Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 6- pagi yang menyentuh hati
Pagi hari di desa Sukasari begitu damai. Langit bersih tanpa awan, cahaya matahari menghangatkan bumi perlahan. Angin sejuk berhembus membawa aroma segar rerumputan basah.
Arga berdiri di depan rumah kayunya, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak hatinya. Semalaman ia sulit tidur memikirkan kata-kata Tere, memikirkan bagaimana menjaga kehormatan dan ketenangan perempuan yang kini menjadi istrinya.
Tiba-tiba suara mesin mobil terdengar mendekat. Sebuah mobil hitam mewah perlahan berhenti di depan rumahnya. Debu tipis mengepul tertiup angin. Arga mengernyit heran, siapa gerangan tamu pagi-pagi begini?
Pintu mobil terbuka. Seorang pria turun lebih dulu, mengenakan kemeja putih dan rompi cokelat muda. Wajahnya tampak teduh, sorot matanya penuh wibawa. Menyusul kemudian seorang wanita anggun, blouse biru muda dan celana panjang krem membalut tubuhnya. Rias wajahnya tipis, namun menambah aura keibuan.
Mereka berdiri sejenak, lalu sang pria mengucapkan salam
“Assalamualaikum…” ucapnya lembut penuh hormat.
Arga segera menjawab, melangkah mendekat tanpa ragu.
“Waalaikum salam, Pak, Bu…” katanya tulus.
Dengan penuh sopan, Arga menyalami sang pria, mencium tangannya, lalu melakukan hal yang sama pada sang wanita.
Mama Linda dan Papa Adrian saling melirik, terkesan akan budi pekerti Arga. Tak disangka anak desa sederhana itu begitu santun dan rendah hati.
“Kamu pasti Arga?” tanya Papa Adrian ramah.
“Iya, Pak. Silakan masuk, Pak, Bu. Mohon maaf rumah saya sederhana.”
“Tidak apa, Nak. Kami datang bukan melihat rumahmu,” jawab Papa Adrian tulus.
Budi pekerti arga sudah ditanamkan waktu kecil oleh ibu nya. Di usia nya masih kecil arga harus kehilangan sosok ayah. Disaat dia menginjak usia 17 tahun sosok ibu nya kembali ke pada sang khalik. Di desanya dia terkenal dengan budi yang luhur pekerja keras, begitu banyak orang menyukai nya dia pintar mengaji dan sesekali dia mengajar anak anak di mushola mengaji.
Arga mempersilakan mereka duduk di ruang tamu sederhana. Tanpa menunggu lama, Arga masuk ke dapur. Ia merebus air, menyiapkan teh hangat seadanya. Tak lama, ia kembali membawa dua cangkir teh, diletakkannya di meja kecil di depan tamu.
“Silakan, Pak, Bu. Ini hanya teh biasa, maaf seadanya,” ucap Arga.
Baru saja tamu itu menyentuh cangkir, terdengar suara pintu kamar terbuka.
Tere muncul, wajahnya masih pucat, rambut tergerai, matanya berkaca-kaca. Ia mematung sejenak melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tamu.
“Mama… Papa…” suaranya bergetar, nyaris tak percaya.
Mama Linda langsung berdiri, matanya berkaca-kaca.
“Tere… anak Mama…” ucapnya, lalu memeluk Tere erat-erat.
Papa Adrian ikut berdiri, menepuk bahu putrinya penuh kasih.
“Kami datang untukmu, Nak…”
Tere menangis dalam pelukan ibunya. Semua beban di dada seolah runtuh, rasa rindu, rasa malu, rasa takut bercampur jadi satu.
Arga menunduk sopan, tak ingin mengganggu momen itu. Hatinya lega, paling tidak Tere kini punya sandaran untuk menenangkan hatinya.
Setelah tangis Tere reda, Mama Linda mengajak duduk bersama.
“Nak Arga… terima kasih. Kamu sudah jaga anak kami. Kami ingin bicara baik-baik. Kita cari jalan keluar terbaik, ya…”
“Siap, Bu, Pak… saya cuma ingin Tere baik-baik saja…” jawab Arga, jujur dari hati.
Pagi itu, di rumah sederhana yang hangat, dimulailah percakapan penuh harapan, yang kelak bisa menjadi awal kisah baru bagi mereka semua.