Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Anting
Karenin mulai meletakkan barang-barangnya, sementara Shanaira menambahkan barang-barang pribadinya ke dalam tumpukan belanjaan.
"Aku bayar bagian ini," kata Shanaira sambil membuka tas dan mengeluarkan dompet.
Karenin meliriknya sebentar, lalu tersenyum kecil. "Tidak usah. Aku yang bayar semuanya."
Shanaira mengangkat alis. "Karenin, ini barang pribadi aku, bukan barang dapur."
Karenin tetap santai, menyerahkan kartunya ke kasir. "Tetap aku yang bayar. Kamu tidak perlu memikirkan hal-hal kecil ini. Sudah tugas suami."
Shanaira terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil—ada sesuatu yang menyenangkan dalam cara Karenin memperlakukannya. Mungkin dulu ia akan menolak keras, tetapi kini ia hanya membiarkan kebiasaan kecil ini menjadi bagian dari kehidupan barunya.
Saat mereka berjalan keluar dari supermarket menuju parkiran, angin pagi yang sejuk menyelimuti mereka. Shanaira memeluk tas belanjaannya, dan tanpa sadar, ia menoleh ke arah Karenin. Tatapan pria itu masih penuh perhatian, seperti biasa, tanpa paksaan.
Di dalam mobil, dalam perjalanan pulang, Shanaira menyandarkan kepalanya ke jendela, menyadari sesuatu—mungkin, ia tidak hanya belajar menerima kehidupan barunya. Mungkin, ia mulai menemukan kenyamanan dalam sesuatu yang sebelumnya terasa asing.
*****
Setelah perjalanan ke supermarket, mereka tiba kembali di apartemen. Karenin langsung membawa belanjaan ke dapur, mulai menyusun bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari di rak dan lemari es. Sementara itu, Shanaira menuju kamar, membawa beberapa produk baru yang telah dipilih dengan hati-hati sebelumnya.
Di dalam kamar, Shanaira duduk di depan meja rias, memandangi produk yang tadi ia beli dengan bantuan Karenin. Dengan hati-hati, ia membuka kemasan pelembab baru dan mengoleskannya ke wajahnya. Sensasi lembut menyentuh kulitnya, sedikit berbeda dari produk yang biasa ia gunakan, tetapi tidak ada iritasi—hanya kesejukan yang menenangkan.
Saat sedang meratakan krim di wajahnya, pintu kamar terbuka perlahan, dan Karenin masuk, sudah menyelesaikan urusannya di dapur. Ia berhenti sejenak di ambang pintu, memandang Shanaira yang sibuk dengan perawatan wajahnya. Ada kehangatan dalam tatapan pria itu—bukan sekadar ketertarikan, tetapi lebih kepada rasa tenang karena melihat seseorang yang mulai merasa nyaman di rumahnya.
"Kamu menikmati produk barumu?" tanyanya ringan, berjalan mendekat.
Shanaira menoleh, menyeka sisa krim dengan jari. "Ya... rasanya lebih lembut dari yang biasa kupakai. Kamu benar soal rekomendasinya."
Karenin tersenyum kecil, lalu mengeluarkan sesuatu dari dompetnya—sebuah kartu hitam elegan dengan logo bank terkemuka. Ia memandangnya sejenak sebelum menyodorkannya ke arah Shanaira.
"Apa ini?" tanya Shanaira, sedikit bingung.
Karenin menghela napas pendek sebelum menjawab. "Aku baru ingat saat membayar di kasir tadi. Aku belum pernah benar-benar memberikan nafkah padamu sebagai suami."
Shanaira memandang kartu itu, lalu beralih menatap Karenin. "Karenin, kamu nggak perlu melakukan ini... aku masih punya penghasilan sendiri."
Karenin menatapnya dengan tenang, tetapi matanya penuh keteguhan. "Aku tahu. Kamu mandiri, dan aku menghormati itu. Tapi tetap saja... aku suamimu. Memberi nafkah bukan soal kamu bisa atau tidak menghidupi dirimu sendiri. Ini soal tanggung jawabku."
Ada keheningan sejenak. Shanaira menatap kartu itu, lalu menatap Karenin. Ada sesuatu dalam perkataan pria itu yang tidak bisa ia bantah—kesungguhan, kepedulian, dan rasa hormat terhadap dirinya.
"Gunakan kapan pun kamu perlu," lanjut Karenin. "Bukan untuk hal mewah, bukan untuk mengubah hidupmu. Tapi untuk memastikan kamu selalu nyaman."
Shanaira mengambil kartu itu perlahan, merasakan berat emosional dari tindakan sederhana ini. Ia tak tahu bagaimana harus merespons—belum pernah ada pria yang memberinya sesuatu dengan cara seperti ini sebelumnya, tanpa pamrih, tanpa maksud tersembunyi.
"Aku..." Ia menelan ludah, lalu menghela napas. "Terima kasih."
Karenin tersenyum kecil, lalu berdiri kembali. "Sekarang, aku biarkan kamu lanjut perawatanmu."
Tanpa berkata lebih jauh, ia melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Shanaira yang masih memegang kartu itu dengan tatapan kosong. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, lalu menghela napas panjang.
