azalea steffani leandra seorang anak tunggal kaya raya ,ceria dan juga manja dipertemukan dengan seorang pria yang sifatnya berbanding terbalik dengannya dan ternyata pria itu adalah pengasuhnya ketika ibunya tidak ada dirumah (bodyguard)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayel_zaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MOMEN TAK TERDUGA
Setelah sampai dan masuk ke area acara yang megah itu, mereka bener-bener jadi sorotan. Pakaian elegan, pasangan serasi, aura confident—semua mata tertuju pada mereka. Tapi yang paling pecah justru Vino.
Selalu ada tingkahnya yang membuat viona dan yang lainnya menggeleng-geleng.
Namun, nggak lama kemudian, formasi delapan orang itu mulai buyar. Entah kenapa, Lea, Flo, dan Laura aja yang masih bareng. Mereka duduk di dekat taman kecil yang dihias lampu-lampu gantung. Obrolan ringan pun mengalir, sampai tiba-tiba Gavin muncul dari balik bayangan, mendekat ke arah mereka.
Wajahnya masih sama—tenang, sedikit dingin, tapi jelas sedang memperhatikan Lea dalam-dalam. “Lo gak papa?” tanyanya pendek. Lea cuma angguk kecil, lalu mengalihkan pandangan.
****
Sementara itu…
Di sudut sekolah yang tak lagi digunakan, di gudang lama yang berdebu, sunyi, dan pengap, ada seseorang berjalan perlahan sambil menyeret dua koper besar. Nafasnya tenang, ekspresinya datar.
Koper pertama dibuka. Bau darah langsung menyambar. Isinya potongan tubuh manusia— tangan, kepala, kaki dan badan, terpisah-pisah. terlihat daging segar yang masih mengucur pelan. Mayat itu adalah dua dari tiga cowok yang pagi tadi berurusan dengan Lea.
Koper kedua dibuka. Mayat satu lagi, utuh… tapi tubuhnya penuh lubang tusukan, menganga seperti boneka voodoo. Psycho itu memandangi hasil ‘karyanya’ sejenak, lalu tersenyum miring.
----
Di aula depan sekolah, pesta sedang berada di puncaknya.
Lampu-lampu gantung terang, musik berdentum, semua orang tertawa, bersorak, menikmati malam kelulusan kakak kelas mereka. Lea dan teman-temannya masih di kerumunan, belum menyadari apapun.
Sementara itu, di rooftop...
Seseorang berdiri. Dia membuka kedua koper itu... lalu satu per satu, potongan mayat dilemparkan ke bawah.
Tiba-tiba langit pesta berubah menjadi neraka.
Satu potongan tangan jatuh ke tengah kerumunan. Teriakan langsung meledak. Darah jatuh begitu saja seperti aliran deras, sebagian bahkan terkena dress mewah siswa-siswi. Potongan kepala jatuh... tepat di depan kaki Lea.
Lea melangkah mundur. Wajahnya pucat. Matanya membesar. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.
Flo dan Laura juga menjerit ketakutan. Gavin langsung melindungi Lea, menarik tubuhnya ke pelukan, tapi wajahnya tetap datar. Matanya memandangi potongan mayat dengan sorot tajam.
Namun... di tengah semua kekacauan itu...
Viona, Vino, Alvin, dan Zergan tak terlihat di mana pun. Seakan mereka lenyap dari keramaian.
Petugas sekolah mulai mengarahkan semua siswa untuk menjauh dari area kejadian. Beberapa guru berusaha menenangkan mereka, tapi suasana udah kacau. Tak lama kemudian, terdengar derap langkah tergesa.
Seorang pria paruh baya berjas panjang masuk bersama beberapa polisi. Tatapannya tajam. Ia seorang detektif yang ditugaskan menyelidiki kasus pembunuhan ini.
“Apa kamera pengawas diaktifkan di area ini?” tanyanya cepat pada petugas keamanan.
Salah satu petugas menggeleng dengan raut bingung. “Tidak, Pak. Untuk alasan yang tidak kami mengerti, seluruh sistem pengawasan mati... sama seperti kasus sebelumnya, pembunuhan Victor di rooftop bulan lalu.”
