NovelToon NovelToon
Cinta Yang Dijual(Suami Bayaran) By Leo Nuna

Cinta Yang Dijual(Suami Bayaran) By Leo Nuna

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Paksa / Cinta Beda Dunia / Wanita Karir
Popularitas:664
Nilai: 5
Nama Author: Leo.Nuna_

Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.

Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.

Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.

Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 14 (Pilihan Felicia)

Happy Reading (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

⋇⋆✦⋆⋇

Saat ini Letta dan Felicia duduk berhadapan di sebuah kafe kecil yang tak jauh dari area rumah sakit. Suasana di antara mereka begitu tegang, meski dari luar tampak tenang. Letta menatap Felicia tajam, sorot matanya sulit diartikan, penuh misteri dan maksud tersembunyi.

Merasa tidak nyaman dengan tatapan Letta yang menusuk, Felicia akhirnya membuka suara lebih dulu.

“Jadi, apa sebenarnya yang ingin Nyonya bicarakan dengan saya?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meski ada kegelisahan yang jelas terpancar.

“Bagus. Aku juga tak suka basa-basi,” sahut Letta dengan senyum tipis yang jelas palsu.

Tanpa menjelaskan lebih jauh, Letta mengeluarkan sebuah dokumen dan menyodorkannya ke arah Felicia. “Baca ini. Aku yakin kamu akan paham,” ucapnya singkat.

Felicia menatap ragu dokumen tersebut, lalu mengalihkan pandangan ke Letta, mencoba membaca maksud di balik tindakan itu. Tapi akhirnya, dengan enggan, ia mulai membuka dan membaca isinya.

Semakin banyak kata yang dibacanya, ekspresi Felicia mulai berubah. Matanya membulat, napasnya memburu, hingga akhirnya—brak!—dokumen itu dibanting ke atas meja dan ia berdiri dengan amarah yang tak lagi bisa ditahan.

“Apa-apaan ini?! Apa Anda pikir suami saya itu barang? Bisa ditukar begitu saja dengan uang?!” seru Felicia geram.

Letta tetap duduk tenang, hanya melirik sekeliling memastikan tak ada yang memperhatikan. Kafe itu memang cukup sepi, dan ia sengaja memilih tempat tersembunyi agar pembicaraan mereka tak terdengar orang lain.

“Ck, drama,” batinnya. Tapi wajahnya tetap tenang, bahkan senyumnya masih terukir.

“Felicia,” ucap Letta mulai menghilangkan nada formalnya diganti dengan nada dingin, “bukankah kamu sedang tercekik utang? Para penagih itu, kurasa, tidak punya kesabaran sebanyak yang kamu harapkan. Sementara suamimu… ah, berapa lama kamu mau menunggu dia mengatasi semua itu? Dan maaf, dia bukan penyelamat dalam situasi ini.”

Felicia mendengus. Ia tahu Letta tak sepenuhnya salah, namun egonya tak bisa menerima begitu saja “Heh, aku tidak menyangka. Seorang Nona muda, kaya raya seperti kamu, rela turun level hanya untuk merebut suami orang?Menyedihkan,” ucap Felicia mengejek.

“Lalu apa bedanya kamu dengan para pelakor murahan di luar sana? Ah, mungkin kamu adalah versi 'kelas atas' mereka, dengan menggunakan tas branded dan mobil mewah.”

Ucapan itu seperti menyiram bensin ke api. Letta tersulut, tapi ia menahan diri. Ia tahu, ledakan emosi hanya akan melemahkan posisinya.

“Aku tidak akan membantah,” ucap Letta, suaranya datar namun penuh tekanan. “Tapi kamu tahu persis seberapa buruk situasimu. Jangan munafik. Pikirkan baik-baik tawaranku. Tawaran ini tidak datang tanpa pertimbangan. Kamu bebas menolaknya, tapi sebelum itu... pikirkan berapa banyak utang yang harus kamu bayar, dan seberapa besar risiko jika kamu tetap bersikeras menolak."

Letta bangkit dari tempat duduknya, mengambil tasnya dengan anggun lalu menatap Felicia dengan senyum terakhir.

“Kalau kamu sudah memutuskan, hubungi aku. Tapi ingat, kesempatan tidak selalu datang dua kali.”

Dengan langkah anggun, Letta meninggalkan Felicia yang masih berdiri terpaku di tempatnya, terjebak antara harga diri dan kenyataan hidup.

Setelah pertemuan yang menegangkan dengan Letta, Felicia memilih untuk langsung pulang. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh tawaran yang baru saja ia terima.

Kata-kata Letta terngiang-ngiang di kepalanya, membuat dadanya sesak oleh campuran emosi—marah, bingung, tapi juga takut. Ia terlalu tenggelam dalam pikirannya hingga tak menyadari bahwa Zidan sudah pulang dari rumah sakit.

Zidan pulang untuk beristirahat sejenak. Kini giliran Aya yang menjaga ibu mereka di rumah sakit, dan meskipun hanya sebentar, Zidan sangat membutuhkan waktu untuk menenangkan diri saat ini.

Dengan langkah berat, ia masuk ke kamar, tubuhnya terasa lelah tak hanya fisik, tapi juga karena beban pikiran yang menghimpitnya.

Ia berharap bisa beristirahat walau hanya sebentar. Mungkin, setelah itu ia bisa mulai mencari satu per satu jalan keluar dari semua masalah ini.

Namun, harapan itu seketika berubah saat suara lembut Felicia menyapanya.

“Mas,” panggil Felicia dengan nada ramah yang sudah lama tak terdengar.

