Setelah mengetahui sebuah rahasia kecil, Karina merasa bahwa ia akan mendapatkan banyak keuntungan dan tidak akan rugi saat dirinya mendekati Steve, pewaris dari perusahaan saingan keluarganya, dengan menawarkan sebuah kesepakatan yang sangat mungkin tidak akan ditolak oleh Steve. Sebuah pernikahan yang mendatangkan keuntungan bersama, baik bagi perusahaan maupun secara pribadi untuk Karina dan Steve. Keduanya adalah seseorang yang sangat serius dan profesional tentang pekerjaan dan kesepakatan, ditambah keduanya tidak memiliki perasaan apa pun satu sama lain yang dapat mempengaruhi urusan percintaan masing-masing. Jadi, semuanya pasti akan berjalan dengan lancar, kan? * * Cerita ini hanyalah karangan fiksi. Baik karakter, alur, dan nama-nama di dalam tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theodora A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
•
Karina mengeluarkan tawa kering, bersandar pada bantal-bantal yang disusun di belakang punggungnya. "Apakah aku benar-benar berbicara tidak jelas saat aku membangunkanmu tadi pagi?"
Karina setengah berharap Steve akan tertawa dan mengatakan bahwa itu adalah kebohongan yang dia buat hanya untuk membuat kekhawatirannya dapat dipercaya. Karina tidak menyangka kalau Steve serius soal itu.
"Itu hanya salah satunya saja. Kamu tidak terus-terusan mengigau sejak kamu tertidur." Jawab pria itu, mengangkat laptopnya dan berpindah duduk ke sisi tempat tidur.
Apa yang Steve katakan selanjutnya membuat wajah Karina memucat. "Tapi tadi malam, aku benar-benar tidak bisa tidur kembali karena mendengar kamu menangis."
Karina bersyukur tangannya yang sedang terulur belum benar-benar mengangkat secangkir teh hangat yang di meja samping tempat tidurnya, karena ia yakin dirinya pasti akan menjatuhkan cangkir itu setelah mendengar ucapan Steve. "Aku... apa?"
Steve tidak menjawab, bahkan tidak menatap mata Karina. Steve menatap laptopnya dengan tatapan tenang dan tidak ada seringai jahil atau ucapan menyeleneh yang biasanya akan Steve lontarkan padanya, dan hati Karina rasanya mencelos. Steve benar-benar serius.
"Aku tahu kamu bilang tidak ingin membicarakannya semalam, tapi kalau saja kamu berubah pikiran, aku siap untuk mendengarkan. Aku tidak memaksa" kata Steve, dengan suara tenang sambil mengenakan kacamata kerjanya.
Karina biasanya bukanlah tipe orang yang membutuhkan dukungan atau kata-kata penyemangat. Meskipun demikian, ada sesuatu tentang cara Steve menawarkan diri untuk mendengarkan, bahkan sama sekali tidak memaksanya untuk bercerita, yang membuat Karina berpikir dua kali. Jujur saja, bukannya ia tidak mau membuka diri, hanya saja ia tidak tahu harus berkata apa. Dari mana ia harus memulainya?
"Steve," panggil Karina pelan sambil menarik satu bantal dari punggungnya dan memeluknya. Ia menoleh ke arah pria yang menjawabnya dengan gumaman pelan sebelum mendongak untuk menatapnya balik. "Apa kamu dan Kate pernah bertengkar? Tentang, uhmmm, semua ini? Pernikahan aneh dan bodoh kita ini?"
Ada keheningan beberpaa detik saat Steve tidak merespons, sambil membetulkan kacamata yang bertengger di hidungnya, Steve bertanya kembali, "Apakah itu yang terjadi semalam?"
Steve menemukan jawabannya dari cara bahu Karina yang terlihat merosot dan bagaimana wanita itu memalingkan wajah untuk menghindari tatapannya. Steve berpikir, ini adalah hal yang wajar. Dia pun melanjutkan.
"Aku tidak akan menyebutnya sebagai pertengkaran, tapi kami sesekali pernah cekcok ringan, tidak pernah sampai ribut besar." Steve memulai, dia menyandarkan punggungnya pada kursi dan matanya beralih menatap ke luar jendela. "Kadang-kadang kami merasa frustrasi dengan keadaan ini. Kate sering mengeluh kalau dia tidak cukup beruntung untuk bisa bersamaku sepenuhnya. Dia bahkan pernah mempertimbangkan untuk melepaskan karirnya hanya untuk bisa terang-terangan pacaran denganku, dan mengatakan dia akan berusaha sangat keras untuk mendapatkan hati orang tuaku, terutama ayahku. Kamu tahu kan, situasi kita sama. Orang tuaku pasti akan menjodohkanku pada seseorang yang setara dengan keluargaku. Dan selama ini aku selalu menahannya, mengatakan betapa konyolnya dia dan mendorongnya untuk terus mengejar mimpinya. Mencoba membuatnya mengerti bahwa situasi ini adalah yang terbaik untuk kami."
