Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Doa dalam Diam
Gedung pertemuan Universitas Negeri Surabaya hari itu dipenuhi oleh peserta seminar nasional bertema “Spiritualitas dalam Pendidikan Modern”. Kursi auditorium hampir penuh, sebagian besar dari kalangan akademisi, mahasiswa pascasarjana, dan para praktisi pendidikan Islam dari berbagai daerah.
Azam duduk di deretan panelis, mengenakan jas hitam sederhana dengan peci hitam di kepala. Ia dijadwalkan menjadi salah satu pembicara utama, membawakan materi tentang integrasi nilai-nilai sufistik dalam dunia kampus modern. Sesuatu yang sejak beberapa bulan terakhir ia tekuni lebih dalam.
Sementara itu, dari sisi aula, masuklah seorang wanita berjilbab syar’i warna krem lembut, mengenakan gamis sederhana dan tas selempang berisi buku catatan. Wajahnya tenang, lebih bersih dari yang Azam ingat. Ada aura damai yang terpancar dari matanya, dari caranya berjalan, dan dari cara ia menundukkan pandangan.
Itu Nayla.
Tapi Azam belum melihatnya.
Nayla duduk di barisan tengah, tanpa sadar memilih posisi yang bisa langsung melihat ke arah panelis. Jantungnya berdetak lebih cepat saat membaca nama-nama narasumber di pamflet acara. Satu nama membuat pandangannya kabur seketika.
Dr. Muhammad Azam Fadhil.
Ia nyaris berdiri dan pergi. Tapi kakinya tak sanggup bergerak. Ada getaran aneh dalam dirinya. Setelah enam bulan—lelaki itu masih hadir dalam kehidupannya, kini sebagai takdir yang tak bisa ia elakkan.
Seminar dimulai. Moderator memanggil Azam naik ke podium.
Nayla menunduk. Ia tak tahu harus menatap atau berpaling. Tapi saat mendengar suara Azam menyapa hadirin, hatinya mencelos.
Suara itu… suara yang dulu ia rindukan diam-diam saat menangis dalam sujud malam.
Azam membuka pemaparannya dengan kutipan dari Ibnu Athaillah, lalu mengaitkan dengan peran spiritual dalam mendidik generasi muda. Penyampaiannya tenang, jernih, dan… tak lagi dingin. Ada kelembutan yang tak pernah Nayla kenal sebelumnya.
Dan kemudian…
Saat sesi tanya jawab dimulai, seorang peserta wanita mengangkat tangan. Moderator mempersilakan.
Nayla berdiri.
Azam yang awalnya menunduk membaca catatan, tiba-tiba mengangkat wajahnya.
Mata mereka bertemu.
Detik itu, waktu terasa berhenti.
Sejenak, Azam tak mampu berkata-kata. Begitu pula Nayla. Tapi ia akhirnya bicara, suaranya tenang meski hatinya gemetar.
“Maaf, saya ingin bertanya tentang konsep tajdid an-nafs yang tadi Ustaz Azam singgung. Dalam proses perubahan seseorang, seberapa penting lingkungan dalam mendukung proses taubatnya, dan bagaimana menghadapi penolakan dari masa lalu yang belum selesai?”
Azam menatap Nayla dengan mata yang tak bisa menyembunyikan rasa terkejut, haru, dan rindu.
Ia menarik napas, lalu menjawab.
“Pertanyaan yang indah,” katanya pelan. “Terkadang, Allah menjauhkan dua orang agar masing-masing bisa belajar mencintai diri-Nya lebih dulu. Dan saat mereka dipertemukan kembali, bukan untuk mengulang luka, tapi sebagai dua insan yang lebih utuh.”
Nayla menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca.
Dan Azam menutup jawabannya dengan kalimat yang hanya bisa dimengerti mereka berdua:
“Kadang, kita tak harus mencari. Karena cinta yang sabar akan menemukan jalannya pulang.”
Forum telah usai. Peserta mulai beranjak keluar aula, sebagian sibuk berbincang, beberapa lainnya mengantre foto bersama para narasumber. Azam turun dari podium lebih lambat dari biasanya. Matanya sibuk mencari satu sosok—dan saat melihat Nayla di dekat pintu keluar, ia segera mempercepat langkah.
“Nayla...”
Langkah Nayla terhenti. Tubuhnya menegang sesaat. Ia tak segera menoleh. Tapi suara itu... suara yang selama ini ia simpan dalam diam, kini kembali memanggilnya secara nyata.
Dengan pelan, ia menoleh. Mata mereka bertemu lagi. Tak ada kemarahan. Hanya dua pasang mata yang sama-sama menyimpan rindu yang tak pernah tuntas.
“Ada waktu?” tanya Azam, suaranya nyaris seperti bisikan. Tak mendesak. Hanya berharap.
Nayla ragu sesaat. Tapi akhirnya mengangguk. “Sebentar saja.”
