NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Berbaikan / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Kantor / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.

Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.

Karena

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Menaklukkan Rimba Yang Lain"

Pagi itu tenang.

Langit belum sepenuhnya biru, masih tersisa semburat jingga sisa fajar yang memudar perlahan. Kicauan burung terdengar merdu, seolah membacakan puisi alam yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang damai. Johan duduk di teras rumah, secangkir teh hangat mengepul di genggamannya. Matanya menatap jalanan kecil di depan rumah—hening, sejuk, dan tak tergesa. Ia sedang menunggu seseorang.

Dari dalam rumah terdengar tawa ringan. Liana baru saja sarapan bersama Surya dan Putri. Sehari-hari biasa yang istimewa. Karena hari ini, Johan akan menepati sebuah janji.

Janji yang pernah ia ucapkan di bawah naungan rimba Bukit Barisan, di hadapan seorang gadis berhati bersih yang datang dari dunia yang jauh berbeda. Juga janji kepada ayah gadis itu—seorang lelaki keras kepala yang kini menghabiskan sisa waktunya di balik jeruji.

Surya keluar lebih dulu, menuntun Putri ke motor matic miliknya. “Berangkat duluan, Bang,” katanya santai.

Johan mengangguk, senyum tipis menggantung di wajahnya. “Hati-hati.”

Tak lama, Liana muncul di ambang pintu. Langkahnya ringan, rambutnya dibiarkan tergerai, matanya berbinar dalam ketulusan yang sederhana. Senyum kecil menghiasi wajahnya, seperti embun yang tak sempat mengering meski matahari mulai meninggi.

“Sudah siap, Li?” tanya Johan, suaranya lembut, mengalun pelan seperti lagu pengantar pagi.

Liana mengangguk pelan. “Siap.”

Satu kata pendek, tapi penuh semangat. Ia mengepalkan tangan kecilnya, seperti hendak memeluk dunia yang perlahan-lahan mulai terbuka untuknya.

Mereka melaju bersama, melewati jalan-jalan kota yang mulai ramai. Johan menyetir dengan tenang, sesekali melirik gadis di sampingnya. Dalam diam, ia kagum.

Liana tak pernah meminta dunia, tapi justru ia yang sedang menaklukkan sebagian dari dunia itu hari ini. Di usia dua puluh dua tahun, gadis itu memilih duduk kembali di bangku belajar—di saat sebagian orang mungkin sudah menyerah pada nasib.

Sesampainya di sekolah tempat pendaftaran paket C, suasana pagi telah ramai. Suara riuh rendah orang-orang, langkah kaki, dan lembaran formulir yang berseliweran memenuhi udara.

Johan menuntun Liana ke meja pendaftaran. Ia berdiri di sampingnya, diam-diam memperhatikan. Jari-jari Liana tampak cekatan menulis namanya, mengisi satu per satu kolom formulir. Tatapannya fokus, penuh rasa ingin tahu.

Mereka sempat saling berpandangan—hanya sekejap. Tapi Johan merasa waktu seperti berhenti sesaat. Ada sesuatu di mata gadis itu yang membuat dadanya bergetar pelan. Maka, ia buru-buru mengalihkan pandangan, mengambil buku yang tergeletak di meja pendaftaran. Ia pura-pura membaca, padahal tak satu huruf pun benar-benar ia pahami.

Setelah semua proses selesai, Johan menatap Liana, kali ini tanpa ragu. “Kamu luar biasa, Liana. Ayahmu pasti bangga.”

Liana tak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, dan dalam senyum itu, Johan menangkap gemetar halus di mata gadis itu—seperti mata air yang sedang menahan deras.

“Terima kasih, Johan. Kalau aku bisa berdiri di sini... itu karena kamu juga.”

Keduanya terdiam. Tapi bukan diam yang canggung. Melainkan diam yang nyaman. Yang tak butuh kata-kata, karena hati telah lebih dulu berbicara.

Mereka meninggalkan sekolah dengan langkah ringan. Tak ada pesta besar, tak ada sorak-sorai. Hanya dua manusia yang memilih untuk merayakan sesuatu yang sederhana namun berarti: keberanian untuk memulai kembali. Mereka singgah di sebuah warung kecil di pinggir jalan. Meja kayu tua, dua cangkir kopi hangat, dan matahari yang menyelinap malu-malu di sela dedaunan.

"Jo, kamu nggak ke kantor hari ini?" tanya Liana, menyesap kopinya pelan. Uap hangat naik dari gelasnya, seperti kenangan yang perlahan-lahan menguap.

Johan menggeleng, senyumnya tenang. "Hari ini tentang kamu, Li. Bukan tentang pekerjaan. Ini adalah awal yang penting, dan aku ingin ada di sisimu."

Liana terdiam sesaat. Ada getar halus di dadanya. Perasaan hangat yang tak bisa ia sebutkan namanya, tapi ia tahu rasanya. Rasanya seperti rumah.

Mereka bercengkrama di warung kecil itu. Tertawa, saling menggoda, dan diam dalam kenyamanan yang tak perlu dijelaskan. Dunia di luar tetap berjalan, tapi waktu seolah melambat untuk mereka berdua.

Senja pun datang perlahan, membawa langit jingga yang lembut. Mereka pulang dengan hati yang penuh. Johan merasa lega telah menepati janjinya pada seseorang yang kini hanya bisa ia temui dalam ingatan. Sedangkan Liana merasa langkahnya hari ini adalah satu dari sekian banyak ke arah yang lebih terang.

Di rumah, suara burung masih terdengar—tapi kini seolah menjadi musik latar dari harapan dan keberanian yang baru tumbuh.

Liana duduk di teras. Angin sore membelai rambutnya, dan pikirannya terbang jauh. Ia mengingat tempat yang dulu ia sebut "rumah"—di pedalaman hutan yang sunyi, tempat Broto dan orang tua angkatnya membesarkannya dengan kasih yang tak pernah meminta imbalan. Kini, ia duduk di kota, memeluk masa lalu, menatap masa depan.

Johan duduk di sebelahnya, memandang gadis itu. Ada sesuatu di mata Liana yang tidak ia mengerti, tapi bisa ia rasakan.

"Ada yang mengganggumu?" tanyanya pelan.

Liana menoleh, menatap matanya. "Kadang aku tidak percaya aku bisa sejauh ini, Jo. Aku bukan siapa-siapa. Aku cuma anak dari panti asuhan, dibesarkan di hutan, belajar dari Broto yang bahkan... tidak sempat menyelesaikan kata terakhirnya saat maut menjemput."

Mata Liana berkaca, tapi ia menahannya. Johan meletakkan tangannya di bahu Liana, menyalurkan kehangatan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.

"Kamu kuat, Li. Kamu sudah melalui banyak hal. Broto pasti bangga. Dan aku juga."

Liana tersenyum samar. "Aku ingin menjadi seperti Broto. Mengajar. Membagi ilmu. Menjadi cahaya bagi orang-orang yang hidup dalam gelap. Itu impianku sejak dulu."

Mereka kembali terdiam. Namun diam mereka bukan kosong. Itu adalah diam yang penuh makna. Yang memeluk luka-luka lama dan menyalakan lilin kecil harapan.

Johan berdiri perlahan. "Bagaimana kalau minggu depan kita menjenguk ayahmu lagi? Biar dia tahu, anaknya tak hanya kuat, tapi juga luar biasa."

Liana mengangguk, dan kali ini senyumnya lebih lebar. "Itu ide bagus, Jo. Terima kasih... karena selalu ada."

Mereka berdiri bersama, melangkah ke hari yang baru dengan semangat yang tak lagi rapuh.

Burung-burung bernyanyi seolah mengiringi langkah mereka, memberi isyarat bahwa hari ini bukan akhir, tapi permulaan yang indah.

Hari ini adalah hari pertama Liana menapakkan kaki di bangku pendidikan. Selama ini, satu-satunya guru yang ia kenal hanyalah Broto—sahabat setia, guru silat, guru membaca, guru kehidupan. Tapi kini, sosok itu telah pergi. Dan peran itu perlahan diambil alih oleh Johan—dengan caranya sendiri. Johan yang rela menyingkirkan tumpukan berkas kantornya, mengambil cuti, dan memilih menemani gadis itu dalam langkah pertamanya menuju dunia yang lebih luas.

Matahari pagi mencium wajah Liana. Hangat. Bersahabat.

Ia merasa beruntung. Dalam hidup yang tak selalu ramah, Tuhan masih menghadirkan orang-orang yang tak lelah menggenggam tangannya.

Johan memandangnya. Ada kebanggaan dalam sorot matanya. Gadis yang dulu ia temui secara tak sengaja di rimba—kini berdiri tegak, siap menaklukkan rimba yang lain: rimba kehidupan.

"Hari ini akan jadi awal yang baik untukmu," ujarnya lembut. "Kejarlah mimpimu tanpa ragu. Aku akan terus berada di sisimu."

Liana mengangguk, matanya bersinar. Ia percaya. Dengan Johan, ia tidak sendirian.

Mereka melaju dengan mobil menuju sekolah barunya. Di sana, bangunan sederhana itu menyambutnya, dan puluhan pasang mata memandang penasaran. Tapi Liana tak goyah. Ia tahu untuk apa ia datang. Ia tahu apa tujuannya.

Johan meraih tangan Liana yang gemetar di depan pintu kelas.

"Selamat hari pertama, Li," bisiknya.

Liana tersenyum. "Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin."

Dan langkah itu pun dimulai. Langkah kecil, tapi penuh harapan. Langkah yang kelak akan menuntunnya pada masa depan yang tak ia bayangkan sebelumnya.

