambang pintu mobil yang terbuka lebar.
Hari ini, Wisnu datang lebih awal dari biasanya. Berkat Sewindu yang memilih untuk berjalan sedikit lebih jauh agar Wisnu tak perlu terjebak macet di depan kampus.
“Emang orang rumah udah pulang semua?” tanya Wisnu, tak langsung menerima seperti biasanya.
Dara menggeleng. “Cuma ada aku aja.”
Tampak Wisnu mengatupkan bibirnya sesaat. Sementara, Dara menunggunya tanpa masuk ke dalam mobil lebih dulu.
Setelah beberapa detik berlalu, akhirnya Wisnu menjawab, “Nggak deh, Ra. Aku tunggu di sini aja kalau kamu mau sarapan dulu.”
Wisnu yang hari ini sangat berbeda dari yang sebelumnya. Walau sebenarnya, Dara sudah merasakan perubahan itu sejak beberapa minggu terakhir.
Panggilan sayang yang biasanya keluar dengan mudahnya dari bibir Wisnu, sudah jarang sekali terdengar di telinganya. Waktu bersama juga rasanya lebih dingin dari biasanya.
“Ya udah. Tunggu sebentar, aku ambil tas dulu.”
Tak butuh waktu lama untuk menunggu Dara di sana. Wanita cantik itu segera kembali dengan tas kecil dan jas dokter yang tersampir di lengannya.
Dia kembali masuk ke dalam mobil dengan senyuman kecil di wajahnya. “Yuk!”
“Ini kamu nggak jadi sarapan?” tanya Wisnu yang mulai menjalankan mobilnya.
Dara menggeleng. “Kamu tadi ditawarin juga nggak mau.”
Wisnu melirik sekilas dari ekor matanya. Dia membasahi bibirnya sejenak. “Kamu di rumah sendirian, Ra. Masa aku masuk cuma berduaan sama kamu?”
“Kemarin kan juga gitu,” sahut Dara cepat.
Jawaban itu mampu membuat Wisnu kehabisan kata-kata. Tak tahu lagi mau menjawab apa atas fakta yang diucapkan wanita cantik itu.
“Ya, nggak enak aja. Kemarin juga aku buru-buru pulang kan?”
Dara menggapai tangan kiri Wisnu dari roda kemudi. Ditautkannya jemari besar itu dengan jemarinya.
Genggaman itu tak lagi erat dan hangat seperti biasanya. Dara dapat merasakannya dengan jelas sekarang.
Mata wanita itu melirik pada leher Wisnu yang sudah lama menjadi pusat perhatiannya. “Kamu sekarang suka pakai kalung, ya?”
Beruntung lampu lalu lintas berubah merah di sana. Wisnu dapat menoleh dan tersenyum kecil pada kekasihnya. Tak menjawab apa-apa atas ucapan Dara barusan.
Kalung berantai perak itu bukan hanya sekedar kalung. Ada sebuah cincin yang menggantung di sana, di balik bajunya.
Cincin pernikahannya dengan Sewindu tak pernah ada di jari manisnya. Benda yang mengikat dua orang dalam sebuah hubungan itu selalu menggantung dekat dengan jantungnya.
“Kamu berubah, Nu.”
Akhirnya, Dara mengungkapkan perasaan yang mengganjal dalam benaknya selama ini.
Mata cantik itu tak lepas dari wajah dingin Wisnu. Tak ada lagi senyum tipis yang selalu singgah di sana setiap bersamanya.
“Kalau kamu berubah karena aku nolak lamaran kamu kemarin, aku bisa terima kamu sekarang.”
Mata di balik lensa itu sedikit mendelik. Ditatapnya wanita cantik yang duduk di sampingnya itu.
“Asal kamu nggak pergi, Nu. Aku akan ngelakuin apapun asal kamu nggak pergi.” lanjut Dara tanpa pikir panjang.