Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.
Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.
Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Dunia yang tak pernah ia tahu sebelumnya.
Mulai saat itu, dunianya pun berubah.
(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Terdengar sebuah pengumuman untuk kami, anak-anak dari generasi ketiga agar berkumpul di ruang rapat. Kami menuju ke ruangan sesegera mungkin. Sebuah ruangan yang terisolir dari ruangan lain. Seolah dirancang untuk jauh dari hiruk pikuk kehidupan.
Di dalam telah hadir beberapa wajah staf yang familier. Termasuk di dalamnya adalah kak Neza yang akhir-akhir ini sering mengurusi kami.
"Kalian akan membuat MV yang akan menjadi konten tambahan untuk single terbaru kita nanti." Jelasnya.
Dari kabar yang kudengar, dia menjadi tangan kanan miss Myeong baru-baru ini.
"Untuk lagunya sendiri, nanti dibagikan liriknya untuk kalian hafal dan untuk koreo-nya, besok kalian akan diajari. Yang ingin ku-highlight saat ini adalah soal posisi. Berdasarkan perintah nyonya GM, yang akan menjadi center untuk lagu ini adalah Octavia Viola."
Sontak kami semua terkejut. Terlebih diriku, yang seketika melirik ke samping.
Viola nampak lebih terkejut dari siapapun. Kusikut lengannya. Kubisikkan, "Cie, jadi center nih yee."
"Beneran tuh? Aku enggak salah denger 'kan?"
Ia bergumam sambil memicingkan mata. Sesaat kemudian ia mengembangkan senyum tipis.
"Kalau center, harusnya gajinya yang paling gede 'kan?" Tanyanya padaku, tetap berbisik.
"Nah, kalau itu aku enggak tahu."
Mungkin kutanya ke Kak Nadia saja nanti.
"Untuk posisi pastinya akan kutampilkan di depan."
Layar di hadapan kami menyala. Menampilkan bulatan yang bernomor. Sebuah nomor mewakili sebuah nama. Salah satunya adalah namaku yang bernomor 13. Lagi-lagi cukup dibelakang.
"Seperti ini line up-nya.."
Setelah memberi arahan dan semangat, Kak Neza meninggalkan kami. Di saat yang bersamaan, berakhirlah rapat singkat itu.
MV atau Music Video adalah video yang bertujuan untuk mempromosikan sebuah musik atau lagu. Mungkin kalau konteksnya untuk kami bertujuan untuk mempromosikan anggota generasi ketiga yang mulai aktif.
Sebagaimana idol pada umumnya, dalam sebuah MV, berisi tarian dan nyanyian dari sebuah lagu. Tak jarang, beberapa memiliki jalan cerita tertentu sehingga terlihat lebih dramatis dan seru untuk diikuti.
Esok harinya, kami pun diajari gerakan tariannya dalam ruangan latihan. Aku ternganga saat mendapati ruang latihan yang ramai. Tak hanya ada kami, senior-senior kami pun berada di situ. Sepertinya betul adanya kalau tak hanya kami yang akan membuat MV.
Secara Logika, jika generasi ketiga saja dapat, mana mungkin yang lain tidak?
Untungnya, ruangan ini sangat luas, cukup untuk menampung kami semua. Untuk pertama kalinya, pemandangan seperti ini terjadi. Otomatis kami terbagi dalam tiga buah kelompok, tentunya sesuai generasi. Di bawah bimbingan kak Indri, kami melanjutkan latihan ini.
Tak kusangka, gerakannya cukup mudah dilakukan. Mungkin inilah efek semua latihan yang pernah kulalui, membuat gerakan yang seharusnya lumayan menyulitkan, menjadi mudah.
"LU NIAT ENGGAK SIH!?"
Suara itu menggelegar tiba-tiba. Sontak seluruh pandangan teralihkan ke asal suara. Pandanganku juga ikut tersita.
Asalnya dari kelompok generasi kedua. Terlihat seseorang sedang mendorong yang lain dengan sebelah tangannya. Rupanya, Kak Chika Cantika.
"LU PIKIR LU DOANG YANG CAPEK? MUAK GUE DENGER LU NGELUH!"
"Hah? Emang gue ngomong sama lu?"
"SUARA LU ITU BERISIK BANGET NJING."
Orang yang menjadi lawan bicaranya, berkaca-kaca. Rautnya seperti menahan sesuatu. Ia melirik sekeliling, tatapan menghujaninya. Wajahnya memerah padam. Mulutnya sedikit terbuka seperti ingin berkata sesuatu. Tapi tak keluar sepatah katapun. Malah ia menggigit bibir.
Gadis itu mengambil tas yang tergeletak tak jauh darinya. Menjinjingnya di bahu, berjalan cepat keluar dari ruangan. Dengan gerakan tangan seperti membanting pintu, namun karena pintu memiliki penahan otomatis, perbuatannya terlihat sia-sia.
Pelatih mereka menghela napas berat. Begitu pula kak Indri, dengan sebuah tepukan tangan kencang, ia mengambil alih perhatian. Melototi kami sampai matanya mau copot. Kami segera kembali bergerak.
Latihan tetap berlangsung hingga matahari pulang ke ufuk barat. Meski ini waktu pulang, aku, Anna dan Viola masih di ruang latihan. Namun kali ini, ada kak Nadia dan Kak Chika. Mereka melakukan hal serupa dengan kami. Latihan mandiri.
Jujur aku kaget. Tidak melihat Kak Olivia tapi malah mendapati Kak Chika yang tetap tinggal. Kupikir Kak Chika adalah tipikal yang masa bodo dengan yang terjadi. Ternyata tidak. Predikat orang nomor tiga miliknya memang bukan karena faktor beruntung saja.
Kali ini aku penasaran, mengapa si nomor satu justru tidak ada? Harusnya sebagai idol nomor satu dalam grup ini, ia tetap tinggal bersama dengan mereka. Harusnya menjadi orang yang paling layak untuk dicontoh.
Lalu kenapa sekarang ia tak nampak batang hidungnya?
Sebenarnya tidak masalah sih, selama ia mampu dan merasa tidak butuh dengan latihan tambahan. Yang jadi masalah adalah ia bias-ku. Yang juga berarti panutanku.
Jika panutanku saja tak layak ditiru, aku harus bagaimana dong?
Aku mengulang beberapa gerakan yang diajarkan tadi. Lebih tepatnya, supaya tubuhku tak lupa dan semakin luwes dalam gerakan itu. Entah sampai pengulangan ke berapa, tubuhku mulai meraung. Minta libur sejenak.
Mataku mendapati Kak Nadia duduk sambil mengelap keringat. Aku yang tadinya ingin duduk, melangkah ke arahnya.
"Kak, udah beres latihannya?" Tanyaku iseng.
"Udah nih, kayanya cukup buat hari ini, soalnya besok mau ada banyak kegiatan."
"Tapi tumben sendiri, biasanya bareng Kak Olivia." tuturku ngasal.
"Memang biasanya juga sendiri. Lagipula Olivia enggak mungkin lembur begini."
"Enggak pernah sama sekali?"
"Enggak pernah. Dia kan memang jenius. Gerakan yang dia lihat sekali aja bisa langsung ditiru. Udah begitu langsung bagus. Seperti sudah takdirnya, dilahirkan untuk jadi idol."
Aku terkejut dengan pernyataannya. Rasanya seperti dilebih-lebihkan. Tapi, di saat yang sama, aku merasa Kak Nadia pun menyimpan kekagumannya tersendiri.
Semuanya mulai terasa wajar, karena dia memang sudah mengagumkan sejak awal. Wajar kalau dia tidak butuh latihan tambahan karena latihan biasa saja sudah lebih dari cukup.
Yang jadi masalah adalah diriku. Kalau aku menapak tilas jejaknya, jelas aku tidak mungkin bisa menampilkan sesuatu yang bagus. Bahkan layak ditonton saja tidak.
Yah, manusia memang berbeda-beda. Jadi, tak perlu memusingkan hal tersebut. Yang perlu kulakukan hanyalah berusaha semaksimal mungkin. Simpel bukan?
...----------------...
Latihan intens terus berlanjut beberapa hari. Sampai pada titik di mana aku telah menghafal lirik dan seluruh gerakannya. Setelah seminggu lebih, kami diberi jadwal untuk pergi ke suatu tempat. Kami hanya diberi tahu nama tempat itu dan hanya disuruh untuk bersiap-siap.
