NovelToon NovelToon
Terpaut Cinta Suami Mama

Terpaut Cinta Suami Mama

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Beda Usia
Popularitas:18.9k
Nilai: 5
Nama Author: Arish_girl

Viona mendapati sang mama yang tiba-tiba menikah lagi tanpa persetujuan darinya, membuat gadis itu menolak tegas dan menentang pernikahan itu. Ia yang awalnya sangat membenci ayah barunya karena usia sang ayah tiri jauh lebih muda dari ibunya, kini justru kepincut ayah tiri nya sendiri. Yuk kepoin bagaimana ceritanya!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arish_girl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perasaan Viona

"okey, Tristan, ayoo mampir. Sekalian aku kenalkan kamu dengan dedi." kata Viona saat Tristan mengantarkan Viona pulang selepas dari mall.

Tristan turun dari mobil, ia pun memutuskan mampir ke rumah Viona untuk berkenalan dengan ayah Viona.

"Viona, Aku turut berduka atas kepergian tante Rossa." kata Tristan turut menyampaikan duka citanya, setelah Fiona menceritakan tentang kepergian ibunya.

"ya, terimakasih." sahut Viona.

"Vio, kamu sudah pulang?" Steven datang dan menatap Tristan.

"selamat sore, om." sapa Tristan dengan sopan saat Steven menatapnya.

Steven membeku, tatapan matanya jelas tak suka saat melihat Tristan. "kau siapa?" katanya dengan nada suara dingin.

"saya, om. Saya adalah...!" kata kata Tristan terpotong saat Viona tiba-tiba menyela.

"Dia Tristan, ded. Pacar baru aku." sahut Viona.

"pacar?!!" dahi Steven mengerut.

"iya, om. Aku bawa Tristan kemari agar dedi mengenalnya, sekaligus meminta restu." sahut Viona.

"Vio, bukan dedi ngelarang kamu pacaran. Tapi kamu masih sekolah, bukan? lebih baik kamu fokus saja dengan sekolah kamu. Sebelum kamu lulus, dedi gak akan mengijinkan kamu buat pacaran. Itu sudah keputusan dedi. Kau tak boleh membantah." kata Steven pelan namun tegas. Pria itu tak ingin apa yang sudah menjadi keputusannya di langgar Viona.

"iya, Dedi. Aku tahu itu. Kami janji, kami akan jaga batasan, sebelum kami lulus." kata Viona mantap penuh tekad.

"Tristan, ayoo.. masuk. Aku buatin minum. Viona mengabaikan ucapan Steven, ia meminta Tristan masuk dan memintanya duduk di sofa ruang tamu. Viona masuk, dan mengambilkan air dingin untuk Tristan.

Steven masih berdiri membeku, memperhatikan dua sejoli itu yang sedang duduk di sofa.

"Ayoo, diminum!" pinta Viona.

Tristan mengangguk, ia pun menenggak segelas jus buah yang dingin. Begitu pula dengan Viona, ia juga menenggak minuman yang sama dengan Tristan.

"makasih, Vio." ucap Tristan.

Viona mengangguk sambil menghabiskan jus melon itu. "ah, segernya...!!" ucapnya.

"Vio" tangan Tristan mendekati bibir Viona, jari jari pria itu dengan lembut menyentuh sudut bibir Viona. Ada sisa minuman yang menempel di sana. Tristan berniat ingin membersihkannya.

gerakan Viona terkunci, seakan memberikan peluang bagi Tristan untuk mendekatinya lebih. Tristan menyentuh bibir seksi Viona dengan lembut, tatapan keduanya bertemu dan saling mengunci. Ada sesuatu di antara tatapan keduanya. Sesuatu yang mengobrak-abrik jiwa mereka berdua.

"ehem... ehem..!!"

Steven berdehem. Pria itu sengaja melakukannya Untuk menghentikan Tristan dan Viona yang semakin dekat dan hampir berciuman.

Suara deheman itu Sontak membuat Tristan dan Viona saling berjauhan.

"kurasa Kau boleh pergi! biarkan Fiona istirahat, dia pasti lelah setelah seharian bersekolah." kata Steven mengusir Tristan secara lembut.

"oke, Fiona. Kalau begitu aku pamit pulang dulu, besok usai pulang sekolah kita bisa ketemuan lagi." kata Tristan sembari berdiri untuk meninggalkan Fiona.

"aku pamit, Om." Kata Tristan.

