Di Desa Fuyun yang terkubur salju, Ling Tian dikenal sebagai dua hal yakni badut desa yang tak pernah berhenti tertawa, dan "Anak Pembawa Sial" yang dibenci semua orang.
Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum konyol dan sikap acuh tak acuh itu, tersimpan jiwa yang lelah karena kesepian dan... garis darah monster purba yang paling ditakuti langit yakni Kunpeng.
Enam puluh ribu tahun lalu, Ras Kunpeng musnah demi menyegel Void Sovereign, entitas kelaparan yang memangsa realitas. Kini, segel itu retak. Langit mulai berdarah kembali, dan monster-monster dimensi merangkak keluar dari bayang-bayang sejarah.
Sebagai pewaris terakhir, Ling Tian dipaksa memilih. Terus bersembunyi di balik topeng humornya sementara dunia hancur, atau melepaskan "monster" di dalam dirinya untuk menelan segala ancaman.
Di jalan di mana menjadi pahlawan berarti harus menjadi pemangsa, Ling Tian akan menyadari satu hal yakni untuk menyelamatkan surga, dia mungkin harus memakan langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvarizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23: Di Antara Dua Puncak Gunung
Malam telah sepenuhnya menguasai langit di atas Arena Pedang Langit. Namun, di dalam kawah batu raksasa itu, kegelapan tidak berani menampakkan diri.
Ratusan obor minyak raksasa dinyalakan di sekeliling pilar-pilar penyangga arena. Lidah api oranye menari-nari liar ditiup angin malam, menciptakan bayangan panjang yang berdenyut di dinding tribun, seolah-olah hantu para pendahulu sekte ikut menonton dari kegelapan malam.
Udara di dalam arena tidak lagi berbau keringat atau debu melainkan berbau Ekspektasi.
Itu adalah bau yang unik, campuran dari bau ozon statis yang dihasilkan oleh ribuan kultivator yang tengah menahan napas, aroma tembakau murah yang dihisap para penjudi yang berwajah gugup, dan rasa logam yang tertinggal di lidah akibat adrenalin yang terlalu tinggi.
Di tribun penonton, yang seharusnya sudah sepi karena hari semakin larut, justru semakin padat. Murid-murid yang tadi pagi gugup atau kalah di babak penyisihan, kini kembali memadati kursi batu. Bahkan murid-murid dari Divisi Dalam (Inner Sect) mulai bermunculan di barisan atas, tertarik oleh rumor tentang "Final Berdarah" yang akan terjadi.
Gong belum berbunyi. Tapi perang urat saraf sudah dimulai di tribun penonton.
Tribun Timur (Area Perjudian Ilegal)
Di sudut tribun yang remang-remang, sekelompok murid mengerumuni seorang bandar judi gemuk, salah satu murid senior yang terkenal licin. Papan tulis kapur di belakangnya penuh dengan coretan angka yang berubah setiap detik.
"Pasang taruhan kalian! Pasang sekarang sebelum gerbang dibuka!" teriak si bandar, keringat membasahi lehernya yang berlipat. "Jiang Wuqing si Pedang Air! Atau Ling Tian si Pemakan Mayat! Waktu tinggal lima menit!"
"Seratus poin untuk Jiang Wuqing!" teriak seorang murid kurus, melempar kantong koinnya. "Kau gila kalau pegang Ling Tian. Jiang Wuqing itu jenius yang sudah menyentuh Sword Intent. Dia tidak terkalahkan!"
"Tapi Ling Tian menelan ledakan racun!" bantah murid lain yang wajahnya masih pucat sisa ketakutan tadi sore. "Aku melihatnya sendiri. Dia bukan manusia melainkan monster. Aku pasang lima puluh poin untuk si monster!"
"Bodoh," cibir murid pertama. "Kekuatan kasar tidak akan menang melawan teknik sempurna. Jiang Wuqing belum pernah menghunus pedang aslinya sepanjang turnamen. Dia cuma pakai ranting dan sarung pedang. Bayangkan kalau dia serius!"
