"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15
Langit malam di atas istana Agniamartha dipenuhi awan kelabu yang bergerak perlahan, seolah menandakan datangnya sesuatu yang tak biasa. Cahaya rembulan berusaha menembus celah awan, menerangi lantai marmer yang kini terpantul bayangan samar dari dalam ruang utama istana.
Di sudut ruangan, Ishika berdiri sambil menatap Lira yang terduduk gemetar, matanya kosong dan nafasnya terengah. Ia terlihat seolah sedang tenggelam dalam kenangan yang menyakitkan.
"Guru, apa yang sebenarnya terjadi," tanya Ishika dengan suara pelan, namun tegas. Ia berjalan mendekat, berlutut di hadapan gadis itu. "Guru terlihat seperti... melihat kejadian kelam dari masa lalu."
Lira menoleh perlahan, matanya berkaca-kaca, lalu mencengkeram lengan Ishika. "Aku... aku ingat semuanya..." bisiknya lirih. "Api... darah... suara jeritan itu masih terngiang di telingaku, Ishika! Aku tidak tahan... aku tidak tahan!"
Ishika segera memeluk Lira erat, mencoba menenangkan tubuhnya yang mulai menggigil hebat. "Tenang... tenangkan diri Guru. Tarik napas dalam-dalam. Guru aman di sini. Tak akan ada yang bisa menyakiti Guru. Ada aku di sini!"
"Kenapa Guru tiba-tiba seperti ini?" batin Ishika penasaran. "Sosok guru yang terlihat kuat kenapa bisa mendadak jadi begini?"
Namun sebelum sempat berkata lebih jauh, tubuh Lira tiba-tiba terkulai. Nafasnya melambat dan matanya menutup.
"Guru!" seru Ishika panik. Ia cepat-cepat memeriksa denyut nadinya. Masih ada. Ia hanya pingsan.
Tanpa pikir panjang, Ishika segera menggendong tubuh lemah Lira dalam pelukannya. Hatinya kacau. Ia harus membawanya ke kamar agar bisa beristirahat. Langkahnya cepat namun tetap berhati-hati, menyusuri lorong megah istana Agniamartha yang malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya.
"Bersabarlah, Guru..."
Sementara itu, jauh dari istana, Lingga menapaki jalan setapak menuju hutan lebat. Dedaunan kering berderak di bawah telapak kakinya. Embusan angin malam menggesek pucuk-pucuk pepohonan, membawa suara bisikan yang nyaris tak terdengar.
Pikirannya kacau. "Salma..." gumamnya, menatap langit yang diselimuti awan. "Kenapa harus aku saja yang pergi meninggalkan istana? Kenapa kamu tidak bisa ikut? Apa aku bisa hidup di dunia asing seperti ini?"
Setelah berjalan cukup jauh, Lingga akhirnya menemukan sebuah pohon raksasa dengan akar yang mencuat ke permukaan tanah. Ia bersandar, membiarkan tubuhnya yang kelelahan beristirahat. Udara malam menggigit kulit, menusuk lewat celah jubah sihir yang membungkus tubuhnya.
"Aduh, capek banget jalan dari tadi. Sebaiknya aku istirahat dulu sebentar sebelum melanjutkan perjalanan."
Tak disadarinya, di antara rimbunnya semak, sepasang mata merah menyala mengamati gerak-geriknya. Sosok itu bergerak cepat, nyaris tak terdengar—seperti bayangan yang menari di atas kegelapan.
Swush!
Denyut mendadak di jari Lingga membuatnya terjaga. Cincin peninggalan Bethari Syaidra bergetar kuat, seakan memberi peringatan.
"Ada apa ini...?" bisik Lingga. Ia berdiri tergesa, matanya menatap tajam ke sekeliling.
Dari balik kabut, makhluk tinggi besar tiba-tiba melangkah keluar. Kulitnya merah tua, sepasang tanduk melengkung dari kepala, dan taring-taring tajam mencuat dari mulutnya yang menyeringai bengis.
"Graaaahh!" geramnya menampakkan gigi-giginya yang tajam.
Lingga terperangah. "Apa-apaan ini?! S-sosok apa itu?!"
"Graahhh! Akhirnya aku bisa makan malam!" ujar makhluk itu sesekali menjulurkan lidahnya.
Makhluk itu meraung pelan dan seketika melesat ke arahnya. Lingga berusaha kabur, namun cakar tajam makhluk itu mencengkeram pundaknya. Ia menjerit, rasa sakit menusuk hingga ke tulang.
"ARGH! SIALAN!"
Berusaha melawan, Lingga mengambil ranting besar dan menghantamkannya ke kepala makhluk itu. Namun, seperti memukul batu, makhluk itu tak bergeming.
"Kenapa cincin ini diam aja di saat-saat genting kayak gini sih?!" teriaknya putus asa.
Ia menggertakkan gigi, mengingat kembali perkataan Syaidra. "Cincin itu bukan untuk membunuh. Ia hanya akan bertindak bila kau hadapi jiwa yang akan dicuri."
Makhluk itu mengayunkan cakarnya. Lingga terpental, menghantam batang pohon dengan suara keras. Darah mengalir dari pelipisnya.
