The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.
Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.
Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Simbol Yang Tak Pernah Mati
Langit itu benar-benar retak.
Bukan retak seperti pecahan kaca biasa—ini seperti langitnya sendiri sedang membuka rahasia yang telah lama dikubur. Celah-celah halus seperti guratan api menggores langit biru yang sebelumnya begitu tenang. Suara seperti gemuruh jauh di luar angkasa mulai terdengar, menghantam jantung siapa pun yang mendengarnya.
"Astaga..." Rivani nyaris berbisik. "Itu bukan ilusi, kan?"
Dira berdiri mematung, tenggorokannya kering, matanya terpaku ke atas. Ada sesuatu yang terasa sangat, sangat salah. Bukan hanya tentang langit. Tapi tentang apa yang akan keluar dari balik retakan itu.
Bagas merapat ke sisinya, matanya mengeras. “Kita harus keluar dari altar ini. Sekarang.”
Tapi sebelum siapa pun bisa bergerak, terdengar bunyi langkah kaki dari arah gerbang istana. Lima orang.
Mereka datang tanpa suara, tapi entah bagaimana semua orang—bahkan para prajurit kerajaan—menoleh bersamaan. Warga lokal... tapi tidak biasa.
Mereka mengenakan pakaian tradisional Arcadia Terra, tapi ada satu hal yang langsung membuat napas seluruh tim The Vault tercekat.
Simbol itu.
Di bagian dada mereka, terpampang jelas sebuah lambang yang tidak akan pernah dilupakan oleh tim: mata satu dalam lingkaran merah, dengan lambang VOC yang patah, persis seperti simbol yang mereka temukan di bangkai kapal tua sebelum masuk ke benua ini.
Zwarte Sol.
Rendi mundur satu langkah. “Mustahil...”
Yuni menatap mereka dengan tatapan kosong, seolah-olah otaknya menolak menghubungkan kenyataan yang ada di depan mata.
"Selamat datang," ucap salah satu dari mereka, pria tua dengan rambut perak dan tatapan menusuk. Suaranya pelan, tapi menggema dalam dada. "Akhirnya kalian sampai di pusat teka-teki dunia."
“Siapa kalian?” tanya Intan tajam. Tangan kanannya perlahan bergerak ke sarung senjata di ikat pinggang.
Pria tua itu menatap mereka dengan senyum tenang. “Kami adalah sisa-sisa dari Zwarte Sol. Yang bertahan. Yang menyebar.”
Raja Terra berdiri dari tahtanya, suaranya menggema penuh otoritas. “Apa maksudmu dengan Zwarte Sol? Itu bukan bagian dari sejarah kami!”
Pria tua itu tidak menoleh padanya. Sebaliknya, ia menatap lurus ke arah Dira dan timnya.
“Kalian mengira hanya Indonesia yang mereka incar. Kalian pikir Zwarte Sol hanya bercokol di tanah air kalian. Tapi itu hanya satu halaman dari kitab besar yang lebih gelap. Arcadia Terra—benua ini—adalah salah satu dari dua belas tanah yang mereka jamah dahulu.”
Seluruh ruangan membeku.
“Dulu, saat penjajah melintasi lautan bukan hanya dengan kapal tapi juga dengan mantra, mereka menemukan jalan ke balik dinding es. Sebagian dari mereka tidak pernah kembali. Tapi sebagian lainnya... bertahan. Mereka menemukan rumah baru. Tempat untuk menanamkan kepercayaan mereka.”
Bagas menatap Dira, suaranya nyaris tak terdengar. “Ini... tidak mungkin.”
“Tapi mereka punya simbolnya,” gumam Noval dengan suara patah. “Simbol itu. Sama persis. Tidak ada yang bisa memalsukannya.”
“Vin Rijk van Oostermeer,” lanjut si pria tua. “Pemimpin kami terdahulu. Ia masuk ke benua ini ratusan tahun lalu. Dan meskipun ia ditaklukkan secara tubuh oleh Para Penjaga Batas kalian... kepercayaannya tak pernah mati.”
Raja Terra menggebrak tongkatnya ke lantai. “Itu kebohongan! Tak ada sejarah seperti itu di naskah leluhur kami!”
Tapi salah satu dari lima orang itu, perempuan muda dengan mata tajam, berkata pelan, “Tentu saja tidak, Yang Mulia. Karena sejarah kalian telah disunting.”
