NovelToon NovelToon
AKU ISTRIMU BUKAN MUSUHMU

AKU ISTRIMU BUKAN MUSUHMU

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Selingkuh / Romansa / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: SAFIRANH

Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28

Malam ini, Mahesa tampak duduk dengan santai di teras rumahnya, menyandarkan punggungnya di sebuah kursi kayu tua dengan nyaman. 

Satu cangkir kopi menemani waktu malamnya yang sepi, meski uap dari kopi tersebut sudah menghilang. Cuaca di kampung memang lebih dingin, dan mungkin saja ini adalah cangkir kopi ke-4 Mahesa yang ia minum.

Namun, dibalik semua kesunyian di tempat itu, ada sesuatu yang lebih membebani pikirannya. Mahesa membayangkan jauh ke depan, tentang masa depannya dan tentang pernikahannya. 

Sebuah pernikahan yang hanya berlandaskan tentang bisnis. Meski sudah ratusan kali memikirkannya, Mahesa tetap tidak bisa menerima akan perjodohan yang diatur oleh orang tuanya. Ini hidupnya, dan tidak ada orang lain yang berhak mengatur segalanya.

“Menikah dengan orang asing demi bisnis, mereka pikir aku sapi perah?” Mahesa menertawakan dirinya sendiri.

Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Mahesa memang belum memikirkan tentang pernikahan. Mungkin karena memang bukan tujuan utama hidupnya, atau memang belum ada wanita yang mampu membuatnya jatuh cinta.

Lamunan panjang itu seketika buyar saat Mahesa mendengar derap langkah kaki seseorang dari arah halaman samping.

“Mas Mahesa! Ada kabar heboh,” ucap seorang pria bernama Maman yang bekerja di rumah keluarganya.

Pria itu langsung saja berucap, meski dengan wajah memerah serta nafas yang tersengal seperti orang yang baru saja melihat setan.

Bukannya terkejut, Mahesa justru menoleh dengan malas. Sudah terbiasa dengan sifat Maman yang seringkali membesar-besarkan situasi. “Ada apa, Man? Kebakaran?” tanya Mahesa santai.

“Bukan, Mas…ini lebih heboh daripada kebakaran!” 

Mahesa mengernyit, “Memangnya apa yang lebih heboh?” 

“Barusan saya melihat kejadian yang…waduh, pokoknya bisa bikin geger satu kampung, Mas,” ucap Maman penuh semangat.

Mahesa tidak bergeming, ia justru mengarahkan pandangannya pada lembaran koran di tangannya. Berpikir, bahwa paling kabar heboh itu hanya sebatas monyet yang masuk kampung.

Merasa tidak ditanggapi, Maman memutuskan untuk mengatakannya segera tanpa harus menambahkan efek dramatis yang selanjutnya. “Saya tadi melihat kembang desa di kampung ini, tengah berboncengan dengan pria yang telah beristri.” 

“Memangnya kenapa? Siapa tahu mereka hanya kebetulan ketemu saja,” jawab Mahesa tidak tertarik.

“Tapi saya lihat dia memeluk pria itu dari belakang, Mas! Memeluk dengan sangat erat seperti ini!” Maman memperagakan tangannya seperti tengah memeluk pohon kelapa.

“Sudahlah, Man. Nggak usah ngurusin urusan orang lain. Lama-lama kamu jadi biang gosip di kampung ini.”

“Mas Mahesa ini bagaimana? Justru karena orang seperti saya ini bisa mencegah adanya tindak perselingkuhan.”

“Ya, tapi kan belum tentu.” 

“Kalau Mas Mahesa nggak percaya, coba lihat saja sebentar lagi. Mereka pasti akan lewat depan sini!” ucap Maman sangat yakin, matanya memancarkan kilat api yang membara.

Mahesa memejamkan matanya, merasa sangat pusing dengan sikap Maman. Ini lah kenapa dirinya berulang kali menolak membawa pria itu untuk tinggal dan bekerja di rumahnya yang ada di kota.

Benar saja, beberapa detik kemudian terdengar suara dari sepeda motor yang berasal dari tikungan di ujung jalan. Motor itu melintas dengan kecepatan sedang, bahkan sang pengemudi pria itu menyalakan klakson saat tepat melewati depan rumah keluarga Mahesa.