Perdebatan mulai memanas.
Mayoritas murid sekitar 80% memegang Jiang Wuqing. Reputasi "Tuan Muda Sempurna" yang dibangun selama bertahun-tahun terlalu kuat untuk digoyahkan oleh pendatang baru yang baru muncul tiga hari.
Namun, 20% sisanya adalah mereka yang menyaksikan kebrutalan Ling Tian di Gua Angin Ratapan atau di Panggung Hidup-Mati. Mereka bertaruh bukan karena logika, tapi karena rasa takut. Mereka bertaruh pada kegelapan.
Si bandar judi menyeringai, menghitung koin yang menumpuk.
"Odds saat ini 1 banding 5 untuk Ling Tian," gumamnya. "Kalau si pelayan itu menang, aku pasti bangkrut. Tapi kalau dia mati... aku akan kaya raya."
Tribun Utama (Area VIP)
Suasana di panggung kehormatan jauh lebih "beradab", namun ketegangannya jauh lebih tajam. Di sini, yang dipertaruhkan bukan koin, melainkan wajah dan filosofi.
Para Tetua Sekte Pedang Langit duduk di kursi-kursi berlapis kulit harimau. Di samping mereka, tamu-tamu terhormat dari Istana Shenxiao duduk dengan postur tegak yang angkuh.
Seorang Tetua Istana Shenxiao, pria tua dengan jubah biru bersulam petir perak, meletakkan cangkir tehnya dengan pelan.
"Tetua Mo," katanya, menyapa Tetua Disiplin Sekte Pedang di sebelahnya. "Saya harus akui, seleksi internal kalian tahun ini... penuh kejutan dan sangat 'berwarna'."
Kata 'berwarna' diucapkan dengan nada yang menyiratkan 'kacau dan barbar'.
Tetua Mo, yang wajahnya sedingin batu nisan, tidak menoleh. "Kekacauan melahirkan kekuatan, Tetua Zhang. Sekte kami tidak mencari bunga di dalam rumah kaca. Kami hanya sekadar mencari besi di dalam lautan api."
"Besi?" Tetua Zhang terkekeh halus. Matanya melirik ke arah lorong masuk peserta. "Maksudmu anak bernama Ling Tian itu? Dia memang punya fisik yang menarik. Kasar dan primitif. Tapi..."
Tetua Zhang menunjuk ke arah Jiang Wuqing yang sedang berdiri tenang di pinggir lapangan.
"...di dunia kultivasi tingkat tinggi, fisik hanyalah sebuah wadah. Pemahaman akan Dao adalah isinya. Murid kalian, Jiang Wuqing... dia istimewa. Saya bisa merasakan Sword Heart-nya bergetar selaras dengan angin malam. Sayang sekali dia lahir di Sekte Pedang Langit. Jika dia di Istana Shenxiao, dia pasti sudah jadi Murid Inti Utama."
Itu adalah kalimat hinaan halus seakan berkata 'Murid terbaik kalian seharusnya jadi milik kami.'
Tetua Tie (Kepala Divisi Penempaan) yang duduk di barisan belakang mendengus kasar. Dia masih kesal karena murid Istana Shenxiao menghina senjatanya kemarin.
"Jangan terlalu yakin, Pak Tua Petir," gerutu Tetua Tie sambil mengelus gagang palunya. "Teknik memang penting. Tapi ada kalanya, satu hantaman palu godam lebih efektif daripada seribu tusukan jarum. Anak Ling Tian itu membawa Embrio Pedang Void temuanku. Itu bukan senjata yang bisa dipegang oleh orang yang cuma mengandalkan 'teknik cantik'."
Di belakang para tetua, generasi muda Istana Shenxiao juga berbisik.
Lei Hao, yang tangan kanannya masih dibalut perban akibat mencoba mengangkat pedang Ling Tian kemarin, menatap arena dengan tatapan dendam bercampur neri.
