NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35 – Suara dari Sumur Tua

Malam itu, angin bertiup sedikit lebih kencang dari biasanya. Daun-daun kering berputar di pelataran rumah warga, menciptakan suara lirih seperti bisikan. Di tengah suasana itu, rumah Mak Erah di pinggir kampung tampak seperti menyimpan cerita yang belum tuntas.

Mak Erah dikenal sebagai dukun urut dan penolak bala. Umurnya sudah mendekati delapan puluh, tapi tubuhnya masih tegap, dan sorot matanya tajam. Ia jarang keluar rumah kecuali untuk menolong orang melahirkan atau mengobati bayi rewel.

Bahri datang ke rumahnya bersama Reno, Marni, Ajo, dan Ucup.

“Mak Erah, kami mohon waktu sedikit,” kata Bahri sopan sambil mengetuk pintu kayu yang sudah mulai lapuk.

Pintu terbuka perlahan. Mak Erah berdiri di baliknya, mengenakan kain batik pudar dan baju hitam longgar.

“Aku tahu kalian akan datang,” katanya tanpa basa-basi. “Masuklah.”

Mereka duduk bersila di atas tikar pandan. Ruangan itu dipenuhi bau minyak kayu putih dan dupa yang masih mengepul dari sudut ruangan.

“Mak,” ucap Marni pelan, “kami datang karena ingin tahu tentang peristiwa yang pernah terjadi di sisi belakang kampung, di bawah bukit tua. Ada apa di sana sebenarnya?”

Mak Erah menatap mereka satu-satu. “Kalian tak seharusnya tanya. Tapi kalau sudah sejauh ini, kalian memang harus tahu.”

Ia meneguk air putih dari gelas seng, lalu mulai bercerita.

“Dulu, waktu aku masih muda, ada seorang perempuan datang dari kampung seberang. Cantik, lembut, tapi aneh. Ia tak pernah makan bersama orang lain. Malam-malam terdengar suara tawa dari rumahnya, padahal ia tinggal sendirian.”

Ucup menyela, “Wah, itu mah bukan aneh lagi, Mak. Itu serem!”

Ajo menyikutnya pelan, “Diam, Cup.”

Mak Erah tersenyum miring. “Satu malam, ada anak kecil hilang. Esoknya, perempuan itu pindah mendadak. Rumahnya ditinggal. Warga mulai curiga. Aku dan beberapa tetua kampung datang ke rumah itu, dan kami temukan benda-benda aneh di dapur. Kain merah, kendi kecil berisi darah, dan... tempurung kepala bayi.”

Reno menelan ludah. “Perempuan itu siapa, Mak?”

“Namanya Sumirah. Tapi orang-orang sekarang tak tahu. Karena nama itu sudah dilarang disebut. Ia diyakini sebagai satu dari yang pernah memelihara Palasik.”

Bahri menunduk. “Apakah tempat di belakang kampung itu tempat ia memulai segalanya?”

Mak Erah mengangguk. “Di sanalah ‘pintu belakang’ dibuka. Tempat ia lakukan upacara, tempat darah diteteskan ke tanah.”

Marni bertanya hati-hati, “Apakah tempat itu masih... aktif?”

Mak Erah berdiri perlahan, lalu mengambil kain lusuh dari balik lemari. Di dalamnya terdapat piring kecil dari tanah liat.

“Letakkan ini di tanah sana. Kalau piring ini pecah, maka tanah itu masih haus.”

Keesokan harinya, mereka berlima pergi ke belakang kampung. Jalanan becek, rumput liar tumbuh tinggi. Ajo menebas beberapa ilalang dengan parang.

“Ini tempatnya?” tanya Reno saat mereka sampai di bawah bukit yang dikelilingi pohon beringin.

Marni menunduk dan berdoa pelan. Ia kemudian menggali tanah dangkal dan meletakkan piring di dalamnya.

Beberapa detik tak terjadi apa-apa. Lalu... piring itu retak dengan suara lirih.

Ucup mundur dua langkah. “Retak sendiri, lho. Aku nggak nyentuh!”

Marni mengangguk. “Mak Erah benar. Tanah ini masih haus.”

Bahri menabur garam dan menyiram air bunga.

“Tapi siapa yang terus beri makan tanah ini?” gumamnya.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Dari balik semak, muncul sosok lelaki tua berpakaian compang-camping.

“Jangan ganggu tempat ini...” katanya parau. “Tanah ini pelindung. Kalau kalian tutup, maka ia akan mencari sendiri.”

Reno menatapnya tajam. “Kau siapa?”

“Aku penjaga... sejak perempuan itu pergi, aku yang jaga agar tak sembarang orang masuk.”

Bahri bertanya, “Apa kau tahu ke mana Sumirah pergi?”

Lelaki itu tertawa pelan. “Ia belum pergi. Ia menunggu... saat yang tepat. Dan kalian... sudah membangunkan langkahnya.”

Bayangan kabut melintas cepat. Lelaki itu hilang seketika.

Ucup menggigil. “Apa tadi... manusia?”

Ajo menjawab, “Atau hanya penyesalan yang menjelma?”

Mereka berdiri dalam diam. Di belakang mereka, piring tanah retak sempurna. Tanah menyerap air bunga dengan cepat.

Bahri mengangguk pelan. “Kita harus temukan Sumirah. Karena selagi ia bebas, tak ada anak yang benar-benar aman di kampung ini.”

Hari berganti dengan suasana yang kian muram. Awan menggantung berat di atas langit Kampuang Binuang, seolah-olah alam pun tahu bahwa sesuatu sedang bergolak di bawah permukaan tanah yang tampak tenang.

Bahri duduk di surau, memandang hujan gerimis yang menitik di halaman. Di depannya, Reno dan Ajo sibuk membolak-balik catatan tua warisan datuk mereka. Marni datang membawa segelas teh hangat.

“Semalam aku mimpi aneh,” ucap Marni sambil duduk. “Aku melihat anak kecil memanggil-manggil dari dalam sumur.”

Ucup yang baru datang dan masih ngos-ngosan berkata, “Mimpi yang sama aku juga dapat. Tapi suara anak kecil itu... nadanya bukan minta tolong, tapi marah.”

Bahri menoleh. “Sumur mana?”

“Sumur tua di dekat rumah Mak Andam. Yang udah lama ditutup dan ditumbuhi semak,” jawab Reno.

Mereka berlima memutuskan untuk ke lokasi. Jalanan masih basah dan licin. Suara kodok bersahut-sahutan saat mereka sampai di depan rumah tua Mak Andam yang sekarang tak berpenghuni.

Sumur itu tampak seperti gundukan tanah biasa. Tapi setelah semak dibersihkan, terlihatlah lingkaran batu sumur tua yang tertutup papan reyot.

Marni memejamkan mata. “Ada hawa dingin dari bawah. Sesuatu tinggal di dalam sana.”

Ucup menoleh ke Reno. “Kau yang paling berani. Buka duluan.”

“Kenapa selalu aku?” keluh Reno, tapi tetap maju.

Dengan hati-hati mereka membuka penutup sumur. Segera udara dingin menyeruak ke permukaan. Bahri menyalakan senter dan menyorot ke dalam. Di dasar sumur, terlihat benda putih yang tergeletak.

“Aku turunkan tali,” kata Ajo. “Siapa yang mau turun?”

Ucup mengangkat tangan. “Kali ini biar aku. Tapi jangan ditarik sebelum aku bilang.”

Dengan senter di saku dan jantung berdebar, Ucup perlahan diturunkan ke dasar sumur. Suara air menetes menggema. Ia menginjak tanah basah dan melihat benda putih itu adalah boneka kayu kecil yang dibungkus kain bayi.

Tiba-tiba terdengar suara dari dinding sumur, lirih seperti bisikan:

“Kembalikan aku... ibu belum selesai...”

Ucup menggigil. Ia menggenggam boneka dan berteriak, “Tarik aku sekarang!”

Mereka menariknya cepat. Begitu sampai di atas, Ucup meletakkan boneka di kain putih.

“Aku dengar suara. Ia bicara tentang ibunya... dan belum selesai.”

Bahri mengambil boneka itu dan membungkusnya kembali. “Ini... bukan sekadar mainan. Ini wadah jiwa.”

Marni menatap sumur. “Kalau begitu, Palasik atau Sumirah mungkin masih ada di sekitar kita.”

Ajo menambahkan, “Kita harus cari tahu siapa anak ini. Kalau kita tahu namanya, mungkin bisa bantu membebaskannya.”

Malamnya, Bahri, Marni, dan Reno mendatangi Mak Erah lagi. Mereka membawa boneka itu.

Mak Erah mengamati benda itu dengan seksama. “Ini... bukan dari kampung ini. Kainnya tenunan dari Pasisia. Boneka ini biasa digunakan untuk menyimpan jiwa anak yang dikorbankan dalam pelarian.”

“Pelarian?” tanya Reno.

“Ya. Ketika seseorang ingin kabur dari hutang ilmu. Ia akan mengorbankan sesuatu untuk menukar dirinya. Tapi kalau jiwa yang dikorbankan tidak diterima bumi, maka ia akan menjerat orang-orang yang tinggal di sekitarnya.”

Marni bertanya, “Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?”

Mak Erah berkata, “Carilah asal anak ini. Nama atau cerita yang mengarah ke Pasisia. Dan jika kalian menemukan ibunya... ingat, jangan biarkan ia memandang kalian lebih dari tiga detik.”

Bahri mengangguk. “Terima kasih, Mak.”

Sebelum mereka pergi, Mak Erah menambahkan, “Dan jangan tinggalkan boneka itu sendiri. Kalau ia merasa ditinggalkan lagi, ia bisa memanggil... yang lebih kuat.”

Keesokan paginya, mereka berkemas menuju Pasisia. Desa itu terletak di pinggir pantai, sekitar dua jam perjalanan. Dalam hati, mereka tahu, perjalanan ini bukan sekadar mencari nama. Tapi juga menelusuri akar dari kejahatan yang belum selesai.

Dan dari balik pepohonan, saat mereka berjalan, sesosok bayangan kecil menatap dengan mata kosong...

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!