Mereka akhirnya berpisah di gerbang sekolah itu. Liana melangkah masuk dengan langkah kecil, namun hatinya penuh semangat seperti mentari yang baru saja menyingsing dari balik bukit. Sementara Johan memilih duduk di kedai kecil di seberang jalan, menunggu dengan sabar sambil menatap gerbang sekolah yang kini menelan bayangan Liana.

Hari pertama.

Hari yang tak akan pernah terulang lagi, dan Johan ingin memastikan bahwa gadis itu mengingatnya sebagai permulaan yang indah.

Di dalam kelas, Liana duduk di bangku paling belakang. Tangannya mengepal pelan di atas meja. Ini adalah pertama kalinya ia berada di ruang seperti ini—dinding yang dipenuhi poster pelajaran, suara pena menari di atas kertas, papan tulis yang bersaksi atas mimpi-mimpi yang sedang ditumbuhkan.

Ia sedikit gugup. Tapi semangatnya lebih besar dari rasa takutnya. Ia menyimak, mencatat, bertanya saat tak mengerti. Ia menyerap setiap pelajaran seperti tanah yang kering menyambut tetes hujan pertama. Guru-gurunya tertegun—ada semacam bara yang hidup dalam sorot mata gadis itu, api kecil yang tidak ingin padam.

Liana memulai dari nol. Dari pelajaran-pelajaran dasar yang biasanya dipelajari anak-anak. Tapi ia tidak malu. Ia tahu betul: tidak semua orang diberi kesempatan untuk memulai ulang, dan ia akan meraihnya sekuat tenaga.

Sore itu, saat Liana masuk ke dalam mobil, wajahnya bersinar.

"Jo, tadi aku berkenalan dengan Marni. Umurnya hampir sama denganku. Dia baik sekali, bahkan meminjamkan aku buku. Katanya, dia juga baru mulai belajar tahun lalu," katanya riang.

Johan tersenyum, fokus pada jalan, tapi hatinya terfokus penuh pada suara gadis di sampingnya. Suara yang dulunya hanya bisa berseru dalam bahasa alam, kini mulai merangkai dunia lewat kata.

"Aku juga belajar biologi, Jo. Tentang binatang. Ada yang disebut herbivora, karnivora, dan omnivora. Aku baru dengar semua istilah itu, rasanya lucu. Tapi aku suka. Aku ingin hafal semuanya."

"Kalau kamu belajar secepat ini, tahun depan kamu bisa langsung naik ke jenjang SMP, Li," ujar Johan, mencoba menanamkan semangat dalam ucapannya.

"Tentu, Jo. Aku ingin cepat-cepat menyelesaikan sekolah. Biar bisa setara sama Putri, adikmu. Biar kalau dia ngajarin aku sesuatu, aku nggak kebingungan lagi." Liana tertawa kecil, malu-malu, namun penuh harap.

Johan meliriknya sekilas, masih dengan senyum itu. "Kamu pasti bisa mengejarnya, Li. Ayo semangat, yok bisa yok."

"Terima kasih, Jo. Terima kasih ya…"

"Tak perlu terima kasih, Li. Aku hanya menepati janji. Dan ini juga caraku membalas kebaikanmu dulu. Karena kamu pernah percaya padaku, ketika semua orang tidak."

Mobil melaju pelan di antara jalanan yang mulai sepi. Matahari mulai condong ke barat, mewarnai kaca jendela dengan semburat keemasan. Dan Johan masih mendengarkan cerita Liana. Ia tidak menjawab banyak, tapi diamnya penuh kebanggaan.

"Aku senang melihatmu seperti ini, Li. Kamu akan jadi seseorang yang luar biasa."

Liana mengangguk, matanya bersinar.

"Oh iya, mulai besok, aku hanya bisa mengantar kamu saja ke sekolah ya. Aku harus kembali kerja. Nanti, aku minta Putri buat jemput kamu sepulangnya."

"Iya, Jo. Yang penting aku tetap sekolah," ujarnya sambil tertawa kecil, ringan dan tulus.

Malam itu, Liana berbaring di atas kasurnya. Tubuhnya lelah, tapi hatinya tenang. Di luar jendela, suara jangkrik menyanyikan lagu malam. Ia menatap langit-langit kamar, membiarkan pikirannya kembali menari ke dalam kenangan hari ini. Betapa hidup bisa berubah dalam sekejap, betapa masa lalu yang gelap bisa menjadi tanah yang subur untuk tumbuh.

Ia bersyukur. Untuk masa lalu yang keras, untuk Broto yang pernah membimbingnya, dan untuk Johan yang kini berjalan bersamanya. Ia menutup matanya perlahan.

Dan malam itu, Liana tertidur dengan senyuman kecil di bibirnya—sebuah mimpi kecil yang baru saja ditanamkan, dan akan ia rawat esok hari, dan esok-esok hari yang lain.

1
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
Mika
anak mapala ternyata, mantan ku anak mapala juga/Chuckle/
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
Lara12
ditunggu updatenya nya/Grievance/
Mika: iyaa, padahal lagi seru serunya/Smirk/
total 1 replies
Lara12
waduhhhh/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!