DALAM PROSES REVISI
"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Tidak akan Melepaskan
"Aku tidak akan melepaskanmu, Cassie. Tunggulah aku."
Bram berdiri diam di tengah keramaian bandara, tubuhnya kaku, matanya kosong menatap layar keberangkatan. Nama Cassie tertera jelas di sana, lengkap dengan tujuan penerbangannya: New York, Amerika Serikat. Dunia seolah berhenti berputar baginya. Ia menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke dinding kaca besar yang menghadap landasan.
"Maafkan aku, Cassie..." gumamnya pelan, seolah berharap angin akan membawa kata itu menyusul langkah perempuan yang baru saja meninggalkannya.
Namun Bram tahu, ini bukan akhir. Ia hanya memberi ruang—dan waktu. Tapi hatinya telah bulat. Ia akan memperbaiki segalanya. Dengan atau tanpa kesempatan kedua.
Entah di akan mendapatkannya atau justru terpuruk begitu dalam pada hubungan yang memang tidak sehat sejak awal.
Kemudian, Kabar kehamilan Cassie datang bagaikan kilat di siang bolong. Jessie, kakak Cassie yang mencurigai perubahan sikap sang kakak, diam-diam memasuki kamar Cassie kemudian menemukan alat test pack.
Tanpa pikir panjang, Jessie langsung memberitahukan Bram. Dia berharap Cassie tidak akan mengambil tindakan impulsif kali ini. Bram telah menunjukkan tekadnya dengan membuktikan anak yang dikandung Riana bukanlah anaknya.
"Bram, kau harus tahu ini. Cassie hamil. Tapi dia tidak ingin siapa pun tahu. Bahkan, kami tidak tahu kehamilannya.
Suara Jessie terdengar serak melalui telepon. Bram terdiam di seberang, jantungnya berdentum keras.
"Apa? Hamil...?"
"Ya. Dia pergi bukan untuk melarikan diri. Dia hanya ingin menenangkan diri. Mungkin... menyembunyikan ini semua dari kita."
Itu cukup. Hanya itu yang Bram butuhkan untuk mengemasi semua niatnya menjadi tindakan nyata.
Ia menyerahkan posisi CEO yang baru saja dipercayakan padanya oleh sang ayah. Adrian sempat terdiam lama ketika Bram mengembalikan berkas itu, lalu berkata, "Aku harus mengejarnya. Bukan demi penyesalan, tapi karena aku tak bisa hidup tanpa Cassie."
Adrian hanya mengangguk pelan. "Lakukan apa yang harus kau lakukan. Tapi jangan kembali sebelum kau mendapatkannya kembali."
"Biarkan saya, Reyhan menggantikan posisiku. Aku tidak apa-apa," ucap Reyhan melihat sang adik yang terus menyalahkannya atas semua yang terjadi pada Cassie.
***
New York menyambutnya dengan angin dingin dan langit abu-abu. Kota ini tidak asing baginya, tapi kali ini berbeda. Kali ini, setiap sudut terasa asing karena tidak ada Cassie di sisinya.
Bermodal informasi dari Jessie, Bram mengetahui tempat tinggal Cassie bersama Tante Lydia. Dia melihat Cassie pergi untuk mengikuti kursus memasak.
Ia tidak langsung menemuinya. Tidak ingin membuat Cassie merasa terganggu. Ia hanya duduk di kafe kecil seberang studio kuliner itu, setiap hari, hanya untuk melihat senyum Cassie dari jauh.
Hari-hari berlalu. Cassie mulai terbiasa dengan hidup barunya. Dapur menjadi pelariannya. Ia kembali menemukan semangat hidup dari aroma kayu manis dan cokelat leleh.
Salah satu instruktur di kelas itu, Chef Kevin, perlahan menjadi teman dekat. Pria itu ramah, sabar, dan punya cara menenangkan yang halus.
"Cassie, kamu punya tangan yang lembut. Pantas saja tiap kue buatanmu terasa istimewa," puji Kevin sambil tersenyum.
Cassie membalas dengan senyum kecil. "Mungkin karena aku memasaknya dengan sepenuh hati."
"Apakah... kamu memasak untuk seseorang?"
Cassie menatap mata Kevin sejenak, lalu menunduk sambil mengaduk adonan di mangkuknya.
"Dulu, mungkin. Sekarang? Aku memasak untuk diriku sendiri."
Di seberang jalan, Bram menyaksikan percakapan itu dari balik kaca. Dadanya sesak. Bukan karena cemburu, tapi karena Cassie tampak bahagia. Dan ia tidak yakin apakah dirinya masih bagian dari kebahagiaan itu.
Cassie melangkah keluar dari gedung kursus. Udara dingin menusuk kulit, namun hatinya hangat. Ia baru saja menyelesaikan sesi membuat kue pernikahan, dan entah kenapa, pikirannya kembali pada hari ia dan Bram menikah dulu.
Langkahnya terhenti saat sebuah mobil hitam berhenti di depannya.
Bram keluar dari dalam mobil, wajahnya lelah tapi penuh harap.
"Cassie..."
Perempuan itu terkejut, tapi dengan cepat menenangkan diri. Ia menatap Bram tajam.
"Kenapa kamu di sini?"
"Karena aku tidak bisa hidup tanpamu. Karena aku tahu... aku sudah gagal menjaga kamu. Tapi beri aku satu kesempatan saja untuk memperbaikinya."
Cassie menghela napas. "Aku pergi bukan untuk dihentikan, Bram. Aku pergi untuk ketenanganku sendiri. Kamu sejak awal, sudah memilih Raina."
Bram menggeleng keras. "Tidak. Aku hanya merasa bersalah. Aku pikir aku menghancurkan hidupnya. Tapi kamu adalah satu-satunya perempuan yang kucintai, Cassie. Bukan dia. Bukan siapa pun."
"Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya sejak awal? Mengapa kamu menyakitiku, Bram!"
"Karena aku bodoh! Karena aku takut mengingat rasa sakit kehilangan anak kita! Tapi sekarang, aku tahu. Aku ingat semuanya. Dan aku tahu, aku mencintaimu."
Cassie menunduk. Air matanya jatuh tanpa suara.
"Aku hamil, Bram."
Bram mendekat, terhenyak. "Apa...?"
"Dan aku ingin membesarkan anak ini dengan tenang. Aku tidak ingin anakku tumbuh di antara cinta yang dipaksakan."
Bram berlutut di hadapannya, di trotoar yang dingin dan sibuk.
"Cassandra Wijaya, izinkan aku mencintaimu lagi. Bukan karena rasa bersalah atau terpaksa. Tapi karena aku mencintaimu. Aku ingin menjadi ayah yang baik, suami yang pantas. Biarkan aku bersamamu, menjalani semuanya dari awal."
Cassie menatapnya. Di matanya masih ada luka. Tapi juga ada cahaya harapan.Di dalam hatinya, ia tahu, Bram telah berubah. Namun, bisakah cinta itu tumbuh kembali?
Pada akhirnya, Cassie meminta waktu untuk berpikir. Cassie duduk di depan jendela apartemennya, menatap lampu kota. Di tangannya ada satu lembar surat tulisan tangan.
"Aku tahu aku tidak pantas berharap. Tapi aku akan tetap tinggal di sini, di kota ini, selama kamu ada. Aku akan berada di dekatmu. Tapi jika suatu hari kamu menoleh... aku akan ada di sana. - Bram."
Cassie meremas surat itu ke dadanya. Entah mengapa, kali ini, ia tak bisa mengusir air mata yang jatuh.
"Apa yang harus kulakukan?"
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca...
Dan juga Bram sekarang sudah bisa bersikap tegas sama Raina & emaknya, setelah dia menyadari kesalahannya dan gak mudah menggapai hati cassie
Dan kamu Bram memang harus sabar dan menunggu bumil untuk membuka hati lagi?? 🤔😇😇💪💪💪
semoga bumil kali ini bisa menjalani kehamilannya dengan happy dan kerjain Bram dengan ngidammu yg menyusahkan ya calon dekbay?? 🤔😇😇
Selamat menikmati buah kebodohanmu? dan selamat berjuang menaklukan bumil yg sensitif karena hormonal dan rasa kecewanya padamu??? 🤔😇😇😇