Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
[Pagi Hari – Ruang Tamu Rumah Dewi & Dewa]
Dewi duduk di sofa, tangannya mengusap perut dengan lembut. Di meja depannya, beberapa berkas hukum, laporan digital, dan amplop coklat menumpuk rapi—bukti yang sedang ia kumpulkan untuk membawa kasus sabotase Nadira ke meja hukum.
Namun belum sempat ia membuka laptop, ponselnya berdering.
Naya: “Dew… kamu buka sosial media belum?”
Dewi segera mengecek. Matanya menajam.
Trending #KalaKitaPlagiat.
“Apa-apaan ini…” gumamnya.
Sebuah akun anonim dengan ribuan pengikut memposting gambar desain terbaru Kala Kita dan membandingkannya dengan koleksi musim lalu milik label luar negeri.
Dibuat seolah-olah Kala Kita mencuri ide.
Komennya pedas.
“Desainer lokal cuma bisa nyontek!”
“Ternyata pahlawan UMKM kita maling juga.”
“Pantes aja tenar, desainnya hasil jiplakan!”
Dewi terpaku. Tapi bukan karena takut. Melainkan... karena kecewa.
Pada manusia yang begitu cepat menilai tanpa tahu apa-apa.
[Studio Kala Kita – Siang Hari]
Rapat darurat digelar. Naya, Cika, dan tim hukum dari komunitas desainer ikut hadir.
Dewa berdiri di depan layar, memaparkan slide demi slide:
“Desain yang mereka bilang plagiat… adalah desain asli Dewi dua tahun lalu. Tersimpan di harddisk internal kami dan sudah pernah diajukan paten desain. Kami punya bukti.”
“Koleksi dari label luar itu, justru terbit enam bulan setelah Kala Kita mengunggah sketsa awal ke komunitas tertutup."
Dewi duduk di samping, diam. Tangannya di perut. Napasnya pendek. Perutnya terasa kencang.
Naya menyadari, lalu mendekat.
“Dew, kamu kenapa? Perut kamu... kram ya?”
“Iya… mungkin tegang aja.”
Dewa langsung menghampiri.
“Kamu pulang. Sekarang. Ini bukan debat. Aku dan Naya yang urus sisanya.”
[Sore Hari – Rumah Dewi & Dewa]
Dokter dipanggil ke rumah. Setelah pemeriksaan, dokter berkata,
“Dewi harus bed rest total. Kalau tidak, janinnya bisa terancam.”
Semua terasa hening seketika.
Dewi menggenggam tangan Dewa. “Kalau aku diam, mereka menang. Mereka jatuhin kerja keras kita, harga diri kita—”
“Tapi kalau kamu jatuh, aku kehilangan segalanya,” sela Dewa.
“Dewi, kamu sudah berjuang cukup. Sekarang giliran aku yang berdiri.”
[Malam Hari – Konferensi Pers Kilat Kala Kita]
Dewa berdiri sendirian di podium. Ia mengenakan kemeja putih sederhana. Tidak ada latar brand mewah. Hanya papan sederhana bertuliskan:
“Kami tidak hanya menjahit kain. Kami merajut kebenaran.”
“Hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai pendiri Kala Kita, tapi sebagai suami dari perempuan yang tak pernah menyerah. Yang difitnah. Yang dibenci. Tapi tetap berdiri tegak. Bagi kalian yang menuduh tanpa tahu, kami akan beri kesempatan untuk tahu.”
Ia menampilkan bukti digital paten desain, tanggal unggahan awal, dan pernyataan dari lembaga hak cipta lokal.
Pers hening. Lalu... satu demi satu tepuk tangan terdengar.
Di tempat lain, Nadira menyaksikan siaran langsung itu. Tangannya mengepal.
“Dia tetap menang...” desisnya.
“Karena mereka melawan dengan kebenaran, bukan kekuasaan,” sahut suara lain.
Ternyata… Vania berdiri di belakangnya. Kali ini, tidak sebagai sekutu.
