NovelToon NovelToon
Senandung Sang Bunga

Senandung Sang Bunga

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Teen School/College / Karir / Fantasi Wanita / Chicklit
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Baginda Bram

Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.

Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.

Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Mulai saat itu, dunianya pun berubah.

Dunia yang dipenuhi estetika keindahan, ternyata banyak menyimpan hal yang tak pernah terduga sebelumnya.


(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33

Kami berpisah di tengah jalan. Tempatku berada di bilik nomor 14 yang kebetulan berada hampir di ujung deretan sebelah kiri.

Di sana terdapat sebuah meja besar bertaplak putih polos dan dua buah kursi yang kosong. Kududuki kursi yang ada di belakang meja sebagaimana yang telah diarahkan.

Setiap bilik terlihat sama persis. Memiliki sekat sebagai pembatas antara bilik satu dan yang lain. Kursi-kursi pun mulai terisi.

Sebelah kiriku terlihat gadis mungil, panggilannya Yuna. Sementara sebelah kiriku masih belum ada siapapun.

Masih ada sedikit waktu sebelum sesi dimulai. Kusapa Yuna, yang sedang menarik turunkan layar persegi.

"Hai Yuna". Ia melirik, sekejap kembali ke ponselnya

"Eh Kakak."

Ngomong-ngomong dia setahun di bawahku, jadi meski dia segenerasi, ia tetap memanggilku dengan panggilan "Kak".

"Kamu enggak gugup, Yun?"

"Enggak sih, Kak. Enggak bakal ramai juga 'kan?"

Duh belum juga mulai, sudah dipaksa menelan fakta.

"Enggak salah sih."

Orang-orang seperti kami sedari awal memang sudah sadar kalau sesi kami tak akan dipadati pengunjung.

Aku yakin sesi ini bakal menjadi sesi senggang untuk kami. Makanya aku membawa tas yang berisi novel dan beberapa peralatan make up. Walau tidak ada siapapun, setidaknya aku harus terlihat cantik dalam bilik ini.

Sejak sering diajari oleh Kak Desy, aku jadi tidak bisa hidup tanpa make up. Aku mulai tak bisa keluar rumah tanpanya. Pernah sekali kucoba, rasanya aneh dan tak nyaman. Padahal sebelum-sebelumnya aku bodo amat.

Sejak itu, keluar ke warung yang jaraknya cuma belasan meter saja, aku memakai sun screen dan lip balm. Mungkin sudah sifat bawaan, kalau wanita selalu ingin terlihat cantik. Dengan penghasilan yang kudapat, aku membeli semua peralatan yang ia sarankan.

Di antaranya ada yang harganya selangit. Kalau bukan hasil keringatku sendiri, mana mungkin aku bisa membelinya.

Sekelebat bayangan seseorang melewati kami di tengah obrolan. Kulirik sebelah kiri, rupanya kak Chika. Dengan mengenakan pakaian ala gadis korea. Atasannya putih, bawahnya merah terang. Setahuku orang-orang menyebutnya Hanbok.

Begitu duduk, ia langsung membuka ponselnya. Kulihat jam, memang sudah waktunya bersiap dalam bilik. Kutinggalkan Yuna, duduk di kursiku semula.

Kak Chika melirikku. Dahinya berkerut, alisnya bertemu. Aku pura-pura tak tahu, tatapan tajam yang menghujam itu mendarat padaku.

"Eh lu," Ia berdiri dari kursi. Langkahnya cekatan. Tiba-tiba berada di sampingku. Menggebrak meja dengan sebelah tangannya.

"Lu ngapain pake baju itu, hah?" Tanyanya dengan nada naik.

"Apa masalahnya, Kak?" Sahutku berusaha tenang.

"Lu tuh ya! Masih baru udah tengil. Pake ngomong mau melampaui Olivia segala. Kalo ngimpi itu jangan ketinggian! Tolol!"

Aku yang tak tahu salahku di mana menghela nafas. Kalaupun ada, itu masalah yang sudah lama. Itu pun sudah kuminta maafnya. Lalu kali ini? Rasanya darahku mulai mendidih.

"Apa salahnya kalau punya keinginan?"

"Lihat sekitar lu! 30 persen fans kita itu fans Olivia! Bodoh!"

Kenapa dia suka sekali mengakhiri kalimatnya dengan umpatan sih? Apa idol layak seperti itu?

"Kakak sendiri, enggak bisa jaga mulut kah? Di atas panggung sok lembut, di belakang panggung toxic. Kakak bipolar ya?" Sergahku, menyerang balik.

Aku berucap tanpa pikir-pikir lagi. Aku yang telah tertelan emosi berucap kalimat yang tak dapat ditarik kembali.

"Gini nih, pemula idiot! Sok-sokan ngajari yang lebih senior. Nih gue kasih tau, idol itu profesi penuh kebohongan. Ketika lu di atas panggung, itu waktunya lu akting. Jadi sosok idaman orang lain. Enggak ada bedanya sama aktris. Bedanya cuma aktris punya skrip, idol enggak."

Meskipun itu faktanya, tetap saja aku tidak setuju. Idol bukanlah sosok dalam film yang hanya ada di dalam cerita. Idol ada dan bisa berinteraksi dengan kita.

"Aku memang masih baru, tapi menurutku, idol bukanlah sosok seperti yang kakak bilang."