Prajurit-prajurit kerajaan mulai bergerak, membentuk barisan di sekitar Raja. Suasana berubah mencekam. Tapi yang lebih membuat bulu kuduk berdiri adalah tatapan raja yang kini tidak lagi percaya diri—melainkan penuh kebingungan dan ketakutan.
“Bawa mereka keluar dari istana,” perintah Raja, suaranya sedikit bergetar. “Sekarang!”
Tapi para prajurit tidak langsung bergerak. Salah satu dari mereka, komandan muda yang berdiri paling dekat dengan Dira, bertanya, “Yang Mulia… jika yang mereka katakan benar…”
“Tidak ada kebenaran dalam hal ini!” bentak Raja.
Namun saat itu juga, langit menggelegar.
Retakan di angkasa makin lebar, dan dari dalamnya keluar cahaya ungu tua—berkilat seperti petir tapi tidak mengeluarkan panas. Hanya aura. Aura yang membuat seluruh altar terasa menggigil.
Dira melangkah maju. “Kalian tahu apa yang terjadi di langit?”
Pria tua itu mengangguk pelan. “Itu adalah tanda. Segel pertama mulai melemah. Ketika semua artefak dibangkitkan, pintu antar-benua akan terbuka. Zwarte Sol akan kembali... bukan hanya sebagai bayangan masa lalu, tapi sebagai realita yang tak bisa kalian hindari.”
“Bagaimana kalian tahu semua ini?” tanya Bagas, matanya tajam.
“Kami tidak hanya tahu. Kami adalah bagian dari prosesnya. Kami yang menanam benihnya. Kami adalah generasi yang memelihara ajaran Vin Rijk sejak dia menghilang dari dunia kalian. Dan sekarang... giliran kalian memutuskan. Melawan, atau memahami.”
“Memahami apa?” desak Yuni.
Bahunya yang sempit bergidik, seolah tahu jawabannya akan lebih buruk dari apa pun yang bisa ia bayangkan.
“Bahwa dunia kalian... dunia yang kalian pikir hanya terdiri dari tujuh benua... adalah ilusi. Yang sejati tersembunyi di balik kubah langit dan tembok es. Dunia ini lebih tua, lebih dalam, dan lebih rumit dari yang diajarkan sekolah atau sains.”
Raja Terra kini berdiri kaku, tatapannya kosong. “Itu berarti... aku sendiri tak tahu sejarah bangsaku?”
“Banyak dari kalian yang tidak tahu,” bisik si perempuan muda. “Dan itu disengaja.”
Sunyi menyelimuti altar itu.
Tak ada yang berkata-kata. Bahkan Rivani yang biasanya sinis dan keras pun hanya bisa memegangi kepalanya, seolah ingin memastikan semuanya hanya mimpi buruk.
Tiba-tiba, sebuah suara lain muncul dari belakang altar. Suara berat, dingin, dan nyaris tidak manusiawi.
“Satu benua telah terbuka. Sebelas lagi menunggu waktunya.”
Dira langsung menoleh, jantungnya berdegup keras.
Siluet tinggi menjulang, perlahan muncul dari balik bayangan dinding altar. Sosok berjas hitam tua, mengenakan topeng emas dengan ukiran mata satu besar di tengah. Aura di sekelilingnya dingin, seperti malam tanpa bulan.
Bagas langsung berdiri di depan Dira, melindungi. “Siapa kau?”
“Utusan.” Suaranya seperti gema dari dasar sumur.
“Dari... Vin Rijk?”
Sosok bertopeng itu tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya, dan simbol mata satu di dadanya mulai menyala samar.
“Zwarte Sol tak pernah benar-benar mati. Kami hanya menunggu waktu. Dan waktunya... adalah sekarang.”
Langit menggelegar sekali lagi. Retakan makin besar. Petir ungu menyambar tepi altar, membuat sebagian temboknya runtuh. Tanah berguncang.
Para prajurit segera menarik Raja Terra keluar. Sementara lima warga misterius itu mundur tanpa suara, seolah semuanya sudah direncanakan.
“Dira!” teriak Noval. “Kita harus pergi! Sekarang!”
Dira menoleh sekali lagi ke arah langit—ke arah retakan yang kini seperti membuka celah menuju dunia lain.
Ia tahu. Ini bukan hanya misi mencari artefak lagi. Ini perang. Perang spiritual. Perang sejarah.
Dan Zwarte Sol ada satu langkah di depan mereka.
Bersambung....