Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.
Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.
ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___
Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.
(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
malam yang terlalu lama
Hujan masih mengetuk jendela seperti tamu tak diundang. Rintiknya rapat, tapi lembut, seperti ingin menghibur tapi tak tahu cara. Di luar, malam terasa lebih tua dari biasanya. Seolah waktu enggan bergeser.
Zean dan Lira duduk bersandar di dinding ruang tengah,TV menyala dengan volume rendah, Di antara mereka, setumpuk roti sobek setengah dan gelas berisi air keran. Lampu ruang tamu menyala samar, bukan karena ingin romantis, tapi karena listrik sempat padam dan menyala kembali,hanya bisa berserah kepada petugas PLN tentang masa depan listrik.
TV menampilkan siaran darurat.
Latar belakangnya merah gelap. Teks putih di bagian bawah berjalan lambat. Gambar presenter tampak kaku, seperti robot yang baru saja diajari cara berbicara manusia.
"Pemerintah meminta seluruh warga tetap berada di dalam rumah. Hindari kerumunan. Jangan menanggapi panggilan dari suara yang tidak dikenal, terutama jika terdengar dari luar jendela.
Ini bukan latihan,karena sudah menjalar ke berbagai kota."
Gambar beralih ke rekaman drone,jalanan kota. Lenggang. Beberapa kendaraan ditinggalkan dalam keadaan menyala. Ada satu truk yang terguling di bundaran, tidak ada yang mengevakuasi. Di kejauhan, terlihat satu sosok berjalan pincang di tengah jalan raya.
Lira memeluk lututnya. “Kau lihat... cara jalannya?”
Zean mengangguk. Terlalu lambat. "Terlalu... lepas dari irama manusia normal."
TV kembali ke presenter.
"Laporan awal menyebutkan gejala agresivitas akut pada beberapa individu. Penularan belum bisa dipastikan. Namun"
Gambar bergetar. Suara mendengung. Presenter menegang.
"namun kami sarankan untuk tidak membuka pintu bagi siapa pun. Bahkan jika mereka tampak kenal. Bahkan jika mereka memanggil dengan suara yang familiar."
“Kurasa ini pertama kalinya aku benar-benar nonton berita tanpa disuruh,” gumam Lira.
Zean melirik ke layar, lalu ke adiknya. “Ya. Dan ironisnya, sekarang yang nyuruh bukan ibu, tapi kiamat kecil,dan perasaan baru kemarin wabah aneh ini muncul ku saat lihat di TV,tapi ternyata sudah menjalar ke berbagai tempat."
Mereka diam lagi. Suara hujan menjadi satu-satunya latar, kadang diiringi suara listrik yang berdengung malas dari TV.
“Apa menurutmu ini... zombie?” tanya Lira pelan, nyaris seperti sedang menyebut nama hantu di kamar mandi.
Zean mendengus pelan. “Entah. Belum ada yang gigit siapa-siapa, belum ada yang bilang ‘braaains’. Tapi atmosfernya cocok.”
“Mungkin ini versi lokal. Lebih pendiam. Lebih hemat suara. Kayak... zombie minimalis.”
Zean tersenyum miring. Lira memang punya bakat menampar rasa takut dengan candaan setipis kertas. Dan entah kenapa, itu justru lebih menenangkan dari logika apa pun.
TV beralih ke cuplikan visual lain, kerumunan di sebuah bandara yang hancur. Seorang wanita berteriak ke arah kamera sebelum gambarnya dipotong secara kasar. Kembali ke studio kosong.
Lira menarik selimut lebih erat. “Menurutmu... kenapa ibu belum pulang juga?”
Pertanyaan itu melayang seperti asap. Pelan, tapi tidak bisa diusir begitu saja.
Zean menjawab tanpa menoleh, “Entah. Tapi kita pernah lihat dia lebih tenang dari gempa dan lebih cepat dari tukang kredit. Jadi... aku harap dia punya alasan kuat.”
Lira mengangguk. “Kalau bukan alasan, semoga setidaknya senjata.”