Steven hanya menanggapi ucapan Tristan dengan tatapan dingin, dan membiarkan pemuda itu melangkah meninggalkan rumah itu.

"Dedi, Dedi apa-apaan sih! Kenapa Dedi malah mengusir Tristan." Fiona melotot, menatap tajam Steven dengan tatapan tidak suka.

Steven menarik nafas dalam, "sudah, mending kamu naik ke atas, Mandi dan bersihkan dirimu. Dedi akan siapkan makanan untukmu, kamu pasti lapar." kata Steven.

"ogah, aku tidak lapar! Dedi makan saja sendiri atau kalau perlu Dedi makan saja di temenin sama pacar Dedi sekalian. Nggak usah lagi urusin aku, mau aku lapar atau tidak Itu urusanku." kata Viona dengan suara meninggi, dia menghentakkan kaki kesal, kemudian beranjak menuju tangga.

Fiona berlari terbata menuju kamarnya, napasnya tersengal dan hati dipenuhi badai amarah. Begitu pintu kamar terkunci dengan keras, ia segera menyambar ke kamar mandi, tanpa aba-aba menyalakan shower yang menyemburkan air dingin deras. Air itu menghantam tubuhnya yang masih mengenakan seragam, membasuh bukan hanya kulitnya, tapi juga tangis pilu yang meledak dari dada. Tangis Fiona meledak hebat, tersedu-sedu di bawah derasnya aliran air, seolah ingin menghapus luka yang membekas dalam sanubarinya. Sakit hati itu menusuk dalam — karena Steven, ayah tirinya, memutuskan membuka hati untuk wanita lain. Seolah ruang di hatinya kini berkurang, dan Fiona kalah dari kehadiran sosok baru itu. Cemburu meraja di relung jiwa, bergejolak seperti api yang sulit padam. Fiona menolak kenyataan bahwa ia bukan satu-satunya wanita yang pantas berdampingan dengan Steven, menggantikan posisi ibunya yang dulu begitu dicintai. 

Dunia kecilnya runtuh perlahan, diguncang oleh rasa sakit dan pengkhianatan yang tak terucapkan. Kini, dia merapat ke lantai keramik dingin, meringkuk dan memeluk lututnya erat-erat, tenggelam dalam nestapa yang pekat. 

“Tok tok tok,” suara ketukan pintu menggema, membawa sejuta kecemasan. Tapi Fiona tetap terdiam, memilih menanggung luka sendiri, membiarkan pintu itu tetap tertutup rapat — seolah dengan begitu, ia bisa menahan kehancuran yang siap menerjang dari luar. 

Steven merasa semakin cemas karena pintu kamar mandi tak juga di buka. 

Steven berdiri terpaku di depan pintu kamar mandi, napasnya memburu, suara gemericik shower memenuhi ruang hening itu seperti teriakan tak berjawab dari hati Fiona. "Fiona! Kau baik-baik saja, kan?" Suaranya pecah, tergantung di udara, berharap ada jawaban. 

Tapi yang datang hanya keheningan menyiksa, semakin mengoyak hatinya. Dia tahu, anak tirinya sedang terluka lebih dari yang bisa dilihat mata. "Fiona, tolong... Dedi sudah mengaku salah. Jangan hukum dirimu seperti ini!" Suaranya mulai bergetar, berusaha menggapai jiwanya yang terkunci di balik pintu itu. "Keluar... kita selesaikan semuanya bersama." Namun, tak ada balasan, hanya deru air yang menutupi segala harapan. Ketika keberatannya menjerat, Steven tak tahan lagi. Dengan tenaga yang tersisa, ia mendobrak pintu itu.

 "Fiona!" Mata Steven terpaku pada sosok yang rapuh, terkulai lemah di bawah guyuran air dingin. Air yang mengalir dari shower seperti air mata yang menggantikan suara yang tak pernah ia dengar, membasahi luka yang lebih dalam daripada sekadar basah oleh air. Di sana, di bawah rinai hujan buatan, terurai semua kepedihan yang selama ini terpendam.

Dengan langkah tergesa, Steven menyerbu masuk, menggendong Fiona yang tubuhnya menggigil lemah di bawah derasnya guyuran air shower. Suaranya bergemuruh di ruang itu, namun hanya ia yang bergerak—membawa gadis rapuh itu ke ranjang dengan hati yang nyaris hancur. Tangan Steven gemetar saat meraih handuk, perlahan menyeka air yang membasahi baju Fiona. "Kenapa kamu lakukan ini? Kenapa harus menyiksa diri sendiri?" bisiknya, suaranya serak dan penuh pertanyaan yang tak berani ia jawab sendiri. 