Zidan menoleh, agak terkejut.

“Mas mau mandi dulu? Atau makan? Biar aku siapkan ya,” ucap Felicia lembut, membuat Zidan nyaris tak percaya.

Seketika, hatinya hangat. Inilah sosok istri yang dulu sangat ia cintai—hangat, perhatian, dan penuh kasih. Senyum perlahan merekah di wajah Zidan, senyum yang sudah lama tak ia tunjukkan pada Felicia.

“Mungkin mandi dulu... baru makan. Kamu mau nemenin mas nanti?” tanyanya dengan nada berharap. Beberapa bulan terakhir, Felicia selalu punya alasan untuk menghindar mulai dari mengantuk, lelah, atau sekadar berkata sudah kenyang.

Tapi kali ini, Felicia mengangguk pelan. “Boleh. Kalau gitu, aku panasin dulu makanannya. Mas mandi aja dulu, ya.”

Felicia beranjak dari ranjang, meninggalkan Zidan yang masih terpaku di tempat. Ia menatap kosong ke arah pintu, tempat Felicia menghilang, sebelum akhirnya berbisik pelan, nyaris seperti doa:

“Aku harap... kamu akan terus seperti ini.”

Dan dengan harapan baru yang tumbuh pelan-pelan, Zidan melangkah menuju kamar mandi.

Setelah selesai membersihkan diri, Zidan menyusul Felicia ke dapur—ruang yang juga berfungsi sebagai ruang makan kecil mereka. Sesampainya di sana, Zidan langsung disambut oleh senyum Felicia yang rupanya sudah menunggunya.

“Ayo duduk, Mas,” ajak Felicia lembut.

Zidan menurut, lalu duduk di hadapan istrinya. Aroma masakan sederhana menyambutnya, dan rasa damai yang lama hilang perlahan kembali.

“Aku ambilin, ya. Maaf, Mas, cuma ada ini. Tahu, tempe, telur, sama tumis kangkung,” ucap Felicia dengan sedikit sungkan.

Zidan hanya tersenyum hangat. “Selagi ada kamu, itu udah lebih dari cukup. Harusnya aku yang minta maaf, belum bisa bahagiain kamu.”

Felicia terdiam sejenak, senyum tipis menghiasi wajahnya. Kata-kata Zidan barusan seperti tetes air di tengah gurun. Lalu, tanpa banyak bicara, keduanya mulai menikmati makan malam itu bersama—momen yang sudah sangat lama tak mereka rasakan berdua dalam suasana damai.

Setelah piring-piring kosong dan keheningan terasa nyaman, Felicia mencuri pandang ke arah Zidan. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan, dan ia merasa inilah waktunya.

“Mas…” panggilnya pelan.

Zidan menoleh, “Iya, kenapa, sayang?”

Felicia menarik napas, menimbang kata-kata sebelum akhirnya berkata, “Masalah utang aku… dua hari lagi jatuh temponya. Gimana, Mas?”

Sekilas, raut wajah Zidan menegang, tapi ia cepat menguasai diri dan tersenyum, meski terasa sedikit dipaksakan.

“Kamu tenang aja. Aku bakal coba minta waktu tambahan, terus cicil sedikit-sedikit. Yang penting jangan panik, ya?” ujarnya berusaha meyakinkan.

Namun, kata-kata Zidan justru menggema beriringan dengan ingatan Felicia tentang tawaran Letta.

“...Para penagih itu, kurasa, tidak punya kesabaran sebanyak yang kamu harapkan. Sementara suamimu… ah, berapa lama kamu mau menunggu dia mengatasi semua itu? Dan maaf, dia bukan penyelamat dalam situasi ini.”

Felicia menggigit bibir bawahnya. Hatinya mendadak kacau. Apakah dia benar-benar harus mempertimbangkan tawaran Letta?

Tawaran itu... Tawaran yang akan melunasi semua utangnya, cek kosong tanpa batas, masa depan yang lebih terjamin. Hanya satu syarat menceraikan Zidan dan menyerahkannya pada Letta.

Apa itu berarti menjual suaminya sendiri?

Felicia memandangi Zidan yang sedang membereskan piring dengan senyum lelah di wajahnya. Lelaki itu sedang berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan badai yang sedang mereka alami.

Dan Felicia? Ia justru dihadapkan pada godaan yang bisa mengakhiri semua masalah sekaligus menghancurkan cinta yang tersisa.

Dalam hatinya, pertarungan baru saja dimulai.

TBC...

1
Mira Esih
ditunggu terus update terbaru nya thor
Leo Nuna: siap kak🫡
total 1 replies
Mira Esih
sabar ya letta nnti jg ada perubahan sikap Zidan masih menyesuaikan keadaan
Mira Esih
terima aja Zidan mungkin ini takdir kamu
Leo Nuna: omelin kak Zidan-nya, jgn dingin2 sma Letta😆🤭
total 1 replies
Okto Mulya D.
Zidan Ardiansyah hidupnya pas²an..
Okto Mulya D.: sama²
Leo Nuna: iya nih kak, makasih loh udh mampir😉
total 2 replies
Okto Mulya D.
Kasihan ya, cintanya ditolak
Okto Mulya D.
Zidan Ardiansyah cinta putih abu-abu yaa
Okto Mulya D.
semangat Letta
Okto Mulya D.
udah mentok kalii sudah 28 tahun tak kunjung ada
Okto Mulya D.
Letta coba kabur dari perjodohan.
Okto Mulya D.
jadi pelakor yaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!