Lampu ruang tengah sempat meredup, lalu stabil lagi. Listrik masih bertahan. Entah sampai kapan. Mereka sepakat untuk tidak mengecek loteng malam ini, meskipun pesan ibu di kamar atas masih membekas seperti bisikan di telinga yang tak bisa dihapus.
“Kau sadar nggak,” kata Lira tiba-tiba, “Kalau dunia bakal hancur dalam seminggu, dan kita masih... di sini, nonton TV, pakai selimut yang baunya mirip lemari tua.”
“Kau mau ke luar dan jadi pahlawan?” tanya Zean.
“Tidak. Aku cuma mau bilang... setidaknya kiamat datang setelah aku selesai ngerjain PR matematika. Jadi aku nggak ngerasa kerja sia-sia.”
Zean tertawa pelan. Lalu hening lagi. Layar TV kini hanya menampilkan peta kota dengan titik-titik merah yang terus bertambah. Suara perempuan itu tak terdengar lagi.
Hanya statis.
Dan hujan.
Dan mereka berdua.
Masih hidup. Masih menunggu. Masih berharap ini semua hanya fase aneh dari sejarah yang akan lewat seperti mimpi buruk remaja.
TV akhirnya mati sendiri. Entah karena listrik mulai menyerah, atau karena bahkan teknologi pun enggan melihat dunia jatuh pelan-pelan.
Mereka tidak panik. Mungkin karena lelah. Mungkin karena otak manusia memang butuh waktu untuk sepenuhnya percaya bahwa hidup telah berubah arah dari “besok sekolah” menjadi “besok bertahan”.
“Matikan lampu aja sekalian,” bisik Lira.
“Biar lebih hemat atau lebih seram?” tanya Zean.
“Dua-duanya. Hemat kalau kita selamat. Seram kalau nggak.”
Zean berdiri pelan dan mematikan lampu utama. Sekarang rumah hanya diterangi cahaya dari luar, remang, tembus dari sela gorden yang basah. Suara hujan lebih jelas saat ruangan gelap,seperti langit ikut berbicara tapi dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti daun dan genteng.
Lira memandangi pintu depan. Lama.
“Aku tadi lihat sesuatu lewat cepat. Tapi nggak yakin itu orang.”melihat sesuatu seperti bayangan bergerak di sela sela bawah pintu yang agak tinggi.
“Kalau bukan orang...?”
“Bisa kucing. Bisa angin. Bisa halusinasi. Atau bisa... kau tahu sendiri.”
Zean berjalan pelan ke pintu, lalu menguncinya sekali lagi. Bukan karena yakin itu akan membantu, tapi kadang kita hanya butuh gestur untuk merasa aman.
Mereka berdua lalu naik ke kamar masing-masing. Bukan karena ingin tidur. Tapi karena tubuh minta tempat yang bisa memberi ilusi perlindungan.
Di kamar Zean, ia duduk di ranjang dan membuka ponselnya. Tidak ada sinyal. Tidak ada internet. Tidak ada kabar.
Hanya satu pesan lama dari ibunya yang masih tersimpan di layar:
“Pulang nanti malam. Jangan lupa kunci pintu. Dan jangan nonton film zombie larut-larut, Zean. Dunia ini sudah cukup aneh.”
Zean membacanya dua kali. Lalu menyimpannya kembali.
Di kamar sebelah, Lira merekam sesuatu dengan ponsel yang sudah mulai sekarat baterainya.
“Catatan Hari Aneh Nomor Satu,” katanya ke kamera. “Kakakku Zean masih saja belum mengaku kalau dia takut gelap. Dan dunia kemungkinan besar sudah berakhir. Tapi kami masih punya selimut bau lemari dan roti sisa. Hidup tidak sepenuhnya buruk.”
Ia tersenyum kecil ke kameranya sendiri. Lalu mematikan ponsel. Hening lagi.
Di luar, hujan mulai reda. Tapi bukan berarti dunia membaik.
Hanya... bersiap.