Karina hanya mendengarkan dan menatap Steve. Steve kembali melanjutkan, "Kadang-kadang dia bercanda bahwa dia memiliki dua mimpi. Satu adalah mimpi yang dia pilih untuk dikejar, dan satu mimpi yang akhirnya harus dia buang jauh-jauh. Dia suka berkata bahwa dia berharap dia memilih untuk mengejar mimpinya yang kedua, yaitu menikah denganku." Steve berhenti sejenak, lalu dia terkekeh pelan, entah karena merasa ada yang lucu atau karena sedih, Karina tidak tahu pasti. "Tapi, semua ini adalah hal yang kami sepakati bersama. Aku setuju, dan Kate pun setuju. Jadi yang terpenting saat ini adalah saling percaya dan tetap bertahan. Aku cukup beruntung karena Kate dapat mengerti."
"Dia terdengar sangat pengertian dan sempurna," Karina menghela nafas pelan, sedikit menurunkan posisi tubuhnya dan menarik selimut hingga dagunya. "Gak heran dia adalah satu-satunya orang yang pernah kamu kencani. Aku pun pasti tidak akan menginginkan orang lain jika aku seberuntung dirimu."
"Kenapa kamu berbicara seperti itu? Bukankah Felix adalah kekasih yang sempurna? Kamu pernah bilang begitu," ujar Steve, menatap Karina dengan sedikit terkejut.
Rasanya pertanyaan Steve itu sulit untuk Karina jawab. Ia memutuskan untuk mengatakan apa adanya, matanya tertuju pada lampu gantung yang berkilauan di langit-langit kamar. "Ya. Dan karena dia adalah kekasih yang sempurna lah yang membuatku merasa sangat tertekan dan merasa bersalah saat ini."
Karina mendengar suara gemerisik halus saat Steve beringsut ke atas kasur. Dan saat Karina kembali mendengar suara pria itu, suaranya terdengar lebih dekat. "Hm? Bagaimana bisa?"
"Tidak sepertimu, aku tidak pantas mendapatkan seseorang yang begitu baik terhadapku. Dan setelah kita menikah.. setelah kita lebih banyak menghabiskan waktu bersama karena pekerjaan, juga karena perjalanan bisnis ini, yang aku lakukan hanyalah membuktikan dari waktu ke waktu betapa benarnya pernyataan itu." Karina berbicara dengan lembut, nada suaranya kering, matanya perlahan terpejam dan helaan nafas kembali keluar dari bibirnya. "Dia selalu melakukan apa pun yang terbaik untukku, untuk kami. Dan aku tidak melakukan apa pun selain mengabaikan dan menyakitinya."
"Lalu, apa dia melihatmu dengan cara yang sama seperti kamu melihat dirimu sendiri?"
"Sulit untuk mengatakannya, tapi aku merasa ketika Felix memikirkanku, dia tidak merasakan kebahagiaan seperti dulu lagi." Karina menjawab, kata-kata Felix dari percakapan mereka semalam kembali berputar-putar di kepalanya. Hidungnya sedikit mengernyit mengingatnya, rasanya masih tetap sangat menyakitkan seperti beberapa jam yang lalu. "Dia bilang, sejak kita menikah aku lebih banyak memberikan perhatianku padamu daripada untuknya. Dan setelah aku pikir-pikir, yang dia ucapkan tidak salah."
Steve dengan cepat menyanggah, "Selain karena aku sudah menjadi suamimu, bukankah kita harus terus selalu bersama karena aku adalah bagian besar dari urusan pekerjaanmu? Tidak perlu punya otak yang jenius bagi seseorang yang sudah mengenalmu untuk mengetahui kalau kamu menempatkan pekerjaan di atas segalanya. Harusnya Felix tahu kalau kamu memberikan perhatian penuh pada pekerjaan dan kesepakatan kita, bukannya padaku. Selain karena perjalanan bisnis ini, kita berdua bahkan tidak benar-benar pernah menghabiskan waktu berdua diluar urusan pekerjaan dan acara formal lainnya."
"Ya, dan itu adalah salah satu alasannya juga. Aku merasa tidak enak, karena pekerjaan kita menjadi sangat padat sejak perusahaan kita bergabung. Jujur saja, aku juga tidak terlalu suka sering-sering melihat wajahmu." Karina memalingkan kepalanya, senyum jahil menghiasi bibirnya saat ia menatap sepasang mata tajam yang kini menatapnya dengan satu alis terangkat. "Tapi entah kenapa, menjadikan pekerjaan sebagai alasan terdengar agak menyedihkan dan tidak masuk akal. Aku jadi merasa tidak heran Felix sampai marah padaku."
