Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Di rumah sakit, setelah beberapa jam dirawat, Puri terbangun dengan tubuh yang lemah.
Dokter yang merawatnya masuk untuk memeriksa kondisinya.
Setelah beberapa pemeriksaan, dokter berbicara dengan nada serius, namun memberikan sedikit harapan.
"Puri, kondisi Anda stabil, dan kami telah melakukan pemeriksaan tambahan. Saya harus memberi tahu Anda bahwa janin Anda masih bisa diselamatkan. Kami akan terus memantau dengan seksama, tapi Anda harus beristirahat dan mengikuti semua instruksi dengan baik."
Puri hanya bisa terdiam mendengar penjelasan itu. Pikiran dan perasaannya kacau.
Janin yang ada dalam perutnya adalah buah dari hubungan yang begitu rumit dan ia masih belum tahu apa yang akan terjadi dengan masa depannya, dengan Karan, dan dengan hidupnya sendiri.
Beberapa saat setelah itu, Yudha masuk ke kamar Puri.
Yudha melihat Puri yang hanya duduk terdiam, menatap langit-langit rumah sakit dengan tatapan kosong.
Ia bisa merasakan betapa hancurnya hati Puri. Dalam sekejap, rasa khawatir dan perasaan cemas menguasai dirinya.
"Pur," kata Yudha pelan, duduk di samping tempat tidur Puri, "kamu baik-baik saja?"
Puri menggelengkan kepala pelan, namun matanya tidak bisa berhenti meneteskan air mata.
"Aku... aku nggak tahu, Yudha. Aku merasa hancur. Semua yang aku impikan, semua yang aku harapkan, seolah runtuh begitu saja. Dan sekarang, aku... aku harus bagaimana dengan semua ini?"
Yudha menghela napas panjang. Ia bisa melihat betapa beratnya beban yang ditanggung Puri, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yudha merasa harus melakukan lebih dari sekadar memberikan dukungan sebagai teman.
Ia ingin memberikan Puri alasan untuk bangkit, meskipun itu bukan hal yang mudah.
Puri menatapnya dengan pandangan kosong, tapi ada rintik-rintik harapan yang tampak samar di matanya.
“Pur, apakah kamu mau menikah denganku?” tanya Yudha, suara penuh kejujuran dan ketulusan.
Puri terdiam, air mata terus mengalir dari matanya. Dia tidak bisa menjawab dengan kata-kata, hanya bisa menatap Yudha dengan wajah penuh kesedihan.
Hatinya begitu berat, dan meski Yudha adalah sosok yang selalu ada di sampingnya, dia tahu hatinya masih hancur karena Karan dan semua yang telah terjadi.
Namun, Yudha tidak menyerah. Ia meraih tangan Puri dengan lembut, mencoba memberi sedikit kekuatan dan harapan.
“Puri, aku ingin kamu tahu, aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi. Aku bisa memberi kamu sebuah keluarga yang penuh cinta dan kehangatan. Aku nggak bisa menjanjikan segalanya akan mudah, tapi aku janji akan berusaha membuatmu bahagia.”
Puri menunduk, mencoba menahan isak tangis. Ia tahu Yudha memiliki niat baik, tetapi perasaannya masih tertinggal pada Karan pada cinta yang telah menghilang begitu saja.
Namun, saat Puri merasakan air mata yang semakin deras mengalir, ia tahu bahwa hidupnya tidak bisa berlarut-larut dalam kesedihan.
Ia memandang ke arah Yudha, dan meskipun hatinya masih terbelah, ia merasa ada sedikit ketenangan dalam pelukan Yudha.
Setelah beberapa saat, Puri mengangguk pelan, meskipun bibirnya masih gemetar.
“Aku... aku nggak bisa berjanji apa-apa, Yudha. Aku... aku masih bingung. Tapi... aku nggak bisa sendirian.”
Yudha merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu, meski ia tahu jalan yang akan mereka jalani tidak mudah.
Puri masih memerlukan waktu untuk sembuh dari luka yang mendalam.
Di luar kamar rumah sakit...
