Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?” tanya Nadia.
“Tidak akan mungkin itu terjadi,” sarkas Yudha.
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya sebatas ranjang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1. Carilah Wanita Lain
Carilah Wanita Lain
Untuk kesekian kalinya, hasratnya harus kembali terbendung. Yudha duduk di tepi tempat tidur, memegangi kepalanya yang terasa pusing. Sudah hampir setahun lamanya, hasratnya tak pernah terpuaskan karena Maura tidak bisa memenuhinya dengan baik.
“Sayang, maafkan aku,” kata Maura sambil memeluk Yudha, lalu menyandarkan kepalanya pada punggung suaminya yang kekar. Ini sudah kesekian kalinya Maura mengecewakan Yudha. Setiap kali mereka bercinta, selalu berakhir dengan kegagalan.
Penyakit yang diderita Maura membuatnya tidak bisa melayani suaminya dengan baik. Hampir setiap kali mereka berhubungan intim, selalu ada rasa sakit yang muncul di area kewanitaannya. Tujuh tahun pernikahan mereka belum juga dikaruniai seorang anak.
“Ayo sayang, kita coba sekali lagi,” ajak Maura, berusaha menyembuhkan kekecewaan Yudha meskipun ia harus menahan sakit demi kenyamanan.
Yudha menolak ajakan itu. “Sudahlah, aku tidak ingin menyakitimu,” katanya.
Selain khawatir melihat istrinya kesakitan, Yudha sebenarnya juga telah kehilangan selera.
“Aku akan berusaha menahannya, sayang,” kata Maura.
Yudha melerai tangan Maura dari pinggangnya, lalu menoleh. “Tidak perlu, Ra. Aku tidak mau melihat kamu kesakitan. Meskipun aku sangat menginginkannya, tapi jika itu bisa menyakitimu, lebih baik kita tidak melakukannya.”
“Tapi aku ingin sekali menyenangkan kamu, sayang. Aku merasa kecewa dan tidak berguna sebagai istri karena tidak bisa memenuhi kewajibanku.” Sudah berkali-kali hal seperti ini kerap terjadi. Percintaan mereka selalu saja gagal lantaran rasa sakit yang ia rasakan pada area kewanitaannya. Hal itu juga sering membuatnya kecewa lantaran tak bisa melayani suaminya dengan baik.
“Kemarin kamu ketemu Rizal, kan? Apa katanya?” Mendadak Yudha mengalihkan topik.
Maura langsung lesu. Kekecewaan mendalam pun ia rasakan ketika tak bisa memenuhi kewajibannya. Sebagai istri ia merasa tak sempurna.
“Ra ...” panggil Yudha.
“Aku disarankan melakukan kemo.” Setelah operasi histerektomi atau pengangkatan rahim yang dilakukannya setahun lalu, Maura pikir penyakitnya sudah sembuh. Sehingga ia sedikit mengabaikan dan memilih kembali pada pekerjaannya dahulu.
Namun, ternyata sel-sel kanker sudah menyebar ke bagian tubuh yang lain. Maura berusaha menyembunyikan fakta ini dari Yudha karena tak ingin Yudha mengkhawatirkan dirinya. Dan ia juga tak ingin melihat Yudha bersedih.
Bagi Maura, kebahagiaan Yudha adalah yang terpenting. Ia sudah mencintai Yudha sejak lama. Bisa menikahi Yudha ia anggap sebagai sebuah keberuntungan untuknya.
“Lagi? Trus kapan kemoterapinya di mulai?”
“Tergantung aku kapan siapnya.”
“Sudah separah itukah? Kenapa kamu tidak memberitahu hal ini padaku? Kamu anggap apa aku ini, Ra? Hal sepenting ini malah kamu rahasiakan dariku?” Gurat wajah Yudha menunjukkan ada amarah yang berusaha ia redam. Satu hal yang tidak ia suka dari Maura adalah sering menyimpan rahasia. Hal itu bahkan terkadang menjadi sumber pertengkaran diantara mereka, karena Maura yang selalu menyembunyikan sesuatu darinya.
“Tidak, sayang. Tidak separah itu. Dokter menyarankan kemo hanya untuk penanganan lanjut. Aku baik-baik saja kok, sayang. Jangan khawatir.”
“Trus apa setelah kemo yang kedua kali apa kamu akan benar-benar sembuh?”
Maura mengangguk. Ia berusaha menahan tangisnya. Sekuat hati ia selalu meyakinkan diri jika ia akan sembuh total dari penyakit itu. Walaupun sebenarnya kemungkinan itu sangat kecil.
“Apa kamu pikir aku ini bodoh, Ra?” Yudha sudah mengikhlaskan kandungan Maura sudah diangkat. Ia juga sudah mengubur dalam-dalam keinginannya untuk memiliki keturunan. Baginya, asalkan Maura selalu ada bersamanya semua akan baik-baik saja. Meski kadang ia dikecewakan.
Maura menggeleng. “Tidak. Aku tidak pernah menganggap kamu seperti itu.”
“Lalu kenapa kamu tidak pernah memberitahuku?”
“Karena memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. I am fine. Aku tidak apa-apa, sayang. Ini cuma pengobatan lanjutan.” Maura mengembangkan senyumnya, berharap kemarahan Yudha sedikit mereda. Walaupun dalam hatinya juga sebenarnya ia marah. Marah pada dirinya sendiri yang tidak sempurna sebagai seorang wanita.