Mereka berjalan menuju taman kampus. Duduk di bangku panjang, terpisah setengah lengan, dalam diam yang ganjil. Burung-burung sore berloncatan di rerumputan, udara semilir, dan langit mulai memerah.
Azam membuka percakapan dengan suara serak, “Kau… terlihat sangat berbeda.”
Nayla menunduk. “Aku hanya sedang belajar menjadi lebih baik. Bukan untuk siapa-siapa. Hanya untuk diriku… dan untuk Allah.”
Azam mengangguk pelan. Ia menatap jauh ke depan, lalu berkata, “Aku terlambat menyadari… bahwa memaafkan bukan hanya tentang orang lain. Tapi tentang membebaskan diri sendiri.”
“Sudah kubilang sejak awal,” Nayla berkata lirih, “aku tidak berharap kau menerimaku apa adanya. Aku hanya ingin kau tahu... aku pernah ingin menjadi istrimu yang utuh. Tapi aku sadar, aku datang dalam kondisi hancur... dan kau berhak menolak.”
Azam memejamkan mata. “Bukan menolak. Tapi aku takut. Takut menerima sesuatu yang tak bisa kupahami dengan ikhlas.”
Hening.
Lalu Azam menoleh padanya. “Bolehkah aku tahu… selama ini kau ke mana?”
Nayla tersenyum tipis. “Ke mana pun Allah membawaku. Tapi tujuannya satu: pulang. Bukan ke seseorang. Tapi ke jalan-Nya.”
Azam menunduk. Ada air bening yang ia tahan di pelupuk mata.
“Kalau suatu hari... aku ingin menebus semua sikapku dulu,” katanya perlahan, “bukan dengan memaksamu kembali, tapi dengan menjadi orang yang bisa kau percaya berdiri di sampingmu… dalam versi yang lebih dewasa dan tenang. Masihkah ada celah untuk itu?”
Nayla tak langsung menjawab. Tapi ia menatap Azam dengan tatapan yang tak membenci. Tatapan yang telah belajar menerima dan mengikhlaskan. Tatapan seorang wanita yang pernah mencintai dalam diam… dan kini, mencintai dengan doa.
“Aku belum tahu,Mas Azam. Tapi jika memang waktunya Allah izinkan... mungkin nanti kita akan bertemu lagi. Bukan di forum seperti ini. Tapi di kesempatan yang lebih jernih.”
Azam mengangguk. Tak memaksa. Hanya menyimpan harap itu diam-diam.
Sore itu, mereka berpisah tanpa janji. Tapi hati masing-masing terasa lebih ringan—karena untuk pertama kalinya, mereka bicara bukan dengan luka… tapi dengan kesadaran.
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan seperti biasa. Azam kembali ke rutinitas sebagai dosen, peneliti, dan pembicara undangan di berbagai forum. Tapi sejak bertemu Nayla, ada ruang dalam hatinya yang kembali hidup. Rindu yang selama ini ia redam dalam bentuk penyesalan, kini perlahan tumbuh sebagai harapan yang lebih tenang.
Malam-malamnya berubah. Dalam sujud-sujud panjangnya, nama Nayla kembali disebut. Bukan dengan gundah seperti dulu, tapi dengan ketundukan.
"Jika dia memang bukan takdirku, jangan biarkan aku mencintainya dengan sia-sia. Tapi jika Engkau masih menuliskannya dalam hidupku, maka tuntun aku untuk mencintainya dengan benar, Ya Rabb."
Begitulah Azam berdoa setiap malam.
Sementara itu, Nayla memulai babak baru hidupnya sebagai mahasiswi pascasarjana jurusan Ilmu Tasawuf di Yogyakarta. Ia tinggal di sebuah asrama kampus putri. Setiap pagi, ia mengaji di mushala kecil asrama sebelum kuliah dimulai. Ia mengajar anak-anak mengaji di TPA sekitar. Dan setiap malam, ia menulis jurnal harian—tentang prosesnya memahami diri, tentang sabar, dan tentang makna cinta dalam diam.
Ia belum tahu bagaimana perasaannya terhadap Azam kini. Tapi ia tahu satu hal: lelaki itu pernah menggoreskan luka yang dalam, dan pada saat yang sama, menjadi alasan terbesar kenapa ia bisa tumbuh sekuat ini.
Dan seperti Azam, Nayla juga punya satu doa yang selalu ia jaga:
"Jika lelaki itu memang telah Kau siapkan untukku, maka lembutkan hatinya. Dan jika bukan, cukupkan aku dengan cinta-Mu. Agar aku tak menengok ke belakang dengan tangis, tapi dengan syukur."
Hari demi hari berganti. Waktu tak menjanjikan apa pun. Tapi Allah yang Maha Mengatur terus menenun takdir mereka. Di kejauhan, dua hati itu berjalan sendiri-sendiri—namun menuju arah yang sama: mendekat kepada-Nya.
Mereka tak lagi mencari dengan cara lama. Kini, mereka menunggu... dengan doa yang diam, tapi pasti.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan