Neo terbiasa hidup dalam kekacauan.
Berantem, balapan liar, tawuran semuanya seperti rutinitas yang sulit ia hentikan. Bukan karena dia menikmatinya, tapi karena itu satu-satunya cara untuk melampiaskan amarah yang selalu membara di dalam dirinya. Dia tahu dirinya hancur, dan yang lebih parahnya lagi, dia tidak peduli.
Setidaknya, itulah yang dia pikirkan sebelum seorang gadis bernama Sienna Ivy masuk ke hidupnya.
Bagi Neo, Sienna adalah kekacauan yang berbeda. Sebuah kekacauan yang membuatnya ingin berubah.
Dan kini, dia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya akan dikirim ke Swiss jauh dari Sienna, jauh dari satu-satunya alasan yang masih membuatnya merasa hidup.
Sienna tidak terima. "Biar aku yang atur strateginya. Kamu nggak boleh pergi, Neo!"
Neo hanya bisa tersenyum kecil melihat gadis itu begitu gigih memperjuangkannya.
Tapi, bisakah mereka benar-benar melawan takdir?
Yuk, kawal Neo-Siennaꉂ(ˊᗜˋ*)♡
Update tiap jam 14.59 WIB
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CYTT(Part 27) Di Bawah Langit Zurich
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
Langit Zurich hari itu diselimuti awan kelabu. Salju turun perlahan, lembut seperti serpihan kapas yang jatuh tanpa suara. Neo berdiri di pinggir lapangan sekolah, mengenakan hoodie hitam favoritnya. Setiap embusan napas berubah menjadi uap putih yang melayang di udara dingin.
Latihan basket belum dimulai, tapi pikirannya sudah melayang jauh—ke Indonesia, ke seseorang yang diam-diam terus ia rindukan.
Dari kejauhan, terdengar langkah kaki mendekat. Neo tak menoleh. Banyak siswa sering melintas di sekitar lapangan. Tapi langkah itu berhenti, tepat di belakangnya.
“Neo?”
Neo terpaku. Suara itu begitu familiar. Perlahan, ia menoleh—dan matanya langsung membelalak.
Sienna berdiri di sana. Dengan jaket tebal, syal abu-abu yang melingkar di lehernya, dan wajah yang selama ini hanya hadir dalam bayangan. Matanya berkaca-kaca, tapi senyumnya begitu hangat.
“Hei,” sapanya pelan.
Neo seperti tak percaya. “Sienna…?”
Sienna tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat. “Surprise.”
Ia menatap Neo sambil terkekeh pelan. “Jadi... kamu nggak mau peluk aku? Atau nunggu sampai salju ini jadi es batu dulu?”
Tanpa sepatah kata, Neo langsung menariknya dalam pelukan erat—seolah dunia akhirnya kembali ke porosnya.
Di bawah butiran salju yang terus berjatuhan, mereka berdiri lama, membiarkan waktu seakan berhenti. Tak ada yang terburu-buru. Tak ada yang perlu dijelaskan.
Setelah semua yang mereka lalui—jarak, diam, rindu, dan penantian—akhirnya, mereka bertemu kembali.
Kini, mereka siap melangkah bersama. Memulai babak baru.
Salju mungkin menyamarkan jejak langkah Sienna saat tiba di Swiss, tapi tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa hatinya telah menemukan jalan pulang.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Neo tersenyum dengan tenang. Karena kini, Sienna benar-benar ada di sini. Bersamanya.
Perlahan, pelukan itu akhirnya terlepas. Tapi tangan Neo masih menggenggam lengan Sienna, seolah ingin memastikan bahwa gadis itu benar-benar berdiri di hadapannya—bukan sekadar bayangan rindu.
“Gimana bisa… kamu ada di sini?” tanya Neo pelan, nadanya penuh ketidakpercayaan.
Sienna tersenyum, mengangkat bahu ringan. “Naik pesawat, enam belas jam perjalanan, dua kali transit… makanya aku bisa ada di sini,” jawabnya santai. Namun matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam—keteguhan, keberanian, dan cinta yang tak lagi ragu.
