Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Berangkat
Shanaira membuka pintu kamar dan mendapati aroma bubur menguar dari dapur. Di meja makan, Karenin sudah menyiapkan dua mangkuk bubur lengkap dengan irisan daun seledri dan telur rebus.
“Pagi. Aku buatin bubur, biar perutmu gak kaget pas jalan nanti,” katanya sambil menarik kursi untuknya.
“Terima kasih,” ucap Shanaira, duduk perlahan. Tangannya refleks menyentuh perutnya yang masih datar.
Karenin duduk di seberangnya, tapi tak terlalu menatap. Ia hanya memastikan semuanya dalam jangkauan. Tisu. Air hangat. Vitamin pagi.
“Kalau nanti capek di jalan, bilang. Kita bisa minta berhenti sebentar.”
Shanaira mengangguk pelan. Ia tak menjawab dengan banyak kata, tapi jelas tak mengabaikan kebaikan kecil itu.
Begitu makanan habis, Karenin membereskan meja terlebih dahulu dan meminta Shanaira menunggu di ruang tamu. "Kamu duduk saja di sofa dulu. Biar aku yang mengambil kopermu nanti."
"Tidak perlu, biar aku keluarkan sendiri," tolak Shanaira tidak ingin membebani Karenin.
Karenin menghentikan lankahnya menuju dapur dan berbalik menatap Shanaira. "Shanaira, jangan merasa sungkan membiarkan aku melakukan sesuatu untukmu. Kamu sedang hamil sekarang, sudah sewajarnya aku lebih perhatian."
Karenin dapat melihat dari perilaku Shanaira sehari-hari kalau dia tidak ingin membuatnya terbebani karena itu dia mencoba melakukan semuanya sendiri. Bahkan kemarin saat mencoba membantunya mengemas pakaian ke dalam koper Shanaira menolak bantuannya.
"Wanita hamil tidak boleh mengangkat benda-benda berat. Kamu harus ingat itu," tambahnya.
Shanaira tersipu malu. Dia tahu dia sedang hamil sekarang dan tidak cocok melakukan kegiatan berat, dia pun tidak menolak bantuan Karenin lagi. "Baiklah. Maaf merepotkanmu."
"Kamu tidak merepotkan sama sekali. Kamu juga tidak perlu meminta maaf. Hubungan kita tidak memerlukan kata-kata sopan seperti itu. Semua itu tanggung jawab ku sebagi suami."
Shanaira tidak mengatakan apa-apa lagi hanya berjalan menuju ruang tamu. Dia tahu Karenin adalah pria yang sangat baik. Sejak awal dia menekankan tanggung jawabnya sebagai pria dan dia menghormati itu. Namun, dia tidak ingin hanya karena rasa tanggung jawab itu dia malah menjadi beban bagi pria itu.
Shanaira sedang membaca informasi Sagara Renault saat Karenin berhenti di depannya bersama dua buah koper berwarna hitam dan silver.
“Semua udah masuk koper?” tanyanya kemudian.
“Sudah. Aku cuma bawa yang perlu aja.” Jawab Shanaira memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Hari ini adalah hari keberangkatan mereka ke hotel Sagara Renault. Shanaira tidak tahu apakah perjalan mereka ini baik atau buruk.
Mobil kantor datang tepat waktu. Karenin membantu membawa koper, membukakan pintu mobil, dan memastikan Shanaira duduk nyaman. Dia tak berkata apa-apa soal tugas kerja selama liburan itu. Tapi dari tatapannya yang sebentar singgah ke wajah Shanaira, terlihat jelas: dia akan ada di sana untuknya. Apa pun yang terjadi.
Mobil melaju stabil, meninggalkan deretan gedung kota yang perlahan berganti dengan hamparan sawah dan perbukitan hijau. Langit begitu cerah, tapi suasana hati Shanaira justru tidak secerah itu. Ia duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, satu tangan memegang perutnya dan yang satu lagi mencengkeram sisi kursi. Wajahnya pucat, dan keringat dingin mulai membasahi pelipis.
Karenin yang sejak tadi sesekali mencuri pandang akhirnya bicara, suaranya dipenuhi kekhawatiran. “Sha... kamu kelihatan pucat banget. Mual ya?”
Shanaira mengangguk pelan, menutup matanya erat. “Iya… mual, terus... agak pusing juga.”
Ia menelan ludah susah payah. Rasa mual memang mulai mereda, tapi kini kepalanya terasa berdenyut pelan. Pemandangan di luar yang bergerak cepat malah memperparah rasa tidak nyaman itu.