Kami, satu generasi diantar menggunakan mini bus yang familier. Dengan barang bawaan yang seadanya, kami duduk dalam bis dengan bebas. Aku yang sedari tadi membuntuti Anna, menggandeng tangannya. Menunjuk kursi dengan dagu. Viola yang duduk di depan kami berbalik, melambai kecil.
Ada beberapa pertanyaan yang mengganjal dalam pikiranku. Sebenarnya ingin kutanyakan sejak lama, tapi kuurungkan. Kurasa bertanya hal yang sensitif itu butuh waktu yang tepat. Nah, menurutku, sekaranglah waktunya.
"Aku sudah denger soal kamu lho." Ujarku, membuka obrolan tanpa basa-basi.
Basa-basi itu sering dilewatkan, jika kita sudah dekat dengan seseorang. Karena itu, aku merasa tak perlu basa-basi lagi.
"Terus aku juga sudah baca komentar di postingan official." Lanjutku.
"Oh," Mulutnya membulat. Nampaknya ia paham arah obrolan ini.
"Netizen memang jahat ya?" Ujarku ketus.
Anna mengangkat pandangan. Menatap langit-langit.
"Menurutku mereka benar."
Mataku melirik cepat. Memastikan kalau kata itu memang benar meluncur dari mulutnya.
"Menghina orang lain kamu anggap benar?"
"Bukan begitu, mereka bukan menghina, mereka cuma mengutarakan fakta aja." Sangkalnya.
Kumiringkan kepala. Kalau korbannya saja tak mempermasalahkannya, seharusnya aku tidak perlu ambil pusing juga.
"Aku sudah duga akan seperti ini. Memang dari awal, aku lolos audisi pun karena privilege yang kumiliki sebagai anak dari orang terkenal. Karena itu, aku bisa menjadi center pun dengan alasan yang sama. Pihak manejemen yang sadar, tak mungkin membiarkan peluang ini begitu saja."
"Tapi, tetap saja ...."
Aku ingin menyangkal lebih jauh, tapi kalimatku seakan ditelan oleh pernyataannya.
"Terima kasih sudah peduli denganku, Ran. Tapi kamu harus tahu, seperti inilah industri ini berjalan."
Benar juga. Aku baru sadar. Anna adalah orang yang paling paham akan hal itu. Hidup sebagai anak dari orang terkenal selama belasan tahun membuatnya mengerti. Karena itu, ia tak tertekan atau pun benci dengan komentar-komentar pedas akan dirinya.
"Tapi, justru komentar-komentar merekalah yang membuatku ingin membuktikan kalau aku bisa berdiri dengan kekuatanku sendiri. Bukan karena ditopang ibuku atau yang lain. Karena itu, aku enggak menolak ketika ditunjuk sebagai center."
"Tapi, gara-gara itu, kamu menderita."
"Ya, enggak salah sih, tapi, sebenarnya bukan mereka yang memanfaatkanku, tapi justru aku yang memanfaatkan mereka."
"Kok gitu?" tanyaku keheranan.
"Aku sudah tau bakal begini, maka dari itu, aku memanfaatkannya agar bisa dikenal banyak orang. Meski awalnya aku dikenal sebagai anaknya Mia Paula, tapi aku harap, suatu hari nanti, mereka akan mengenalku sebagai member Flow generasi ketiga, Julianna Fortune Gwendoline, bukan anak dari Mia Paula."
Tak ada yang salah dari kalimatnya. Benar. Memang seharusnya begitu. Untuk bertahan di industri semacam ini, seseorang harus memakai semua kartu yang bisa ia mainkan.
"Maka dari itu ...."
Aku terkejut. Keningku serasa ditempel sesuatu yang hangat. Wajah Anna jadi terlihat amat dekat.
"... jangan kalah ya, Ran."
Kalimatnya barusan terasa seperti sebuah sindiran. Namun, entah mengapa, hatiku terasa hangat.
"Aku juga enggak berniat untuk kalah." jawabku antusias meski mataku terpejam.
Anna tersenyum cerah mendengarnya. Senyum yang cukup untuk menunjukkan kalau ia baik-baik saja.