Maura tahu, Yudha sangat menginginkan kehadiran seorang anak. Sejak awal menikah, Yudha sudah mengutarakan keinginannya itu.
Sebagai istri, Maura pun menginginkan hal yang sama. Ia bahkan sudah berniat untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang model demi memenuhi keinginan Yudha.
Namun sayang, sebelum keinginan itu terwujud Tuhan malah mengambil kebahagiaan itu darinya. Nadia tak pernah mengira ia akan mengidap penyakit kanker yang akhirnya merenggut rahimnya, satu-satunya harapan yang bisa mewujudkan keinginan Yudha.
Merasa dibohongi, Yudha lantas berdiri hendak ke kamar mandi. Tetapi langkahnya terhenti saat sepasang lengan Maura melingkari pinggangnya.
“Maafkan aku, sayang. Maafkan aku yang tidak bisa menjadi istri yang sempurna buat kamu. Maaf aku sudah mengecewakanmu sampai sedalam ini,” ujar Maura dengan lembut dan penuh penyesalan.
Walaupun selama ini Yudha tidak pernah menuntut, bahkan tidak pernah lagi membahas tentang anak, tetap saja Maura merasa sangat bersalah. Sebab hadirnya seorang anak merupakan sebuah pelengkap kebahagiaan dalam rumah tangga mereka.
Terlebih lagi, Yudha merupakan putra semata wayang keluarga Adyatama, pemilik Hotel King Queen. Salah satu hotel berbintang di kota ini.
Keluarga Adyatama sudah sangat mengharapkan cucu sebagai penerus garis keturunan. Tetapi sayang harapan mereka itu tidak akan pernah bisa Maura wujudkan.
“Kamu bukan tidak sempurna, Ra. Tapi Tuhan yang tidak mengijinkan kita menjadi orangtua,” kata Yudha sembari menurunkan kedua lengan Maura, kemudian memutar tubuhnya.
“Jangan pernah ungkit soal ini lagi. Kita sudah sepakat untuk tidak membahasnya,” tambahnya mengingatkan Maura tentang kesepakatan diantara mereka untuk tidak pernah lagi membahas tentang anak.
Pernah Maura mengusulkan agar Yudha menikah lagi demi memperoleh keturunan. Tapi Yudha menolaknya mentah-mentah. Satu kekurangan Maura ini tidak akan menjadi alasan untuk Yudha menduakan Maura.
“Tapi aku tahu, di lubuk hatimu yang paling dalam kamu masih menginginkan itu bukan?”
Yudha tak menjawab. Hanya helaan napas panjangnya yang terdengar.
“Kehadiran seorang anak akan menjadi pelengkap kebahagiaan kita, Yud. Itu juga yang akan menjadi pelengkap sempurnanya kamu sebagai suami. Walaupun kamu tidak pernah cerita padaku, tapi aku tahu gimana perasaan kamu, Yud. Karena itu juga yang aku rasakan sekarang.”
“Ada atau tidak adanya seorang anak, apakah kita tidak bahagia? Sejauh ini kita masih bahagia, Ra. Lagipula, apa bedanya kita punya anak atau tidak. Yang terpenting buat aku adalah kita masih sama-sama. Dengan kamu masih ada buat aku sampai hari ini pun aku sudah cukup bahagia, Ra.”
“Please, jangan bohongi diri kamu sendiri, Yud. Jangan dustai hatimu sendiri. Aku tahu kamu merasa pernikahan kita ini tidak lengkap.”
“Stop bahas tentang ini, Ra. Aku capek.” Yudha melangkah menuju kamar mandi di pojok ruangan. Maura menyusul di belakangnya.
“Aku cuma mau menawarkan solusi buat kita, Yud,” kata Maura.
“Jangan solusi yang itu lagi. Aku muak.” Yudha memang sudah muak dengan solusi yang selalu ditawarkan Maura. Dengan menikah lagi ia merasa hal itu malah akan menyakiti hati Maura. Walaupun berkali-kali Maura berkata dia sudah ikhlas.
“Cuma itu satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian kita.”
“Bukan kita, tapi kamu. Kalau kamu memang benar ingin kita punya anak, tinggal adopsi saja. Gampang kan? Buat apa harus menikah lagi?” Yudha tersulut emosi. Dengan Maura memintanya menikah lagi sama saja Maura ingin mereka berpisah. Sedangkan ia tidak pernah menginginkan hal itu terjadi.
“Tapi keluargamu butuh darah dagingmu sendiri. Bukan darah daging orang lain. Aku ikhlas, Yud. Aku siap dimadu.”
“Omong kosong. Selain menikah lagi, apa tidak ada solusi lain yang bisa kamu tawarkan? Solusi yang lebih masuk akal, yang tidak akan menyakiti kita berdua, tidak akan menyakiti banyak orang?”
Maura menggeleng. “Tidak ada. Hanya itu satu-satunya jalan keluar. Carilah wanita lain yang lebih sempurna dariku. Aku ikhlas.”
-To Be Continued-
ngomong rindu tp giliran diladeni ngomong capek ngantuk, kan pengin /Hammer//Hammer//Hammer/
suami mulai ada tanda tanda dengan bawahnya....klop deh