Karenin langsung bereaksi. Ia mengatur ventilasi AC agar tak langsung mengenai Shanaira dan membuka sedikit jendela agar udara segar masuk. Ia mengambil botol air mineral dari kompartemen dan menyerahkannya dengan lembut.
“Minum dulu. Pelan-pelan aja. Mau permen mint? Aku bawa.”
Shanaira menerima botol itu, menyesap sedikit. Ia mengangguk ketika Karenin menawarkan permen, lalu meletakkan kepalanya ke belakang, mencoba mengurangi pusingnya.
“Kalau masih mual, kita bisa berhenti bentar,” ucap Karenin lagi. “Tapi... kalau kamu cuma pusing, mungkin tidur sebentar bisa bantu. Mau bersandar di bahu ku?”
Shanaira membuka mata sedikit dan menatapnya. Ada keraguan di sana, tapi juga kelelahan yang tak bisa disembunyikan. Karenin hanya menatap balik dengan tenang, ekspresinya tulus, bukan memaksa.
Akhirnya, ia bergumam pelan, “Boleh... kalau kamu nggak keberatan.”
Dengan pelan dan hati-hati, Shanaira menggeser tubuhnya mendekat dan menyandarkan kepala ke bahu Karenin. Bahunya hangat, kokoh, dan anehnya... nyaman. Karenin diam saja, tidak bergerak agar posisi Shanaira tetap stabil. Ia bahkan melipat jaket tipisnya dan meletakkannya di antara bahu dan kepala Shanaira agar lebih empuk.
“Aku nggak keberatan sama sekali,” gumam Karenin, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Kamu perlu istirahat. Jangan terlalu dipaksa, oke?”
Shanaira tidak menjawab, tapi tubuhnya perlahan mengendur. Wajahnya yang tegang mulai mereda, napasnya lebih teratur.
Di luar, mobil terus melaju ke arah kota sebelah. Di dalam, waktu seolah melambat—membiarkan sepasang manusia yang sama-sama menyimpan luka itu beristirahat dalam sunyi, dalam kebersamaan yang perlahan-lahan menghangatkan ruang di antara mereka.
Mobil berhenti pelan di depan pintu utama Hotel Sagara Renault—sebuah bangunan megah bergaya resor tropis dengan nuansa putih dan biru laut yang elegan. Pohon kelapa melambai tertiup angin, aroma asin dari laut yang tak jauh dari sana menyelinap masuk lewat celah jendela yang terbuka sedikit. Namun suasana segar itu tidak dirasakan langsung oleh Shanaira.
Ia masih tertidur lelap di bahu Karenin, napasnya tenang, tapi wajahnya masih sedikit pucat. Rambutnya yang terurai jatuh menutupi sebagian wajah, dan Karenin hanya bisa memandangnya dengan lembut, menjaga agar gerakannya sekecil mungkin.
Sopir yang menyetirkan mereka melirik ke belakang lewat kaca spion. “Sudah sampai, Pak.”
Karenin mengangguk kecil. “Terima kasih. Tapi... kita tunggu sebentar, ya.”
Sopir itu paham dan turun lebih dulu, membukakan bagasi. Seorang petugas hotel dengan seragam rapi segera mendekat untuk membantu membawakan koper. Sementara itu, Karenin tetap di kursinya membiarkan Shanaira tetap nyaman di tempatnya.
Ia merogoh ponselnya, membuka layar tapi tak benar-benar membacanya. Pandangannya masih tertuju pada wajah perempuan yang kini tertidur di sisinya. Perempuan yang dulu sempat ingin dijauhkan, namun perlahan mengisi ruang dalam hidupnya tanpa diminta.
Ada dorongan dalam dirinya untuk membelai rambut Shanaira, tapi ia menahan diri. Terlalu cepat, batinnya memperingatkan. Jadi ia hanya duduk diam, sabar menunggu. Angin pantai sesekali masuk dan mengibaskan sedikit ujung rambut Shanaira. Karenin tersenyum kecil saat gadis itu bergumam pelan, menggeliat sedikit tanpa benar-benar bangun.
“Kita sudah sampai, Sha...” bisiknya lirih, meski tahu Shanaira belum mendengar.
Ia menatap arloji. Sudah hampir lima belas menit berlalu sejak mobil berhenti. Tapi ia sama sekali tidak keberatan menunggu. Dalam diam seperti ini, dalam kebersamaan yang sederhana—ia merasa lebih dekat dari sebelumnya.
Dan untuk kali pertama sejak perjalanan itu dimulai, Karenin tak terburu-buru. Ia siap menunggu selama yang dibutuhkan.