Neo mengerjap, masih berusaha mencerna semua yang terjadi. “Tapi... kamu nggak bilang apa-apa. Aku pikir kamu…”
“Aku butuh waktu,” potong Sienna lembut. “Bukan cuma untuk meyakinkan Papa dan Mama... tapi juga buat meyakinkan diriku sendiri. Dan setelah aku yakin, aku tahu satu hal—aku harus ke sini.”
Neo menghela napas pendek, lalu tertawa kecil sambil menggeleng. “Kamu selalu tahu cara bikin kejutan.”
Sienna mengangkat alis, menggoda. “Kejutan yang kamu suka, kan?”
Neo menatapnya lekat, tanpa senyum, tapi hangat. “Bukan cuma suka… aku butuh ini. Aku butuh kamu.”
Hening menyelimuti mereka. Tak ada kata yang diucap, hanya salju yang terus turun perlahan, mengisi ruang di antara dunia yang sempat terpisah. Tapi kini, dua hati itu berdiri bersama—di tempat yang sama, untuk alasan yang sama.
Neo menoleh sejenak ke arah lapangan yang mulai ramai oleh siswa-siswa berseragam olahraga. Dari kejauhan, peluit pelatih terdengar samar, memanggil para anggota tim untuk berkumpul.
Biasanya, saat itu juga Neo akan bergegas—menyusul jadwal padat yang sudah disusun rapi oleh sang ayah, teratur, disiplin, dan tak bisa diganggu.Tapi hari ini berbeda.
Hari ini, ada Sienna.
“Aku harusnya latihan sekarang,” ucap Neo pelan, seolah mengingatkan dirinya sendiri. Tapi langkahnya tak beranjak.
Sienna menatapnya, penuh pengertian. “Kalau kamu harus pergi, nggak apa-apa. Aku bisa—”
“Nggak,” potong Neo cepat. Ia menoleh padanya, senyumnya tipis tapi tegas. “Latihan bisa besok. Tapi kamu… kamu baru sekali datang.”
Sienna terdiam, terkejut—karena ia tahu betul apa arti keputusan itu bagi Neo.
“Papa kamu pasti bakal marah,” ucapnya hati-hati.
Neo hanya mengangkat bahu. “Biarin. Untuk sekali ini, aku mau jadi pacar yang sempurna untuk pacar aku.”
Sienna tertawa pelan, lalu mendekat dan menggamit lengan Neo. “Kalau begitu... kamu mau ajak aku ke mana?”
Neo menatapnya sebentar, lalu tersenyum lebih lebar. “Ke tempat yang bisa bikin kamu merasa hangat."
Neo dan Sienna melangkah pelan melewati halaman sekolah yang mulai sepi. Salju tipis turun seperti debu putih yang lembut, menyisakan jejak kaki samar di permukaan tanah yang membeku. Tak banyak kata terucap, hanya bunyi langkah dan desir angin yang menemani perjalanan mereka.
Tanpa menjelaskan banyak hal, Neo terus melangkah keluar dari area sekolah. Sienna menoleh beberapa kali, heran namun tak resah.
“Kita mau ke mana?” tanyanya lembut, membiarkan udara dingin menyapu pipinya yang mulai memerah.
Neo menoleh sekilas, tersenyum kecil. “Ke tempat yang biasanya cuma jadi tempat istirahat... tapi hari ini, aku pengin kamu lihat.”
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah gedung tinggi di pinggir kota. Arsitekturnya modern, dinding-dinding kaca besar memantulkan langit Zurich yang kelabu. Tanpa ragu, Neo menekan kode akses, dan pintu lift terbuka dengan suara lembut.
Penthouse itu berada di lantai paling atas. Begitu pintu terbuka, Sienna disambut ruangan luas dengan interior minimalis elegan. Jendela-jendela besar menghadap ke lanskap kota yang tertutup salju, membentangkan pemandangan yang tenang dan indah. Langit kelabu terasa menenangkan, dan udara di dalam ruangan terasa jauh lebih hangat—mungkin karena kehadiran seseorang yang ia rindukan.
