Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.
Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.
Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.
Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH SATU
Rintik hujan perlahan membasahi jalanan yang sepi, Caca membawa motornya melaju pelan. Helm yang dipakainya sedikit berembun karena hembusan napasnya yang berat. Di dalam hati, kesedihan sedang mendera, membuat pandangannya terasa kabur bukan hanya karena embun, tapi juga air mata yang mulai menggenang.
Setiap tetes hujan yang jatuh di visor helmnya seakan membawa kepedihan yang lebih dalam ke dalam hatinya.Alunan hujan yang menari di atas atap genteng rumah-rumah di sepanjang jalan seakan mengiringi lara yang dirasakannya. Suara mesin motor yang biasanya menenangkan, kali ini hanya menjadi latar belakang yang suram untuk lamunannya.
Sesekali Caca menghela nafas dalam.Di setiap persimpangan, Caca seolah ragu untuk memilih jalan mana yang akan dilalui—tidak jauh berbeda dengan hatinya yang kini juga dilanda kebingungan. Caca terus melaju, membiarkan hujan membasahi wajahnya saat dia mengangkat visor helmnya, mencoba merasakan dinginnya air hujan yang mungkin bisa membawa sedikit kesegaran di tengah kegamangan yang dialaminya.
Motor Caca berhenti tepat di rumah megah milik Hardi, Saras yang melihat kedatangan Caca, langsung menyambut.
"Sayang, kenapa gak bilang mau kesini? Kan bisa dijemput kakakmu Zio," ujar Saras sambil memeluk sayang keponakannya.
"Tadi gak kepikiran aja sih,Ma. Soalnya dadakan pengen ke sininya," jawab Caca sambil tersenyum.
"Oo..gitu" ujar Saras sambil membawa Caca masuk. Seperti biasa Caca dan Saras jika sudah bertemu selalu aja ada yang dikerjakan, kali ini Saras ajak Caca untuk membuat puding ubi ungu.
Sedang asyik menghaluskan ubi ungu, tiba tiba Zio mencium pipi Caca dari belakang, Saras yang melihat itu hanya geleng kepala.
"Mas, Caca utu udah bukan anak kecil, dia udah punya suami lo, gimana kalau suaminya cemburu?" ujar Saras mengingatkan.
"Biarin, untuk Zio, Caca tetap aja dek kecilnya Zio. Kamu gak keberatankan Ca..?" tanya Zio minta pembelaan. Mendengar ucapan Zio, Caca hanya tersenyum.
"Dek nanti ke kamar kakak ya, ada sesuatu yang pengen aku tunjukin ke kamu," pesan Zio sebelum pria berwajah tampan itu kembali ke kamarnya.
Setelah tinggal menunggu proses matang,puding buatan mereka, Caca izin ke kamar Zio, pada Saras.
"Hey... sini," panggil Zio sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya. Senyumnya ringan, namun Caca tetap menangkap aura kehangatan yang hanya Zio miliki.
"Apa itu, Kak?" tanya Caca, sedikit penasaran, sembari melirik benda di tangan Zio.
"Ini hadiah ulang tahun teman wanita kakak. Coba lihat, bagus nggak?" tanyanya, meminta pendapat Caca sambil mengulurkan kotak kecil itu.
Caca mengambilnya dengan hati-hati, lalu membuka isinya. Sebuah cincin berdesain sederhana, tapi elegan, berkilauan di bawah cahaya. "Bagus. Cincinnya terlihat anggun dan berkelas," jawab Caca jujur, meski hati kecilnya tiba-tiba terasa berat. Lagi lagi Caca teringat akan status pernikahannya dengan Faza.
Zio mengangguk dengan puas, sebelum tangannya menjepit leher Caca dengan cara yang jahil, seperti kebiasaannya saat menggoda.
Caca hanya tertawa kecil, meski pikirannya mulai beranjak ke tempat lain. Matanya tanpa sadar menatap cincin kawin di jari manisnya. Seharusnya Caca merasa bangga melihatnya, tapi kenapa rasanya malah ada beban yang menggantung?.
Jemari Caca memutar-mutar cincin itu perlahan, seperti mencoba mencari jawabannya di sana. Namun, rasa sakit itu datang lagi, menusuk dada Caca tanpa ampun. Namun Caca buru-buru meredamnya, menahan diri agar tak terlihat lemah di depan Zio.