"Urgh…" desah Lingga, hampir kehilangan kesadaran. "Bodoh... aku terlalu ceroboh..."
Makhluk itu menyeringai puas, mendekati tubuh Lingga yang kini terkapar tak berdaya.
"A-apa aku akan mati di sini?" batinnya tak terima.
Sraaaak!
Namun sebelum makhluk itu sempat menyentuh kaki Lingga, sebuah kilatan cahaya merah tiba-tiba menghantam bahunya. Makhluk itu meraung murka dan menoleh cepat.
Dari balik bayang-bayang, sosok pria tinggi muncul. Rambutnya panjang terurai, pakaiannya seperti pendekar dari negeri timur jauh. Pelindung dada dari besi yang ia kenakan terlihat mengilap di bawah sinar rembulan, dan di tangannya tergenggam pedang tipis memancarkan aura merah menyala.
"Akhirnya kutemukan kau," ucap pria itu dingin.
Makhluk itu meraung dan melompat menerjang. Pria itu sigap menghindar, membalas dengan tebasan cepat. Cahaya merah dari pedangnya melesat seperti kilat, membelah udara.
Benturan keras terjadi saat taring dan pedang saling beradu. Hutan itu kini bergema oleh suara pertarungan sengit.
Lingga yang terkapar, sempat membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, namun ia masih sempat melihat sosok misterius itu bertarung demi menyelamatkannya.
"Urgh...! S-siapa itu?" erang Lingga sebelum akhirnya tenggelam dalam gelap tak sadar.
Udara malam semakin membeku. Angin menderu dari celah-celah pepohonan raksasa yang berdiri seperti raksasa penjaga zaman purba. Di tengah hutan itu, dentingan besi dan pekikan amarah menggema memecah sunyi.
Sosok pendekar misterius itu menebaskan pedangnya berkali-kali, menciptakan kilatan merah setiap kali bilahnya bertemu udara. Lawannya, makhluk tinggi besar dengan kulit merah dan sepasang tanduk melengkung, mencakar dan menyerang dengan garang.
"Aku tak akan membiarkanmu merajalela lagi, Gandhara!" teriak pendekar itu lantang, matanya menyala penuh tekad.
Makhluk itu, Gandhara, hanya mendesis pelan, lidahnya menjulur keluar seperti ular. "Kau... pengecut yang memihak manusia rupanya. Asal kau tahu, mereka yang membuatku jadi seperti ini!"
"Jangan salahkan manusia atas kejatuhanmu! Kau menukarkan nuranimu demi kekuatan yang kotor dan gelap!" balas sang pendekar sambil kembali menerjang.
"Banyak omong kau!" sergah sosok mahluk yang dipanggil Gandhara itu.
Setiap sabetan pedangnya seolah menorehkan luka pada udara. Benturan antara dua kekuatan itu membangunkan burung-burung malam dari tidurnya. Daun-daun berjatuhan, dan tanah berguncang ringan.
Dari salah satu dahan pohon yang tinggi dan lebat, sepasang mata mengamati dengan tajam.
"Siapa dia? Ia… cukup tampan, tapi nampaknya juga berbahaya," gumam Ishika pelan. Tubuh mungilnya tersembunyi sempurna di antara dedaunan. "Dan itu… apa itu Lingga?"
Ia menyipitkan mata, memastikan sosok yang terkapar tak bergerak di bawah sana. Luka di punggung Lingga menghitam, seolah terpapar racun. Ishika menghela napas lega.
"Seperti memang dia yang guru maksud. Dilihat dari ciri-ciri dan wajahnya. Hmm, bagus. Aku tak perlu turun tangan. Kalau dia mati, berarti tugasku selesai."
Namun pandangan Ishika kembali ke medan laga. "Pria itu... dia bukan pria sembarangan. Auranya cukup mengintimidasi dan tajam, seperti penuh pengalaman. Mungkin dia lebih kuat dariku. Kalau aku ikut campur sekarang, bisa-bisa aku yang habis duluan."
Sementara itu, pendekar misterius itu melompat ke udara dan dengan satu gerakan memutar, ia menebas Gandhara secara vertikal. Cahaya merah gelap meledak seiring tebasan itu.
"Mati kau, makhluk hina!"
BRUAAKKK!!!
"Gruaaahhh! B-bangsat kau, manusia rendahan!"
Tubuh Gandhara terbelah dari bahu hingga perut. Darah hitam memercik ke segala arah. Makhluk itu mengerang keras sebelum akhirnya roboh dan mati, mengeluarkan suara terakhirnya seperti jeritan setan yang terbakar.
Pendekar itu menarik napas dalam-dalam, menancapkan pedangnya ke tanah.
"Akhirnya... kau terbebas dari penderitaanmu, Gandhara," bisiknya, lirih namun tegas.
Namun tiba-tiba, ia menoleh cepat ke arah pohon tempat Ishika bersembunyi. Tatapannya cukup tajam, menusuk seperti tombak tak terlihat. Ishika membeku. Matanya membesar.
"Siapapun dirimu, keluarlah!"
***