Karina sengaja tidak menceritakan soal cupang di lehernya yang menjadi awal mula pertengkarannya dengan Felix. Karina tidak ingin Steve merasakan rasa bersalah, meskipun ia sebenarnya ragu pria itu akan merasa bersalah. Tapi, sungguh Karina tidak ingin menyeret Steve ke dalam masalahnya ini. Ini adalah masalah pribadi antara dirinya dan Felix, dan karena itu hanya mereka berdua yang harus menyelesaikannya.
Apa yang juga tidak perlu Steve ketahui adalah bagaimana Karina bahkan tidak marah padanya karena sudah menjadi penyebab pertengkarannya dengan Felix. Rasa malu berkobar di dadanya saat ia mengingat bagaimana dirinya juga ikut berperan dalam terciptanya cupang bodoh ini. Karina sangat bisa meminta Steve untuk berhenti saat itu, Karina bisa saja menahannya agar tidak melakukan sejauh itu hanya untuk mengelabuhi ibu mereka.
Tapi nyatanya Karina membiarkan Steve melakukannya. Di situlah kesalahannya, dan ia tahu sekarang bahwa dirinya pantas menerima semua yang Felix katakan padanya.
"Kamu tahu, ada pepatah yang mengatakan, kamu tidak akan pernah terlalu sibuk untuk seseorang yang kamu cintai." Steve angkat bicara beberapa saat kemudian, mendorong tubuhnya untuk berbaring miring menghadap Karina, satu tangan menopang sisi kepalanya. Dia menatap Karina dengan tatapan yang tidak bisa Karina artikan. "Aku rasa kamu membutuhkan kata-kata itu sebagai pengingat. Dan juga, mana yang lebih kamu sukai? Felix, atau jabatanmu sebagai wakil direktur di perusahaan?"
Karina merasa tertantang dengan pertanyaan itu. Karina ikut berbaring miring menghadap Steve. Alisnya berkerut, ekspresi kesal terpampang di wajahnya. "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Tentu saja aku memilih Felix. Aku tidak seburuk itu."
Alis Steve terangkat begitu Karina selesai berbicara, tatapannya seolah mengejek Karina. "Kalau begitu, apa yang sudah kamu lakukan sejauh ini untuknya?"
Karina terdiam.
Steve mengeluarkan tawa kecil, dia mengulurkan tangan dan menekan jari telunjuknya pelan ke dahi Karina. "Dasar bocah. Menurutmu bagaimana orang bisa saling jatuh cinta?"
Mata Karina melebar, suara kaget keluar dari bibirnya. Menurutnya itu adalah pertanyaan yang aneh, terutama ketika ditanyakan oleh Steve. Memangnya apa yang Steve ketahui tentang cinta sampai-sampai menanyakannya begini? "Pertama-tama, aku bukan bocah. Kita hanya beda bebarapa bulan saja. Kedua, coba jelaskan padaku bagaiman orang bisa saling jatuh cinta, karena kamu tampaknya sangat paham dan ahli soal cinta."
Steve mengerutkan keningnya. "Aku tidak perlu menjadi ahli soal cinta untuk mengetahui apa itu cinta. Ketika dua orang menghabiskan banyak waktu bersama, hati mereka akan menyatu menjadi satu. Kira-kira seperti itu."
"Puitis sekali," Karina menanggapi, matanya menyipit. Karina tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan bisa membicarakan soal cinta dengan Steve seperti ini.
"Dan untuk tetap saling jatuh cinta, dua orang tersebut harus yakin bahwa tidak ada jarak yang bisa memisahkan koneksi yang di hati mereka." Steve mengarahkan telunjuknya ke dadanya sendiri. "Perasaan yang ada di dalam hati adalah sesuatu yang bisa datang dan pergi begitu saja hanya dengan perubahan situasi. Kamu harus tahu bagaimana cara memelihara perasaan tersebut, pastikan jarak fisik tidak akan pernah merubah apa yang ada di dalam hatimu."
Karina terdiam, menatap Steve dengan tatapan datar.
"Hal yang paling penting adalah meluangkan waktu untuk dihabiskan bersama orang yang kamu cintai, tidak peduli sesingkat apa itu. Ibuku selalu mengingatkan hal ini padaku sejak aku masih kecil. Itulah mengapa aku dan Kate selalu berusaha meluangkan waktu untuk satu sama lain, karena setiap detik yang dihabiskan bersama sangat berarti."
Steve segara bangkit setelah selesai dengan penjelasannya. Dia berbalik untuk menatap Karina sebelum meninggalkan tempat tidur. "Kapan terakhir kali kamu menghabiskan waktu yang berarti bersama Felix?"
Mata Karina bergetar. Kini pertanyaan Steve barusan berputar-putar di dalam kepalanya, menghantuinya.
•
•