"Kenapa?" Suara Zio tiba-tiba terdengar lebih serius, wajahnya lurus memandang Caca dengan penuh perhatian. Zio pasti menangkap kesedihan yang tak mampu Caca sembunyikan.
Caca menoleh, menatap Zio dengan ragu. "Kak..." suara Caca hampir berbisik, serak karena pergulatan batin yang sedang terjadi. "Katakan, kalau ada yang mengganjal di hatimu. Mungkin kakak bisa membantumu. Apa Ini tentang pernikahanmu?" tanyanya lembut, matanya menyiratkan keinginan untuk melindungi, seperti seorang kakak sejati.
Caca menggigit bibirnya, menundukkan pandangan sebelum akhirnya memberanikan diri menjawab. "Hem... aku merasa bimbang, Kak. Dengan perasaanku sendiri," suara Caca pecah di antara kalimat itu.
Semua keraguan yang ia simpan selama ini rasanya mendidih, siap tumpah. Perlahan, Caca mulai menceritakan apa yang terjadi. Semua tentang aku, pernikahanku, dan Faza—hubungan yang dulu kupikir akan selamanya indah, namun kini terasa rapuh.
"Kak, seandainya posisi yang aku alami ini adalah posisi Kak Zio, apa yang kakak lakukan?" Caca bertanya dengan suara lirih, matanya dipenuhi oleh keraguan dan kesedihan. "Jika kakak mencintai seseorang, tapi tahu orang itu mencintai orang lain... Dan di sisi lain, orang itu ingin menjalin hubungan dengan kakak, tapi dia belum selesai dengan masa lalunya. Pada akhirnya, kakak harus melepaskannya karena ada hal yang tidak memungkinkan untuk bersama. Apa yang akan kakak lakukan?"
Zio menghela napas panjang, matanya sesaat menatap Caca dengan tatapan penuh pertimbangan sebelum perlahan dia berkata, "Ini tentang kamu dan Faza...?" Tebakannya menusuk langsung ke inti permasalahan.
Caca hanya mengangguk pelan, mengiyakan tanpa suara, karena kata-kata terasa terlalu berat untuk dikeluarkan. Dia berharap Zio akan memberinya jawaban yang mampu sedikit meredakan badai di dalam hatinya.
Zio hanya tersenyum tipis, menampilkan ekspresi yang seolah sudah terlalu akrab dengan rasa sakit semacam itu.
"Kalau aku, Ca, aku akan meninggalkan kenangan terindah terlebih dahulu sebelum melepaskannya," katanya sambil memalingkan pandangannya ke arah jauh, entah sedang mengingat sesuatu atau sekadar mencoba memahami apa yang dia katakan.
"Agar dia tak bisa melupakan aku. Biar sama-sama menahan sakitnya merindukan. Biar impas."lanjut jio, Kata-kata Zio terdengar ringan, seolah penuh candaan, tapi Caca menangkap kedalaman di balik setiap ucapannya. Ada rasa getir, seakan Zio pernah berada dalam posisi yang sama, merasakan sakit yang serupa.
"Kenang..?" ucap Caca. "Bukankah kenangan hanya menyisakan luka ketika cinta harus berakhir? Bagaimana caranya,bisa...?" tanya Caca dengan ragu, mencoba meminta Zio menjelaskan lebih jelas.
"Misalnya," Zio mulai bicara dengan nada suara yang terdengar penuh rahasia, "buat dia merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya dengan wanita yang dia cintai. Biarkan dia memahami bahwa kamu berbeda dari semua wanita yang pernah dia temui. Kamu bisa menciptakan kenangan yang spesial, unik, dan bahkan... sangat pribadi."
Caca menelan ludah, sedikit terkejut ketika Zio melanjutkan dengan nada lebih serius dan sedikit nakal, "Bisa saja, seperti melibatkan sudut-sudut rumahmu dalam kenangan kalian, bahkan... jika perlu, biarkan setiap tempat menjadi jejak kalian."
Caca mendelik kaget, pikiran itu langsung melesat jauh di benaknya. Apa yang baru saja Zio katakan terdengar begitu berani, terlalu berani—namun ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuat Caca berpikir:
"Apakah itu mungkin? Haruskah aku mencobanya?