"Dasar bocah!" Umpatnya untuk kesekian kali.

Setelah mengucapkan itu, ia meninggalkanku sambil mengangkat bahu. Kembali menduduki kursinya. Aku masih geleng-geleng.

Tanpa sadar, seorang staf telah duduk di kursi yang berada di samping meja. Kalung besar yang ternyata stopwatch mencuri perhatianku.

Portal rantai telah dibuka, orang-orang langsung berjalan cepat, menuju bilik tujuannya sambil membawa tiket yang telah ditukarkan sebelumnya.

Dalam sekejap bilik di sebelah kananku padat oleh manusia. Kontras dengan bilikku dan biliknya Yuna.

Gadis di sebelah kiriku mendadak tersenyum cerah. Nada bicaranya menjadi lembut kontras saat bicara denganku. Aku akui, ia memang aktris handal.

Kupandangi bilik lain. Bilik Anna telah membuat antrean yang bisa dilihat dari kejauhan. Bilik Viola terlihat lengang, namun selalu ada yang datang.

Bahkan sebelahku seakan membuat antrean yang tak berkurang, selalu datang orang untuk mengisi ujungnya, sementara aku masih belum menemukan tanda-tanda orang akan datang.

Ternyata memang sejauh ini jarak kami. Membuatku berpikir bahwa melampaui Kak Olivia adalah hal yang mustahil.

Kulihat jam, sepuluh menit berlalu. Masih ada setengah jam sebelum sesiku berakhir. Masih belum ada yang datang satu kepala pun. Staf yang berjaga pun terlihat menguap beberapa kali.

"Pak, memang ada yang beli tiket meet and greet punyaku ya?" Tanyaku iseng.

"Kalau enggak salah, ada tadi".

Aku mengelus dada. Kupikir tak akan ada satu pun.

Terlihat seseorang datang. Aku mengembangkan senyum. Pria berkacamata tebal, mengenakan varsity merah-hitam berjalan perlahan. Menatapku.

Kubalas tatapan itu disertai senyum ramah. Ia malah menunduk. Langkahnya terhenti. Ia membalikkan badan. Apa mungkin ia salah bilik?

Sejurus kemudian, ia balik badan lagi. Berjalan menatap staf. Menyerahkan sebuah tiket yang ada di tangannya.

"Baiklah, sepuluh detik ya." Ucap staf.

Pria itu melangkah mendekat. Aku meninggalkan kursi. Berdiri dengan senyum yang merekah. Ia masih tertunduk.

Tatapannya ke meja. Kujulurkan kedua tanganku. Ia meraih tanganku dengan perlahan. Tangannya terasa lembab serta terasa getaran kecil. Ia hanya menyentuhnya. Kugenggam tangan lebar itu lebih erat.

Aku menunggu kata-kata darinya. Niatku merespon dengan baik apa yang nantinya ia ucapkan. Nyatanya tak ada pergerakan sama sekali. Ia berdiri mematung tanpa sepatah kata pun keluar.

Beberapa detik seperti itu, aku yang panik. Aku tak mau semuanya berakhir seperti ini. Aku tak mau uang yang ia keluarkan terbuang percuma. Kalau ia tidak mau bicara, biar aku saja deh!

"Kak, coba lihat aku."

Perlahan, ia mengangkat pandangannya. Pandangan kami bertemu.

"Kakak enggak sopan tahu."

Ia terlihat kaget mendengar kalimatku. Sepertinya ia cukup tertohok.

"Kalau ada orang di depan, tolong lihat orangnya ya! Ngobrol aja frustasi."

Lelaki itu mengerjap cepat. Bibirnya ternganga kecil.

"Emm ...—"

"Waktu sudah habis. Silakan kembali lagi kapan-kapan!" Pekik staf memotong kalimatnya.

Aku merasa tak enak hati. Padahal ia telah mengambil napas. Bibirnya pun telah terbuka. Tinggal menunggu suaranya saja.

Pria yang mendampingiku memang tak kenal ampun. Dia adalah orang pertama yang datang kemari. Aku pun baru pertama kali seperti ini. Setidaknya berikan ia beberapa detik lagi untuk bicara sebagai kompensasi dong!

Lelaki itu melepas tangannya. Tersenyum hambar. Aku ingin melakukan sesuatu. Setidaknya membuat ia merasa kalau kedatangannya kemari tidak sia-sia.

Lelaki itu sontak berjalan ke arah pintu keluar.

"Sebentar." Sergahku, menghentikan langkahnya. "Nama kakak siapa?"

Staf menatapku tajam. Mengernyitkan dahinya yang penuh lipatan.

"Evan." Ucapnya hampir tak terdengar.

"Terima kasih ya, Kak Evan. Good luck ya!" ucapku sembari melambaikan tangan.

Ia mengangkat sebelah tangannya ragu. Tersenyum lebih lebar. Kupandangi punggung itu keluar. Kuharap ia tidak kecewa.

Aku juga harus lebih berusaha lagi. Berikutnya akan kucoba membuatnya seasyik mungkin.

1
SakiDino🍡😚.BTS ♡
Bagus banget deh, bikin nagih!
KnuckleDuster
Buat gak bisa berhenti baca!
Coke Bunny🎀
Gemesinnya minta ampun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!