Ia telah menyerahkan semua bukti pelanggaran Nadira kepada pihak berwajib.
“Permainanmu selesai, Nadira.”
[Di Rumah – Kamar Tidur Dewi & Dewa]
Dewi menonton siaran itu dari tempat tidurnya. Air matanya menetes.
Dewa masuk, membawa semangkuk bubur dan senyum tipis.
“Satu pertarungan selesai. Sekarang, waktunya fokus ke kamu dan anak kita.”
Dewi mengangguk.
“Kita menang bukan karena suara paling keras… tapi karena tak pernah berhenti percaya.”
Mereka saling menatap, penuh cinta dan lega.
Namun keduanya tahu—perjalanan belum selesai. Tapi kini, mereka siap.
Bersama.
[Rumah Dewi & Dewa – Subuh Hari]
Beberapa bulan berlalu, langit masih gelap ketika Dewi terbangun karena rasa nyeri luar biasa di perutnya. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Nafasnya memburu.
“Dewa...”
Dewa terbangun seketika. Dalam hitungan detik, ia sudah menggenggam tangan Dewi.
“Kontraksi?”
“Kayaknya… sudah sering. Ini beda dari biasanya…”
Tanpa banyak kata, Dewa langsung menghubungi dokter dan mempersiapkan mobil. Pagi itu, bukan hanya langit yang mulai membuka hari—tapi kehidupan baru tengah menanti mereka di ujung waktu.
[Rumah Sakit – Ruang Bersalin]
Dewi menggenggam tangan Dewa erat-erat. Peluh bercucuran, napasnya berat, tapi matanya tetap menatap suaminya.
“Kalau aku teriak, jangan takut, ya…” gumam Dewi dengan senyum lelah.
“Teriak sekuatmu. Aku di sini. Kita bareng-bareng.”
Jam demi jam berlalu. Dokter memberi arahan. Suster bergantian masuk. Namun hanya Dewa yang tetap di sana—teguh, tak bergeming, seperti batu karang yang melindungi.
Dan ketika tangisan bayi pertama itu terdengar…
Air mata Dewa pecah.
Ia tidak menoleh ke mana pun. Hanya pada Dewi, yang kini terbaring lemah tapi tersenyum.
“Anak kita…” bisiknya.
“Lahir... saat fajar. Kayak harapan,” jawab Dewi pelan.
[Satu Minggu Kemudian – Rumah Mereka]
Anak mereka diberi nama Alya Saka
"Alya" artinya cahaya dari surga, dan "Saka" adalah tiang—penguat rumah.
Di rumah kecil yang dulu mereka bangun dengan tangan, suara tangis bayi kini bergema lembut. Tidak lagi sunyi. Tidak lagi penuh kekhawatiran.
Di dinding ruang tamu, tergantung bingkai kecil bertuliskan:
ala Kita – Berdua, Kita Bisa Apapun.
[Epilog – Tiga Bulan Kemudian]
Kala Kita semakin dikenal. Tak hanya sebagai brand fashion, tapi gerakan sosial yang mengangkat perempuan pengrajin dari desa ke dunia digital.
Dewi mulai bekerja lagi perlahan, sesekali ikut video meeting dengan Alya di pangkuannya.
Dewa tetap mendampingi. Tak seambisius dulu, tapi lebih utuh.
Pada akhirnya, cinta yang mereka perjuangkan bukan cinta mewah, bukan pula cinta sempurna—melainkan cinta yang tumbuh karena keberanian. Karena memilih untuk terus berdiri meski dihantam badai.
Karena dalam dunia ini, tak ada yang lebih kuat dari dua orang yang saling memilih—meski semesta menentang.
TAMAT
🌿 Kala Kita — Sebuah cerita tentang dua jiwa yang kabur dari takdir, lalu menciptakan takdir baru dengan cinta dan perjuangan.
“Cinta sejati tidak datang karena nama keluarga, harta, atau status. Ia hadir saat dua orang berani memilih satu sama lain... meski semesta menentang.”