Ajari Aku Hijrah

“Jadi gitu ceritanya?” tanya rini.

Azizah yang sudah merasa sedikit lebih tenang pun, akhirnya menceritakan apa yang telah ia lewati seharian ini hingga membuatnya menangis begitu sedih.

Rini melihat ke arah dua kotak kue yang masih penuh. Nampak sedikit berantakan di dalamnya, karena terlalu lama dibawa berkeliling dan terguncang-guncang selama Azizah berjalan.

“Apa orang kek gue nggak ada tempat lagi buat hidup normal di masyarakat?” tanya Azizah disela isaknya yang masih tersisa.

Mata sembab itu membuat wajah cantiknya tak terlihat lagi. Hidungnya benar-benar merah dan terus mengeluarkan cairan bening.

“Gue nggak tau kalo lu beneran lagi berjuang buat berubah Zee. Gue udah curiga sejak lu sering ke gep lagi liatin ceramah di sosmed. Tapi sumpah gue nggak tau lu seserius ini,” ucap Rini.

Azizah diam. Dia masih mencoba menenangkan diri.

“Gini deh, gue beli aja semuanya ya. Habis itu, lu kasihin duitnya ke temen lu itu,” ujar Rini.

“Nggak, Rin. Makasih. Gue nggak butuh dikasihani sama lu. Gue juga nggak mungkin tiap hari bawa tuh kue buat lu bayarin. Ini perjuangan gue. Lu nggak perlu ngerasa kasihan,” ucap Azizah.

“Tapi...,” sahut Rini.

“Nggak perlu.” Azizah bangun dan memungut kotak kuenya.

“Lu mau kemana lagi, Zee?” tanya Rini.

“Mau ke kosan mereka. Gue mau balikin ini dulu,” ucap Azizah.

Dia menaruh kotak kue di atas meja, sementara dirinya masuk ke dalam toilet untuk mencuci muka.

Setelah merasa lebih segar, Azizah meraih tas selempangnya yang tergeletak di lantai, dan membopong kedua kotak tersebut.

Dia pergi ke luar menuju ke kosan Laila dan yang lain.

...🍀🍀🍀🍀🍀...

“Jadi masih utuh?” tanya Dini.

Azizah kini sudah sampai di kosan mereka dan memberitahukan bahwa dia tak berhasil menjual satupun kuenya.

“Mungkin disana orang-orangnya kurang suka kue kek gini,” ucap Laila.

“Kebetulan di warung depan katanya habis ya. Aku coba bawa ke sana ya. Siapa tau mereka mau dititipin lagi,” ujar Ika.

Dia mengajak Dini membantunya membawa kotak kue tersebur. Sementara Laila menemani Azizah di dalam kosan.

“Keknya gue nggak bakat jualan deh,” ucap Azizah.

“Bisa juga ditempat kamu orang-orangnya emang nggak suka kue yang kita buat. Kan ada tuh orang yang nggak suka bolu karena katanya bau amis telur, rasa menteganya kuat banget, macem-macem.”

“Jangan kecil hati, Zee. Nanti urusan titip menitip biar kita aja. Kamu bantu kita pas bikin sama nanti kalo kita udah jualan di alun-alun.”

“Oh iya, kita bertiga udah nentuin kapan mau jualan disana,” ucap Laila.

“Kapan emang?” tanya Azizah yang terlihat mulai bersemangat lagi.

“Hari sabtu nanti. Dini udah tanya-tanya ke temennya, gimana caranya buat buka lapak di sana dan kita udah coba nemuin orang yang bersangkutan sekalian survey tempat,” sahut Laila.

“Gercep bener gerakan kalian,” ucap Azizah.

“Hehehe... iya nih. Kita udah pengin dapet penghasilan tambahan buat hidup,” kekeh Laila.

Azizah pun turut menimpali tawa kecl itu. Sejenak dia melupakan apa yang terjadi padanya, beberapa saat lalu di komplek kosan tempatnya tinggal.

Dia terus di tempat itu hingga menjelang malam. Rasanya suasana di sana benar-benar membuatnya nyaman, dengan lingkungan yang bersahabat dan juga positif.

Ada perasaan lain yang muncul saat dia bersama ketiga teman barunya. Perasaan ceria, seolah dia bisa merasakan kehidupan gadis remaja akhir yang dulu ia lalui dengan begitu suram.

Keceriaan mereka , canda tawa dan juga kegiatan positif yang mereka lakukan, seolah mengembalikan sosok Azizah yang dulu sempat hilang.

Disela tawa riangnya, sebuah pemberitahuan muncul di ponsel.

Azizah pun segera meraih benda yang sejak tadi diabaikannya dan melihat pesan tersebut.

Raut wajahnya seketika berubah serius dengan kedua bola mata yang bergetar membaca pesan itu.

Astaghfirullahalazim, Rini.

Bersambung ▶️▶️▶️

Jangan lupa like, comment dan rate novel aku ya 😄, kasih dukungan banyak-banyak ke sini 🙏