Detektif menghela napas dalam, lalu menatap jenazah mutilasi itu dengan wajah gelap. “Ini... bukan orang biasa.”
-----
Di sisi lain, Lea, Laura, Flo, dan Gavin sudah dikumpulkan di salah satu ruangan aman sekolah bersama siswa lainnya. Meski kerumunan ramai, keempatnya tetap berdekatan, terutama Gavin yang terus memperhatikan Lea.
“Lo gak papa?” tanya Flo pelan sambil menggenggam tangan Lea.
Lea mengangguk pelan, tapi wajahnya masih terlihat sangat shock. Bayangan kepala yang jatuh di depannya tadi seolah masih menari-nari di pelupuk mata.
Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka.
Muncul Viona dengan napas agak terengah, diikuti Vino tak lama setelahnya, yang langsung bilang, “Gila… gua gak ekspek bakal kayak gini.”
Setelah mereka duduk, Alvin muncul—dengan ekspresi datar dan sedikit tatapan kosong. Laura langsung berdiri, menghampiri, tapi Alvin hanya memberi anggukan kecil.
Terakhir... pintu kembali terbuka perlahan.
Zergan berdiri di ambang pintu. Tatapannya seperti biasa—dingin. Tapi kali ini ada sesuatu yang lain. Tatapannya singgah sebentar pada Gavin, lalu pada Lea. Lalu ia masuk dan duduk... tanpa banyak bicara.
Mereka semua telah kembali—tapi waktu dan tempat kemunculan yang tidak bersamaan… terasa terlalu aneh. Seolah... ada sesuatu yang mereka sembunyikan.
Gavin diam menatap mereka satu per satu. Nalurinya mulai bicara. Ada yang tak beres.
Malam yang mereka impikan untuk dikenang… malah berubah jadi malam yang ingin mereka lupakan.
*****
Beberapa hari setelah kejadian malam kelulusan itu, suasana sekolah tidak lagi sama. Meski kelas tetap berjalan seperti biasa, tapi semua orang tahu… ada sesuatu yang belum selesai.
Dan hari itu, berita itu akhirnya tersebar luas—kasus pembunuhan brutal saat acara kelulusan resmi ditutup. Tidak ada tersangka, tidak ada penjelasan, hanya pernyataan bahwa pihak berwenang "tidak menemukan bukti kuat" dan "tidak ingin menyebarkan kepanikan".
Sontak, banyak siswa dan wali murid merasa geram. Ada yang marah, ada yang takut, ada juga yang merasa tidak aman. Tapi sayangnya, tak ada satu pun yang bisa membantah keputusan itu. Bahkan pihak sekolah terlihat bungkam dan tertekan, seolah mereka sendiri tahu siapa yang berada di balik semua ini… tapi tidak berani bicara.
---
Siang itu, di kantin yang mulai kembali ramai, Lea dan teman-temannya duduk mengelilingi satu meja. Delapan orang. Tapi tidak ada tawa, tidak ada candaan seperti biasanya. Yang ada hanya bisikan-bisikan penuh tanda tanya.
“Jadi beneran ditutup?” tanya Laura dengan nada pelan.
“Iya. Mama aku tadi pagi ngomel-ngomel pas baca beritanya,” sahut Flo sambil melipat tangan di depan dada.
“Kayak ada yang ditutup-tutupin,” gumam Viona, matanya melirik ke sekitar, waspada.
“Tapi siapa yang bisa nutup kasus kayak gini? Polisi aja diem,” flo menimpali.
Vino nyengir kecil, berusaha mencairkan suasana, “Jangan-jangan... sekolah ini punya Thanos.”
Lucu, tapi tidak ada yang tertawa, semua hanyut dalan pikiran masing-masing.
Gavin hanya duduk diam, matanya tertuju ke meja. Lea pun sama. Kepalanya penuh pertanyaan, hatinya tak tenang.
“Kita gak tau siapa yang punya kuasa nutup ini semua,” gumam Lea pelan.
Zergan, yang dari tadi hanya menatap luar jendela, akhirnya bersuara.
“Kalau memang ada yang ngatur semua dari balik layar... berarti dia ngerasa punya kendali atas kita semua.”
Mereka saling bertatapan. Delapan orang, tapi masing-masing menyimpan kecemasan dan rahasia.
Suasana kantin siang itu makin tegang. Obrolan mereka belum usai, dan kabar bahwa kasus pembunuhan brutal itu resmi ditutup tanpa kejelasan membuat semuanya makin gila.
Tapi yang bikin mereka benar-benar ngeri... bukan cuma soal kasusnya yang ditutup. Tapi tentang siapa pembunuhnya.
“Lo sadar gak?” bisik Viona dengan suara pelan, “Dua siswa sebelum ini juga mati...” “Victor... sama 2 orang pembully itu, ” sambung Laura dengan wajah pucat. Flo mengangguk pelan, “Dan mereka semua dibunuh dengan cara yang gak manusiawi.” “Parahnya lagi... pelakunya disebut-sebut pakai topeng.” Vino ikut nimbrung, tapi kali ini tanpa canda.
Lea menggigit bibirnya. Tangannya mengepal di bawah meja.
“Kalian mikir sama kayak gue kan? Orang itu... si pria bertopeng itu—dia sekolah di sini,” ucap Zergan datar, tapi tegas.
Semua langsung terdiam.
“Masuk akal,” sahut Gavin akhirnya. “Gak mungkin orang luar bisa masuk sekolah seketat ini. Dan gak mungkin juga dia milih korban sembarangan.” “Berarti... kita satu sekolah sama pembunuh?” Alvin menatap sekeliling, ngeri. “Gue rasa dia gak milih korban asal-asalan. Siapa pun yang ganggu dia, atau seseorang yang dia lindungi… bakal jadi target,” tambah Lea pelan.
Kalimat itu bikin mereka semua membeku. Mereka ingat betul, dua cowok yang dibunuh itu, sempat bikin kekacauan sama Lea. Jadi, bisa jadi... itu bukan sekadar pembunuhan.
Itu... pembalasan.
“Kalau dia masih di sekolah ini...” Laura menelan ludah, “Berarti kita semua... dalam bahaya.”
Seketika, ketakutan menyelimuti mereka. Bukan hanya Lea dan teman-temannya—seluruh siswa satu sekolah mulai merasa gelisah. Mereka tak tahu siapa di antara mereka yang pakai topeng itu. Bisa jadi teman sekelas. Bisa jadi kakak tingkat. Bahkan... bisa jadi orang yang setiap hari didekat mereka.
Obrolan yang tadi serius itu mulai mereda, sampai tiba-tiba Vino nyelutuk dengan suara datar.
“Gimana kalau ternyata... gue si pria bertopeng itu?”
Seketika semua kepala menoleh cepat ke arahnya. Mata mereka membelalak, nahan napas. Hening. Tatapan Gavin langsung tajam. Tapi beberapa detik kemudian, Vino ketawa lebar.
" PFFTT....BWAHAHAHA. Serius amat sih.”
Yang lain mulai nyengir kecut, meski jelas ada yang masih merasa aneh. Tapi gavin diam saja.
Malah... dia mendadak kepikiran sesuatu.
“Kemarin... waktu kejadian malam itu... lo berempat ke mana aja?” tanya Gavin tajam sambil melirik satu-satu: Vino, Viona, Alvin, Zergan.
Seketika keempatnya saling melirik. Suasana kembali menegang. Viona akhirnya angkat suara duluan.
“Gue sama Vino jalan-jalan bentar sih... cuma ya sempat pisah juga. Vino dapet telepon... jadi dia ngilang sebentar,” jelasnya, masih coba santai.
Gavin kembali bertanya.
“Telepon siapa?”
Vino yang tadinya tertawa, sekarang kelihatan canggung. Dia ngelirik kanan kiri, lalu nunduk dikit. Diam. Semua mata tertuju ke dia.
“Lo kenapa?” tanya Viona bingung. “Tinggal jawab doang, kenapa susah amat?”
Vino masih ragu. Tapi akhirnya dia jawab, pelan dan setengah hati.
“Atasan…”
“Loh? Lo kerja?” celetuk Laura cepat.
Vino cuma angguk kecil. Tak bilang apa-apa lagi.
“Kerja apaan?” tanya flo curiga.
“... semacam pengantar, kadang tukang data, gitu-gitu lah…” jawabnya singkat.
Tapi nada suaranya... kayak orang yang tak jujur.
Semua langsung saling tatap lagi. Situasi makin mencurigakan. Karena Vino yang biasanya santai, sekarang kelihatan jelas bahwa ia lagi sembunyiin sesuatu.
––––
Langit sore mulai berubah jingga saat Gavin dan Lea melangkah keluar dari gerbang sekolah. Udara masih mengendap dengan kecanggungan tak kasat mata—bukan karena marah, tapi karena terlalu banyak yang baru terjadi, dan mereka butuh ruang untuk bernapas.
Tanpa banyak bicara, Gavin membuka pintu mobilnya untuk Lea. Gerakan kecil yang tak dia komentari, tapi cukup bikin Lea meliriknya sekilas, bingung kenapa selalu ada rasa aneh tiap Gavin melakukan hal sederhana kayak gitu.
Di dalam mobil, suasana terasa hening. Bukan hening yang kaku, tapi hening yang berat. Seolah segala suara ditelan pikiran masing-masing. Gavin fokus menyetir, satu tangan di kemudi, satu lagi bertumpu santai di jendela. Cahaya matahari sore membias di wajahnya yang tetap tanpa ekspresi.
Lea bersandar di kursi, melipat tangan di dada, menatap jalanan yang perlahan berganti warna.
“Akhir-akhir ini… banyak yang terasa nggak masuk akal,” katanya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.
Gavin tidak langsung jawab. Tapi sorot matanya bergeser sebentar ke arahnya sebelum kembali ke jalan.
“Kalau lo capek… ya udah. Kita gak usah ngomongin apa-apa dulu,” katanya datar.
“Kita kabur bentar dari semuanya.”
Lea mendongak, mengangkat alis.
“Kabur?”
“Iya. Dari semua omongan. Dari semua peristiwa. Dari rasa takut.”
“Setidaknya... sampe lo senyum lagi,” katanya lirih, tanpa menatapnya.
Kata-kata itu tidak manis. Tapi cukup buat dada Lea terasa berat sesaat. Dan entah kenapa, dia tak sanggup nyembunyikan senyum kecil yang numpang lewat di wajahnya.
“Sok puitis lo,” gumamnya, pelan.
“Gak biasanya lo gak nyolot balik,” balas Gavin, dan untuk pertama kalinya hari itu, suara mereka diselingi tawa kecil—singkat, tapi hangat.
Mobil itu terus melaju menembus senja. Di luar, dunia masih kacau. Tapi di dalam kabin itu, meski sebentar, waktu seolah berhenti. Hanya ada mereka berdua… dan hening yang kini tak lagi terasa berat.
Mobil terus melaju, melewati deretan bangunan yang mulai diselimuti bayangan senja. Angin sore masuk lewat jendela yang sedikit terbuka, bawa aroma aspal panas yang mulai dingin—aroma khas habis hujan yang entah kenapa terasa familiar.
Lea diam, jari-jarinya iseng memainkan lengan jaketnya sendiri. Pandangannya kosong, tapi enggak gelisah. Lebih ke... nyaman, meskipun tidak diucap.
“Lo mau kemana?” tanyanya akhirnya, suara rendah tapi cukup terdengar.
“Nggak tahu,” jawab Gavin tanpa mikir lama.
“Asal jauh dikit aja dari sekolah, dari semua yang bikin otak muter-muter.”
Lea mengangguk pelan.
“Oke. Tapi jangan tempat aneh-aneh. Gue masih mau hidup.”
“Tenang aja, gue gak gila,” gumam Gavin, senyum tipis yang nyaris gak kelihatan muncul di wajahnya.
Mereka berhenti di tempat agak sepi—bukit kecil di pinggir kota, di mana lampu-lampu jalanan mulai menyala satu per satu. Dari atas situ, cahaya kota kelihatan seperti lautan bintang versi dunia nyata.
Mereka duduk di kap mobil, bahu nyaris bersentuhan tapi tak saling nyari pegangan.
“Aneh ya... sekarang bisa ketawa dikit aja udah berasa mewah,” kata Lea pelan, menatap ke bawah.
Gavin menoleh, suaranya lebih pelan dari biasanya.
“Lo harus sering bahagia. Dunia udah cukup kacau tanpa harus lo ikutan rusak.”
Lea tertawa kecil, pahit.
“Gue gak rusak.”
“Cuma... mungkin agak retak aja.”
Gavin tidak mengucapkan apa-apa, tapi sorot matanya berubah. Lebih lama dari biasanya saat dia menatap Lea.
“Retak itu masih bisa dibenerin,” katanya.
“Asal jangan dibiarin hancur.”
Mata mereka saling bertemu—sebentar. Canggung, tapi intens. Tak ada yang bicara setelah itu.
Malam turun perlahan, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, Lea merasa... ada tempat aman. Walaupun cuma di atas kap mobil , dengan cowok pendiam yang lebih sering nahan rasa daripada ngucapin.
Tapi kadang, cukup.
Lampu jalanan remang-remang menerangi wajah Lea yang tiba-tiba jadi agak tenang. Gavin tetap diam, matanya fokus ke jalanan, tapi perhatiannya sudah ke Lea.
Lea menarik napas panjang, lalu tanpa sengaja mulai cerita,"Lo mau tahu sesuatu yang memalukan waktu gue kecil?”
Gavin hanya melirik singkat, bibirnya agak terangkat. “Kalau itu artinya gue bisa ngejek lo habis-habisan, gue tertarik.”
Lea mencibir, tapi senyumnya tipis. “Gue pernah masuk ke kandang ayam cuma karena ngira itu jalan rahasia ke markas Power Rangers. Kandangnya becek, dan... ayam jagonya ngejar gue sampe keluar, sambil berisik banget." ternyata sedari kecil, pemikiran dan perilaku lea memang berbeda dengan anak lain pada umumnya.
Gavin langsung ngikik kecil. Itu bukan tawa keras, tapi cukup bikin Lea menoleh heran.
“Jadi... lo dikejar ayam?” Gavin mengulang pelan, nada suaranya sedikit geli. “Gue gak nyangka sih. Gue kira lo bakal jadi anak kecil yang nyuruh ayam minggir, bukan kabur kayak film horor.”
Lea ketawa. Beneran ketawa. Suara tawanya pecah, ringan, dan penuh—sepertinya dia lupa kalau hidupnya baru aja berantakan beberapa hari terakhir.
Gavin ngelirik lagi, lebih lama sekarang. Di balik ketawanya itu, Lea kelihatan hidup. Dan untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, Gavin ngerasa mereka punya waktu... untuk bernapas. Bahkan walau cuma sebentar.
“Gak usah senyum kayak gitu deh, . Nanti gue malah cerita yang lebih malu-maluin lagi,” Lea menggoda, menyembunyikan wajahnya pakai tangan.
“Gue tunggu,” jawab Gavin santai, tapi suaranya agak pelan, seolah tak ingin momen itu cepat hilang.
Lea tiba-tiba nyengir karna teringat sesuatu. "Gue juga inget... waktu itu umur gue lima tahun. Gue takut banget tidur sendiri karena mikir ada monster di bawah ranjang. Papa gue tuh bukannya ngeyakinin gue secara normal, dia malah pura-pura jadi superhero."
Lea ketawa kecil, matanya berbinar mengingat kenangan itu.Ntah kenapa, dia ingin menceritakan semua momen-momen indah yang menjadi kenangannya kepada seseorang disampingnnya saat ini.
"Dia masuk kamar gue pake anduk diikat di leher kayak jubah, trus bilang, 'Monster bawah ranjang, keluar lo! Ini Super Papa datang!' Abis itu dia tiarap dan ngelawan udara kosong sambil teriak-teriak, 'Jangan ganggu anak gue ya!'"
Gavin yang dengerin, akhirnya tersenyum juga. Lea melanjutkan, “Padahal gak ada apa-apa di sana, tapi gue merasa paling aman di dunia. Sejak itu gue jadi berani tidur sendiri.”
Dia ketawa lagi, lalu pelan berkata, “Itu terakhir kalinya gue inget papa... tapi aneh ya, satu momen konyol itu bisa jadi paling berharga."
Tawa Lea perlahan mereda, menyisakan keheningan tipis yang menggantung di dalam mobil. Sinar jingga senja menyelinap masuk melalui kaca jendela, membingkai wajahnya yang tampak tenang... namun matanya mulai buram oleh sesuatu yang tak bisa ia tahan lebih lama.
"gue....kangen banget" ucap Lea lirih, nyaris seperti bisikan. "waktu itu cuma sebentar..... tapi itu tetap bakal jadi kenangan gue yang gak bakal gue lupa."
Tangannya mengepal di pangkuan, berusaha menjaga dirinya tetap tegar. Napasnya bergetar sedikit. Ada luka lama yang perlahan kembali meruak, seperti luka lama yang nyaris sembuh namun disentuh kembali.
Gavin melirik sekilas. Ia tak berkata apa-apa. Tidak ada pelukan. Tidak ada kalimat penghiburan yang murahan. Hanya tatapan singkat yang menyimpan banyak hal, diamnya menyuarakan lebih banyak dari kata-kata.
Ia hendak menggerakkan tangannya, ingin meraih bahu Lea... menenangkan. Tapi sesuatu menahannya. Keengganan. Gengsi. Atau mungkin rasa takut, kalau ia menunjukkan kelembutan, ia takkan bisa menariknya kembali.
Lea membiarkan satu tetes air mata jatuh diam-diam di pipinya. Ia tidak menoleh. Tak ada isak. Hanya keheningan yang perlahan dipenuhi oleh aroma kenangan.
“Maaf... gue cengeng, padahal tadi niatnya pengen ketawa aja.” katanya pelan, menahan senyum tipis.
Gavin akhirnya bersuara, rendah dan dingin, namun mengandung ketulusan yang jarang muncul dari mulutnya.
“tawa lo tadi.... setidaknya bikin perasaan lega. ”
Lea menoleh perlahan. Mereka saling berpandangan hanya dalam satu detik singkat, namun cukup untuk saling memahami, bahwa di tengah luka yang belum sembuh, mereka punya satu sama lain.
---
Sesampainya di depan rumah, Lea masih sempat melambaikan tangan, lalu membuka pagar kecil dan berjalan masuk. Tapi begitu sampai di dalam dan melepas sepatunya, kelelahan benar-benar mengambil alih tubuhnya. Ia tak sempat berganti pakaian, tak sempat mencuci muka—hanya sempat menjatuhkan tasnya di sofa dan menjatuhkan tubuh ke atasnya.
Dalam hitungan menit, ia sudah terlelap. Napasnya tenang, wajahnya damai. Seolah dunia yang kacau di luar sana tak bisa menembus mimpinya malam ini.
**
Sementara itu, Gavin menyetir dalam hening. Radio mobilnya mati, hanya suara gesekan ban dengan aspal yang menemani pikirannya yang tak berhenti berputar.
Ia tak bisa berhenti mengingat sorot mata Lea tadi—yang mencoba terlihat kuat, walau jelas nyaris runtuh.
Beberapa belas menit kemudian, mobilnya berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah berarsitektur modern. Gerbang terbuka otomatis saat sensor mengenali mobilnya. Ia masuk tanpa ekspresi, parkir di garasi marmer yang mengkilap.
Begitu masuk ke dalam rumah, dinginnya interior langsung menyambut. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut ke dinding putih bersih. Lantai marmer bergema di setiap langkahnya.
Tak ada suara. Hanya kesunyian yang mewah dan hampa.
Gavin membuka jaketnya, melemparkannya ke sofa panjang di ruang tengah. Ia berjalan menuju kulkas, membuka botol air mineral, lalu berdiri mematung di depan jendela besar yang menghadap ke taman belakang yang tertata sempurna.
Tapi meski sempurna, semuanya terasa kosong. Tidak seperti tawa kecil Lea tadi di dalam mobil.
Perlahan, Gavin menutup matanya.
“Gue cuma pengen dia baik-baik aja.”
Satu kalimat itu terlintas begitu saja di pikirannya, tanpa kendali. Tapi hatinya tahu, itu satu-satunya hal yang benar di tengah semua kekacauan yang belum juga usai.