“Lho…kok mereka nggak pelukan lagi,” ujar Maman yang mulai heboh.

Sedangkan Mahesa hanya melirik sinis. Perlahan ia mengambil koran di atas meja, menggulungnya, lalu dengan gerakan cepat mengetukkannya ke arah kepala Maman.

“Aduh!” ujar Maman yang langsung memegangi kepalanya.

“Makanya kalau ngomong itu jangan asal.”

“Sumpah, Mas. Tadi saya memang lihat mereka pelukan saat berboncengan.” 

Mahesa menghembuskan napas malas, lalu menepuk pundak Maman satu kali. “Jangan sampai kamu aku suruh nyapu sampai ke balai desa besok, ya!” ancamnya.

Seketika itu pula Maman langsung mengeluh pelan, “Saya kan cuma mau kasih informasi, Mas.”

“Sudahlah, balik sana ke belakang. Lagipula, itu bukan urusan kita.”

Tak bisa membantah, Maman langsung memutar arah dan menuruti perintah Mahesa untuk kembali ke belakang. Tapi di balik semua itu, sayup-sayup Mahesa mendengar pria itu kembali bergumam.

“Padahal Mbak Luna juga cantik, sudah punya anak pula. Laki-laki memang kalau sudah lihat yang lebih bening aja langsung lupa diri,” celoteh Maman sambil berjalan menjauh.

Dan hal itu di dengar jelas oleh Mahesa. Sebuah nama dari seseorang yang belum lama ini ia kenal. Mustahil jika ada dua nama Luna di kampung yang tidak terlalu besar ini, jika apa yang dipikirkan Mahesa memang benar, maka pria yang tadi lewat itu adalah suami dari Luna.

***

David kini baru sampai di rumah setelah mengantarkan Kumala terlebih dahulu. Ia berhenti tepat di halaman depan, membuka garasi lalu memasukkan sepeda motornya ke dalam sana.

Kakinya melangkah masuk. Tidak ada tanda-tanda keberadaan para penghuni rumah meski jam masih menunjukkan pukul 9 malam. Suara berisik dari arah dapur, membawa David mendekat untuk memeriksanya.

“Ibu,” tanya pria itu yang terkejut melihat sang ibu masih berada di dapur untuk membuat lauk. “Ibu belum tidur?” 

Bu Galuh membalas dengan senyum masam. “Bagaimana ibu bisa tidur…lauk untuk besok pagi saja belum ada.”

“Luna dimana?” 

“Di kamar. Mungkin saja sudah tidur dengan pulas.” 

Tanpa mengatakan apapun lagi, David melangkah cepat, menaiki tangga menuju ke lantai dua rumahnya.

Dengan satu kali dorongan saja, pintu sederhana berwarna coklat tua itu terbuka. Luna yang saat itu tengah duduk di atas ranjang tampak terkejut, namun kembali menunjukkan sikap tenang seperti tidak terjadi apa-apa.

Tangannya kembali menari dengan lincah di atas papan tombol laptopnya. 

Merasa tidak dihiraukan, David mulai murka. Ia mendatangi Luna hanya untuk mengajukan beberapa macam keluhan. Kedua tangannya telah mengepal, seluruh urat pada lengannya terlihat muncul bersamaan dengan rahang yang mengeras.

“Luna!” panggilnya dengan nada kasar. “Kali ini kamu benar-benar keterlaluan.”

“Memangnya apa lagi?” tanya Luna tanpa menoleh.

“Kamu membiarkan ibu memasak lauk sendirian malam-malam begini? Sedangkan kamu sendiri, malah bersantai dan bermain di kamar.” 

Bersantai dia bilang? Luna sama sekali tidak habis pikir dengan jalan pikiran David yang terkesan aneh dan sangat dipaksakan.

“Ibu tidak mengatakan padaku jika ingin memasak lauk malam ini. Lagipula, aku memiliki tugas yang harus dikerjakan sekarang juga.” jawab Luna, masih dengan nada datar tanpa ekspresi.

“Kenapa tidak inisiatif? Kamu bisa memeriksa ke dapur sebentar. Takutnya ibu ada disana sendirian!” cecar David yang terus-menerus menyalahkan Luna. Ia menjeda sejenak ucapannya saat melihat jika Luna sama sekali tak menanggapi pembicaraan mereka, dan masih tetap fokus pada layar laptop di depannya.