Satu per satu kancing bajunya dibuka dengan tangan gemetar, tapi matanya segera mengalihkan pandang, malu sekaligus tersiksa. Fiona bukan lagi anak kecil yang bisa ia tangani dengan mudah—ada jarak dan luka yang tak terlihat di antara mereka. Dalam diam yang mencekam, pertarungan batin Steven membuncah. Namun akhirnya, dengan pelan ia membalut tubuh rapuh Fiona dengan handuk, berusaha menutupi kegetiran yang mereka berdua simpan. 

Fiona diam terpaku, pandangannya kosong, tak sekalipun menatap ayah tirinya yang kini berdiri di hadapannya—sebuah jarak yang lebih dalam daripada sekadar ruang fisik.

Steven menelan ludah, dadanya berdebar saat menatap Fiona yang terbaring hanya dibalut handuk tipis. Tubuhnya yang putih bersih dan lekuk sensualnya seolah mengundang, membuat hasrat Steven bergolak liar—namun ia berusaha sekuat tenaga menahannya, menahan godaan yang mengiris hati. “Vio, kamu marah sama Dedi, kan?” suaranya bergetar, mencoba menggapai perasaan Fiona yang tetap diam membisu. “Jangan diam begitu, katakanlah...!”

Namun Fiona hanya mematung, matanya yang mulai mengembun mengatakan lebih dari kata-kata.

“Kamu sakit hati karena Dedi nggak setuju kamu dengan Tristan, ya?” tebakan Steven menggantung di udara.

Fiona menggeleng pelan. “Bukan itu,” ucapnya lirih, suaranya nyaris patah, “aku bukan hanya sedih karena Dedi tidak menyukai hubunganku denganTristan. Aku terluka... karena Dedi pacaran lagi dengan wanita itu.”

Steven tersenyum pahit, napasnya tersengal berat seolah memikul beban dunia. "Jadi, kamu cemburu, Vio?" Suaranya mengiris keheningan, menebar luka yang dalam, menguak pertempuran batin antara cinta yang membara, kekecewaan yang menggulung, dan bayang-bayang pengkhianatan yang mengintai. 

 Fiona terdiam, dadanya sesak oleh kerumitan perasaannya sendiri. "Jika memang begitu, lalu kenapa Dedi tak menyukai Tristan? Apa kurangnya dia? Bukankah aku sudah bilang akan menjaga jarak sampai aku selesai sekolah?" Ucapnyaa putus asa. "Tapi Dedi tetap melarangnya, mengekang dengan alasan yang tak masuk akal. Apakah itu bukan tanda cemburu?" Fiona menarik nafas dalam dengan mata terpejam. 

 "Kenapa Dedi tak pernah mengakui bahwa kita sebenarnya saling menyukai?" Ucap Fiona, hatinya berkecamuk oleh keraguan yang menyiksa. 

 Steven memicingkan mata, mencoba menahan gejolak yang hampir pecah di dadanya. "Vio, kamu salah paham... Bukan seperti itu maksud Dedi," suaranya melemah, terhambat oleh kenyataan yang menyakitkan. Ia menelan ludah, mengakui pada dirinya sendiri—ada rasa yang jauh lebih dalam dari sekadar hubungan anak tiri. Ada cinta yang terpendam, yang seharusnya membebaskan, tapi justru terbelenggu oleh janji setia pada Rossa, mendiang istrinya. Dalam hening itu, keduanya terjebak dalam labirin perasaan yang tak terucap, di mana cinta dan pengkhianatan saling berkelindan tanpa kata penyelesaian.

"Kenapa Dedi harus mengingkari hati dan perasaan dedi? Vio tahu sebenarnya Dedi hanya mencari pelampiasan untuk menghindari aku, iya kan?" Fiona to the point pada perasaannya ia sudah tak ingin berbasa-basi lagi meskipun entah itu yang ke berapa Steven sudah menolaknya.

1
yumi chan
hhhh ggl deh
Henny Ngamel
Vio lupakan dedimu.... lanjutkan hubungan dgn Tristan ayo bangkit viooo
sushan hobbs
harus sampe tamat yaaakkk🥳
Arish_girl: siap kaka
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!