Yudha segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Om Sasongko, keluarga yang cukup dekat dengannya.
Setelah beberapa detik, telepon tersambung, dan suara Om Sasongko terdengar dari ujung telepon.
“Om, ini Yudha. Saya ingin memberitahukan bahwa saya akan menikahi Puri. Dia membutuhkan dukungan dan saya merasa ini adalah keputusan yang terbaik untuknya. Mohon doanya, Om.”
Om Sasongko terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Kamu yakin, Yudha? Ini bukan keputusan yang mudah. Puri masih sangat terluka, dan kalian berdua harus siap untuk menghadapi tantangan yang sangat berat.”
Yudha mengangguk, meskipun Om Sasongko tidak bisa melihatnya.
"Saya yakin, Om. Ini bukan hanya tentang saya dan Puri, ini tentang memberikan dia kesempatan untuk sembuh, untuk merasa dicintai lagi. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya."
Keesokan harinya, di rumah sakit,
Puri terbangun dan melihat Yudha duduk di sampingnya.
Hatinya terasa lebih ringan, meskipun tidak sepenuhnya sembuh.
Ada perasaan campur aduk antara kesedihan yang masih ada, namun juga ada harapan yang perlahan tumbuh.
Yudha tersenyum lembut saat melihat Puri membuka matanya.
“Kamu sudah sedikit lebih baik, Pur. Aku di sini untukmu, selalu.”
Puri hanya bisa mengangguk pelan, meskipun air mata masih mengalir di pipinya.
Ia tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai, namun untuk pertama kalinya, ia merasa ada sedikit sinar di ujung gelapnya hidupnya.
Di rumah sakit, suasana semakin tegang.
Setelah beberapa jam, Om Sasongko datang dengan penghulu yang disertai beberapa anggota keluarga dekat.
Mereka sudah mempersiapkan semuanya untuk melangsungkan pernikahan yang mendesak. Yudha, yang sudah memastikan bahwa Puri dalam keadaan lebih baik, tidak membuang waktu lagi.
Ia mendekati Puri yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tatapan matanya masih penuh keraguan dan kesedihan.
Yudha duduk di samping Puri, memegang tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan gadis yang sedang dilanda kebingungan.
"Puri," kata Yudha dengan suara tegas namun penuh kasih, "Aku tahu ini semua datang begitu cepat, tapi aku akan membesarkan anak itu. Aku akan bertanggung jawab, dan aku akan menjadi suamimu. Jangan menolak untuk menikah denganku. Kita bisa melalui ini bersama, Pur. Aku ada di sini untukmu."
Puri menatapnya dengan mata penuh air mata. Hatinya masih sangat terluka, tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa perasaan cintanya pada Karan telah hancur.
Namun, ada rasa haru dan sedikit penghiburan mendalam dalam kata-kata Yudha. Puri mengangguk pelan, meskipun tidak sepenuhnya yakin akan keputusannya.
"Tapi... Yudh, aku masih belum bisa... aku... aku masih ....." ujar Puri dengan suara pelan, matanya penuh dengan rasa bersalah.
Namun, Yudha tetap memegang tangannya dengan lembut, berusaha memberi keyakinan.
"Aku tahu, Pur. Aku tahu. Tapi kamu nggak bisa sendirian lagi. Kita harus terus hidup. Aku akan ada untukmu."
Pada saat yang sama, di luar kamar, Om Sasongko dan penghulu telah siap untuk melangsungkan pernikahan.
Mereka mempersiapkan segala hal dengan cepat, dan dalam beberapa menit, mereka sudah berada di kamar Puri.
Semua keluarga yang hadir di rumah sakit juga menyaksikan peristiwa yang penuh emosi itu.
Ketika penghulu mulai membuka acara dengan membaca doa dan memulai prosesi, Yudha berdiri tegak, menggenggam tangan Puri dengan erat.
Ia merasa meskipun pernikahan ini tidak terjadi dalam kondisi yang ideal, ini adalah langkah yang perlu dilakukan untuk memberi Puri dukungan yang dia butuhkan.