Sienna berdiri di dekat jendela, memeluk cangkir cokelat panas yang Neo sodorkan padanya. Uap hangat mengepul pelan, menghangatkan jari-jarinya yang dingin.
“Tempat ini…” gumam Sienna pelan, matanya masih menatap ke luar, “lebih tenang dari yang aku bayangkan.”
Neo, yang kini duduk di sofa tak jauh darinya, menatap gadis itu dengan senyum tipis. “Papa yang pilih tempat ini. Katanya biar aku bisa fokus belajar, jauh dari gangguan.”
Sienna menoleh dan tersenyum geli. “Tapi sekarang ada aku. Gangguan dalam bentuk manusia.”
Neo terkekeh pelan. “Gangguan paling aku tunggu.”
Sejenak, suasana hening. Tapi itu bukan hening yang canggung—melainkan hening yang nyaman, yang hanya bisa dirasakan oleh dua orang yang saling mengenal hati satu sama lain.
“Aku masih belum percaya kamu beneran di sini,” kata Neo akhirnya. “Bukan di balik layar, bukan cuma lewat pesan.”
Sienna menatapnya, lalu perlahan melangkah mendekat. Ia duduk di sampingnya, meletakkan cangkir di meja, lalu bersandar pelan.
Kepala Sienna bersandar pelan di bahu Neo. Dalam keheningan itu, waktu seolah berhenti. Tak ada bunyi peluit pelatih, tak ada jadwal latihan, tak ada tekanan dari Papa. Hanya ada mereka berdua—di dalam ruangan sunyi yang terasa hangat oleh kehadiran.
Neo menggenggam tangan Sienna yang terletak di pangkuannya. Genggaman itu tenang, namun sarat makna. “Kalau suatu saat kamu nyesel,” ucapnya pelan, “kita bisa cari jalan lain.”
Sienna menatapnya, dalam dan yakin. “Neo, aku datang bukan untuk menyesal. Aku datang untuk tinggal.”
Kalimat itu membuat dada Neo menghangat. Ada sesuatu yang mengalir pelan dalam dirinya—lega, haru, dan cinta yang selama ini tertahan. Ia tak menjawab, hanya memejamkan mata, membiarkan kehadiran Sienna mengisi ruang-ruang sunyi yang dulu hanya bisa ia temui lewat layar.
Lalu, suara notifikasi dari ponsel memecah keheningan.
Neo menggapai ponselnya di atas meja. Di layar, sebuah pesan dari Papa muncul:
"Latihan! Kenapa kamu belum datang?"
Neo menatap pesan itu sejenak, lalu mengunci layar tanpa membalas.
Sienna melihatnya dan bertanya pelan, “Papa kamu?”
Neo mengangguk ringan. “Iya. Tapi nanti aku jelaskan.”
Sienna menggenggam jemarinya, lembut dan penuh perhatian. “Kamu yakin?”
Neo menoleh menatapnya, senyumnya tenang. “Untuk yang ini... aku sangat yakin.”
Keduanya kembali diam, tapi bukan karena ragu. Hening kali ini adalah hening yang menyatukan. Hening yang hanya hadir saat dua hati akhirnya sepakat untuk saling tinggal, bukan lagi menunggu.
Di balik jendela besar penthouse yang menghadap Zurich berselimut salju, dua jiwa yang dulu dipisahkan oleh waktu dan jarak, kini kembali berdampingan. Bukan lagi lewat layar, bukan lagi dalam penantian—tapi nyata, dan utuh.
»»——⍟——««
Hallo semua✨
Sebelum makasih udh mampir🐾
Buat yg suka cerita aku mohon dukungannya ya, biar aku semangat updatenya💐
Dan jangan lupa follow akun ig aku @nuna.leo_ atau akun tiktok aku @im.bambigirls. Karena disana aku bakal post visual dan beberapa cuplikan.
Oke see you semua!(◠‿◕)