Ini tentang sebuah perselisihan dua puluh Tahun lalu antara Atmaja dan Biantara
Mereka berperang pertumpuhan darah pada saat itu. Atmaja kalah dengan Biantara, sehingga buat Atmaja tak terima dengan kekalahannya dan berjanji akan kembali membuat mereka hancur, sehancur-hancurnya
Hingga sampai pada waktunya, Atmaja berhasil meraih impiannya, berhasil membawa pergi cucu pertama Biantara yang mampu membuat mereka berantakan.
Lalu, bagaimana nasib bayi malang yang baru lahir dan tak bersalah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skyl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 28 -Garda terdepan untuk menantuku
"Ipan juga pasti capek, enggak usah dipijat," ucap Aruna saat Kaivan memijat kakinya.
"Enggak capek kok, di kantor cuma duduk aja seharian kenapa capek coba?"
"Hmm... Yaudah enggak usah dipijat."
"Baiklah." Kaivan menghentikan pijatannya lalu memperhatikan istrinya yang tengah belajar online di ipad miliknya.
Aruna begitu bertekad untuk belajar, dia tak ingin Kaivan merasa malu punya istri sepertinya yang tak tau apa-apa. Padahal Kaivan tidak mempermasalahkan itu semua, keluarga dari suaminya pun menerimanya apa adanya.
Dari bahasa gaul, singkatan, kbb. Aruna mempelajarinya agar bahasa atau kata yang dia tau semakin luas. Ia hanya mendengarkan seseorang yang ada dalam video, sebab ia belum tau membaca.
Kaivan mendorong kepala Aruna bersandar di dadanya.
"Kalau capek istirahat aja, jangan dipaksain," ucap Kaivan saat Aruna sudah mulai tak fokus.
"Aku ngantuk."
"Yaudah yok tidur."
Mereka berdua menuju ranjang, berbaring di sana sambil berpelukan.
"Besok kamu terapi."
"Kira-kira aku bisa enggak ya seperti gadis seusiaku?"
"Bisa sayang."
"Ipan, Ipan mau punya anak?"
"Kenapa nanya itu? Saya jelas ingin memiliki anak bersama kamu, kita hidup bahagia bersama keluarga kecil kita. Tetapi bukan sekarang, kamu masih terlalu muda, kamu bisa raih apa yang kamu mau, mencoba hal yang belum kamu lakukan sebelumnya.
Aruna tersenyum. Dia sangat beruntung, beruntung banget. Ia bisa memiliki suami seperti Kaivan.
"Makasih ya, udah nerima aku apa adanya."
"Apa adanya? Kamu itu sempurna, Aruna. Sangat sempurna bagiku. Kamu tidak mempunyai kekurangan."
Aruna menghapus air matanya sendiri, ia memeluk Kaivan.
"Setelah kejadian di masalalumu yang membuatmu tertinggal jauh di belakang, ada aku yang akan membimbingmu mulai sekarang agar tak tinggal lagi ke depannya, kita sama-sama berjalan menuju masa depan kita."
Aruna mengangguk paham.
----------------
Usai terapi, Aruna merasa begitu lega setelah berbicara panjang lebar dengan psikolog. Kaivan pun turut senang.
"Mama menyuruh kita singgah, kita singgah dulu ya?"
"Iya."
Mereka pun menuju rumah orang tua Kaivan. Kebetulan di sana mengadakan arisan, jadi rumah lumayan rame.
Sesampainya mereka di rumah. Aruna mengenggam tangan Kaivan saat berjalan memasuki rumah.
"Aruna." Pharita yang tengah berbincang dengan teman-teman arisannya berseru melihat menantu dan putranya.
"Mama." Aruna mencium punggung tangan ibu mertuanya diikuti oleh sang suami.
"Ayo kita ke sana sayang, mama mau perkenalkan mantu mama yang cantik ini kepada mereka."
"Mah, papa kerja?"
"Tidak, ada di halaman belakang tuh ngasih makan burung-burungnya."
"Ipan..." Aruna memandang Kaivan, seperti tengah meminta persetujuan sang suami.
Kaivan mengangguk membuat Aruna mengikuti mertuanya untuk berkumpul dengan teman-teman Arisannya.
"Siapa jeng?"
"Menantu saya," ucap Pharita menyuruh Aruna duduk di sampingnya.
"Lah anakmu sudah punya istri toh, jeng? Saya pikir belum."
"Kapan mereka nikah kok enggak undang-undang kami? Enggak ngadain resepsi besar-besaran kah? Anak kamu kan Ceo."
"Pas akad nikah cuma keluarga yang ada, kalau resepsi kami belum mengadakan. Menantu saya lagi sakit, dia belum terlalu pulih. Setelah kondisi benar-benar membaik, kami akan mengadakan resepsi."
"Sakit? Sakit apa jeng?"
Dasar emak-emak rempong yang hobi banget kepo sama urusan orang. Pharita hanya memutar bola matanya malas.
"Mah, ini enak banget," sahut Aruna mengambil kue di meja. Ia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
"Makan yang banyak, sayang." Pharita tersenyum mengusap bahu menantunya.
"Menantunya enggak tinggal di sini, Rit? Kenapa enggak tinggal di sini aja? Kamu sudah tua, seharusnya menantu kamu merawatmu di usia tuamu bukan malah pisah rumah, kerasa banget mau miliki anak kamu sepenuhnya. Kek Anak aku sama menantuku dong tinggal di rumah, biar katanya ada yang nemenin aku tuh."
"Hm... Menantuku menikah dengan anakku untuk mengabdikan hidupnya dengan suaminya bukan malah merawatku, itu bukan kewajibannya. Lagian anak saya memiliki mansion, sebelum menikah dia memang jarang pulang, jadi bukan menantuku yang menghasutnya biar tidak tinggal di sini. Dan juga saya masih terlihat bugar kok belum sakit-sakitan tidak perlu di rawat. Mungkin kamu sudah sakit-sakitan makanya harus di rawat menantu sama anak." Ucapan Pharita membuat nyonya Pramana speechless
"Terserah kamu lah. Ini arisannya di cepat tin aja saya mau shoping sama menantuku."
"Boleh, dipercepat aja ayo."
Setelah lok arisannya selesai, mereka semua pulang.
"Mamaku hebat deh." Kaivan mengecup pipi mamanya.
Dari jauh tadi Kaivan memperhatikan mamanya yang membela menantunya mati-matian hingga membuat teman arisannya serasa diulti.
"Pokoknya kalau ada yang bicara tidak-tidak tentang rumah tangga kalian, mama maju paling depan. Enak aja moncongnya itu berbicara yang tidak-tidak tentang menantuku tersayang." Pharita mengecup pipi Aruna membuat Aruna merasa geli.