“Jadi, sekarang kamu mulai kembali lebih mementingkan kegiatan pribadimu daripada membantu ibu?” tambah David yang belum berhenti mencecar Luna dengan banyak pertanyaan yang menyakitkan. Ia terlihat menyeringai kecil, salah satu sudut bibirnya terangkat seolah tengah menertawakan apa yang sedang Luna kerjakan. 

Sebelah tangannya melayang, lalu menutup paksa laptop milik Luna, tepat di hadapannya. Suara brak! bahkan sampai terdengar menggema di dalam kamar yang tidak terlalu luas itu.

Luna tersentak. Matanya membulat, menatap laptop yang baru tertutup dengan paksa dan juga kasar. Kedua tangan yang awalnya berada di atas keyboard, kini perlahan mengepal menahan rasa kesal.

Luna menunduk, merasakan sakit saat David memperlakukannya dengan sangat tidak baik.

“Aku yang bekerja seharian untuk keluarga ini. Dan tugasmu sekarang, hanyalah memastikan pekerjaan rumah selesai, termasuk membantu ibu.” 

“Aku juga sudah mengerjakan semuanya sejak tadi pagi, apakah itu masih kurang untukmu?” Luna mendongak, menatap tajam seolah ingin mengatakan semua yang ada dalam pikirannya tanpa ditahan. “Ini jam 9 malam, kerbau pekerja sekalipun, jika malam tiba pasti disuruh tidur oleh pemiliknya.” 

“Jadi, kamu menolak untuk membantu ibu malam ini? Dan lebih memilih kegiatan tidak berguna itu, daripada ibuku?” 

Dengan anggukan mantap Luna menjawab. “Ya…karena aku juga masih punya hak untuk memikirkan kepentinganku sendiri.”

“Meski sudah pergi sampai sejauh ini pun, sikap egoismu tidak pernah bisa dirubah,” David juga tak mau kalah. Lagipula, ini rumahnya yang artinya Luna harus menuruti segala perintahnya.

David mendecih, sebelum akhirnya pergi keluar dari dalam kamar Luna. Menyisakan luka diatas semua luka yang belum sembuh sampai sekarang. 

Air mata bahkan sampai tidak lagi menetes. Mungkin rasa sakit dalam hati Luna sudah terlalu dalam. Perlahan, ia kembali membuka laptop miliknya, menyelesaikan apa yang yang tengah ia kerjakan.

Luna sempat menarik nafas dalam, sebelum tangannya mulai kembali menari di atas keyboard. Untuk saat ini prinsip Luna hanya satu, ia harus bisa mendapatkan pekerjaan ini, agar bisa pergi dan membawa kedua putrinya tanpa adanya paksaan.

“Aku harus bisa,” tegas Luna.

Sementara itu di kamar lantai bawah. David baru saja membuka pintu ruangan yang saat ini menjadi kamarnya. Pria itu memang sudah lama tidak tidur satu ranjang dengan istrinya, bahkan saat mereka masih tinggal di kota.

Dengan cepat ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, merasakan seluruh badannya yang pegal dan lelah.

Namun sebuah notifikasi pesan yang berasal dari ponselnya, membuat David harus meraih benda pipih tersebut lalu membukanya. Mata David membelalak saat melihat jika pesan itu berasal dari Kumala.

[[ Bisakah saya memesan nasi goreng lagi untuk makan siang besok? ]]

David membalasnya. Waktu telah berlalu dengan cepat, tanpa sadar obrolan yang awalnya biasa saja itu, kini mulai terasa begitu akrab. David bahkan sempat menyunggingkan senyum saat membaca pesan yang Kumala kirimkan.

Kenyamanan baru ini, menyeret David terlena dalam pusaran hal yang seharusnya tidak dia lakukan. Pria itu bahkan sampai lupa akan status dan kondisinya sekarang. 

Karena Kumala memang datang disaat yang tepat. Yaitu, di saat hati David kosong dan membutuhkan perhatian seseorang.

BERSAMBUNG 

1
Becce Ana'na Puank
ok
SAFIRANH: Terima kasih ❤️
total 1 replies
HappyKilling
Bikin terhanyut. 🌟
SAFIRANH: Terima kasih 😘
total 1 replies
Helen
Kece abis!
SAFIRANH: Terima kasih,🥰❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!