"Kakak Senior Xueya," bisik Lei Hao pada gadis di sebelahnya. "Menurutmu siapa yang akan menang?"
Xueya duduk diam. Wajahnya yang biasanya sedingin es kini terlihat sedikit... terganggu. Pikirannya melayang pada percakapan di ruang medis tadi. Pada bau darah bakar di tangan Ling Tian, dan diagnosis mengejutkan pemuda itu tentang penyakitnya.
"Jiang Wuqing sempurna secara teknis," jawab Xueya pelan, matanya tidak lepas dari lorong gelap tempat Ling Tian akan keluar.
"Tapi?" desak Lei Hao.
"Tapi Ling Tian..." Xueya menyentuh dadanya sendiri tanpa sadar, tempat di mana racun dinginnya bersarang. "...Ling Tian bertarung seolah dia tidak punya hari untuk esok. Orang yang tidak takut mati adalah musuh yang paling sulit dibunuh."
"Cih," Lei Hao meludah kecil. "Dia cuma beruntung bisa menelan racun mayat itu. Jiang Wuqing akan memotongnya jadi dua sebelum dia sempat mengangkat besi rongsokan itu."
Xueya tidak menjawab. Dalam hati, dia tahu satu hal yang orang lain tidak tahu 'Tangan Ling Tian telah terbakar parah. Dan dia bertarung dengan kondisi tersebut.'
Gong besar di menara utara dipukul tiga kali.
DUM... DUM... DUM...
Getarannya merambat melalui lantai batu, membungkam ribuan suara di tribun dan suasana menjadi hening seketika. Angin malam berhembus kencang, membawa debu berputar-putar di tengah panggung.
Wasit Utama yang seorang pria paruh baya dengan bekas luka bakar di lehernya berjalan ke tengah arena. Suaranya diperkuat Qi, memecah kesunyian malam.
"HADIRIN SEKALIAN!"
"KITA TELAH MENYAKSIKAN RIBUAN PEDANG PATAH HARI INI!"
"KITA TELAH MELIHAT DARAH, KERINGAT, DAN BAHKAN RACUN MAYAT!"
"TAPI HANYA ADA DUA NAMA YANG TERSISA!"
Wasit menunjuk ke gerbang timur. Gerbang yang terbuat dari kayu cendana ukir, terlihat elegan dan bersih.
"DARI DIVISI TIMUR! PUTRA DARI JENDRAL PERBATASAN! JENIUS YANG MENOLAK JALUR MUDAH DEMI MENEMPA JALANNYA SENDIRI!"
"SANG PEDANG AIR... JIANG WUQING!"
WUSH!
Tidak ada suara langkah kaki. Sosok Jiang Wuqing seolah melayang keluar dari gerbang.
Dia mengenakan jubah putih bersih dengan pinggiran biru laut. Rambut hitamnya diikat rapi, berkibar pelan. Wajahnya tampan, tenang dan tanpa emosi berlebihan. Di pinggangnya, tergantung sebilah pedang ramping dengan sarung putih gading yang indah.
Dia tidak berjalan normal namun langkahnya seakan mengalir. Setiap langkahnya selaras dengan hembusan angin malam, seolah alam semesta memberinya jalan.
"JIANG WUQING! JIANG WUQING!"
Separuh stadion berteriak histeris. Para murid perempuan melempar sapu tangan. Para murid laki-laki menatap dengan kekaguman murni. Inilah definisi kultivator ideal. Tampan, kuat, juga elegan.
Jiang Wuqing berhenti di tengah panggung. Dia membungkuk hormat ke arah Tetua, lalu berdiri diam menunggu lawannya. Tenang seperti permukaan danau di pagi hari.
GONG!
Suara gong terakhir berbunyi, menandakan akan dimulainya bentrokan dua takdir yang akan mengguncang Benua Utara.