Bukan soal uang. Bukan soal kartu hitam itu. Tapi soal bagaimana satu tindakan kecil bisa menunjukkan begitu banyak hal—keseriusan Karenin sebagai suami, kepeduliannya yang tidak sekadar berbicara, dan kenyataan bahwa semakin hari, semakin sulit untuk mengabaikan keberadaannya.
Ia meletakkan kartu itu di meja rias, lalu kembali melanjutkan perawatannya dengan hati yang sedikit lebih hangat.
×××××
Pagi itu, Shanaira melangkah anggun melewati lobby hotel Renault. Gaun kerjanya berwarna biru muda berpadu manis dengan anting berlian yang bergantung anggun di kedua telinganya. Anting pemberian Karenin itu berkilau lembut di bawah cahaya lampu gantung kristal yang menghiasi lobby.
Langkah kakinya terhenti sesaat ketika dari arah berlawanan, sosok Ethan mendekat. Ethan yang mengenakan setelan kasual hitam dengan kemeja putih tampak hendak keluar dari hotel. Mereka sama-sama terdiam sejenak, saling memandang, sebelum Ethan membuka suara lebih dulu.
"Shan... pagi," sapa Ethan sambil menatap wajah Shanaira, lalu menunduk sedikit memperhatikan anting di telinganya. Matanya menyipit, seolah mencoba meyakinkan penglihatannya.
Shanaira mengangguk sopan. "Pagi, Ethan."
Ethan menatapnya lebih dalam, lalu dengan suara pelan tapi terdengar jelas, ia bertanya, "Kau pakai anting sekarang?"
Shanaira menoleh pelan, tersadar bahwa anting itu menarik perhatian. Ia menyentuh perlahan salah satu antingnya. "Hm... ya."
"Tapi... bukankah kau selalu bilang tidak suka pakai anting? Bahkan saat ulang tahunmu yang ke-20 aku pernah mau membelikanmu, tapi kau bilang tidak nyaman dengan apapun yang menggantung di telingamu."
Shanaira mengangkat alis sebentar. Ia tersenyum, tipis, tapi tatapannya dalam. "Itu dulu. Sekarang... ini hadiah dari suamiku."
Ethan terdiam. Rahangnya menegang, matanya sekejap memudar dari hangat menjadi keruh. "Oh... begitu ya." Napasnya sedikit berat. "Jadi kau memang berbohong waktu itu?"
Pertanyaan itu menghantam sebuah pintu lama dalam ingatan Shanaira.
Tiba-tiba pikirannya terlempar ke masa lalu—saat usianya masih 15 tahun. Ia sedang sendirian di ruang keluarga, membersihkan lemari TV tua yang hampir tidak pernah dibuka. Di dalamnya, ia menemukan sebuah kotak beludru kecil berisi sepasang anting berlian mungil, model klasik tapi sangat indah. Ia tidak tahu kenapa, tapi saat itu, ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mencoba memakainya.
Ia tersenyum kecil di depan cermin saat anting itu menggantung sempurna di telinganya. Tapi momen itu tidak berlangsung lama.
Pintu ruang keluarga terbuka, dan ayahnya berdiri di ambang pintu. Tatapan mata pria itu berubah menjadi api kemarahan.
"Apa yang kau lakukan?!"
Shanaira yang ketakutan hanya bisa terpaku. Tapi ayahnya melangkah cepat, tanpa berkata banyak, langsung mencabut salah satu anting dari telinganya. Rasa sakitnya tajam. Ia menjerit pelan saat darah mengalir dari lubang tindikannya.
"Itu milik ibumu!" bentak ayahnya dengan suara dingin. "Kau tak layak memakainya."
Shanaira menggigit bibirnya kala itu. Tidak menangis. Tapi luka itu membekas lebih dalam dari sekadar fisik. Sejak hari itu, ia tidak pernah lagi menyentuh anting, bahkan tak berani menatap pajangan perhiasan di etalase toko.
*
Shanaira menarik napas dalam-dalam, kembali ke masa kini. Ia menatap Ethan dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Aku tidak bohong, Ethan. Aku hanya... punya alasan yang tidak siap aku ceritakan waktu itu," jawabnya tenang, tapi penuh makna. "Dan sekarang, aku memilih untuk membiarkan masa lalu itu tetap di masa lalu."
Shanaira mulai membuka hatinya, karena dia sudah memiliki jalan hidupnya sendiri. Lepaskan semua belenggu masa lalu yang kelam dan buka lembaran baru mada depan yang cerah.
Ethan terlihat ingin bertanya lebih lanjut, tapi urung. Ada sesuatu dalam tatapan Shanaira yang membuatnya merasa tidak berhak lagi.
"Anting itu... sangat cantik. Kau terlihat berbeda. Lebih bebas," gumam Ethan akhirnya.
Shanaira tersenyum tipis. "Terima kasih. Aku juga sedang belajar untuk hidup... dengan cara yang berbeda."
Kemudian, tanpa berkata lebih, ia melangkah pergi, meninggalkan Ethan yang masih berdiri di tempatnya. Lelaki itu memandangi punggung Shanaira yang menjauh, lalu menunduk, meremas jemarinya sendiri.
Ada rasa sesak di dadanya. Bukan hanya karena kecemburuan—tapi juga karena penyesalan.
Dan jauh di dalam dirinya, Ethan tahu... hari itu, ia benar-benar kehilangan sesuatu yang tak bisa lagi ia miliki.
Tapi... bisakah dia mendapatkan hal itu kembali?
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh