Dua keluarga yang terlibat permusuhan karena kesalahpahaman mengungkap misteri dan rahasia besar didalamnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagerNulisCerita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misteri
Sesampainya di Auditorium Kampus Hijau, Tiara dan Naura langsung larut dalam riuhnya acara Masa Orientasi Mahasiswa Baru. Para panitia berjalan kesana-kemari, komdis berteriak mengatur barisan, sementara para mahasiswa baru menyesuaikan diri dengan suasana yang ramai dan penuh energi. Tiara dan Naura duduk berdampingan tanpa disengaja kursi mereka kebetulan berurutan. Mereka sama-sama serius memperhatikan rangkaian kegiatan, ikut tertawa saat panitia melontarkan candaan, dan ikut tegang saat komdis mulai memeriksa atribut mahasiswa baru.
Tanpa disadari, keduanya sudah saling melemparkan komentar, bergumam, bahkan saling goda kecil. Namun baru di tengah acara mereka sadar sesuatu.
Tiara melirik Naura, lalu berbisik sambil menahan tawa.
“Eh, ngomong-ngomong… kita sepertinya belum kenal satu sama lain ya?”
Naura mengerjap, lalu ikut tertawa.
“Astaga iya! Dari tadi kita nyerocos tapi lupa kenalan.” Ia mengulurkan tangan kecilnya.
“Kenalin, namaku Naura.”
“Tiara,” jawab Tiara sambil menjabat tangan Naura.
“Aneh banget ya, udah curhat panjang tapi lupa yang paling dasar.”
Keduanya tertawa kecil, namun di balik itu, keduanya menyimpan alasan yang sama. Mereka sama-sama sepakat meski tanpa saling bicara untuk tidak menyebutkan latar belakang keluarga masing-masing. Tidak menyebut siapa ayahnya, perusahaan apa yang keluarganya miliki, atau status sosial mereka. Mereka ingin menjalani hidup sebagai mahasiswa biasa, bukan sebagai “anak siapa”.
Di sisi lain – Pertemuan Bisnis Hendra Wijaya
Di sebuah gedung pertemuan mewah di pusat kota, Hendra Wijaya sedang menghadiri rapat penting dengan kolega bisnis dari Jerman. Presentasi di layar besar sedang berlangsung, membahas langkah ekspansi perusahaan ke Eropa Timur. Hendra duduk tenang, sesekali mengangguk, tampak sepenuhnya fokus.
Tiba-tiba, dering ponselnya bergetar cukup lama. Ia melirik layar, lalu wajahnya berubah tegang. Nomor itu bukan sembarang nomor—itu adalah panggilan yang hanya muncul ketika ada sesuatu yang sangat penting… atau sangat buruk.
“Excuse me for a moment, I need to take this important call. I’ll be right back,” ucap Hendra dengan nada sopan namun tegas.
Ia keluar ruangan dengan langkah panjang. Setelah pintu tertutup, ia mengangkat panggilan itu.
“Halo, iya saya. Jelaskan!” suara Hendra langsung berubah dingin dan penuh tekanan.
Dari seberang, suara detektif kepercayaannya terdengar gugup. Ada berita baru dan berita itu jelas bukan kabar baik.
“Apa!!!” Hendra hampir menggeram. “Apa kau yakin? Data itu valid?” Penjelasan detektif membuat Hendra berdiri mematung beberapa detik, matanya berkedip cepat menahan emosi.
“Lakukan penyelidikan lanjutan. Dan ingat… jangan sampai keluarga Hutomo tahu. Bahkan keluarga saya sendiri pun tidak boleh tahu sebelum semuanya jelas.”
Tekanannya dalam, lebih mirip ancaman daripada instruksi.
Ia menutup telepon, menarik napas panjang, lalu kembali ke ruang rapat dengan wajah yang kembali tenang—meski pikirannya kacau.
Kantor Hutomo Group – Ruang HRD
Di lantai delapan gedung Hutomo Group, Marvino Hutomo—HR Director yang masih muda namun kompeten—sedang tenggelam dalam tumpukan berkas karyawan baru. Ruangan itu rapi, didekor modern minimalis, namun meja kerjanya penuh dengan map berwarna biru dan putih.
Tiba-tiba, suara ketukan pintu mengagetkannya.
Tok… tok… tok…
“Masuk,” ucap Vino tanpa mengangkat kepala.
Pintu terbuka, dan muncul sosok lelaki paruh baya yang sangat ia kenal.
“Oh, Om Vian. Ada apa Om?” Vino berdiri menyambutnya.
Alfian Hutomo, adik kandung Angga Hutomo, melangkah masuk dengan senyum lebar. “Om ganggu tidak, Vin?”
“Ah, aman kok Om. Tumben ke kantor? Ada yang bisa Vino bantu?”
Alfian menarik napas panjang, seolah sedang menimbang kata-kata. “Begini Vin… perusahaan Om akhir-akhir ini sedang kurang bagus perkembangannya.”
Suaranya terdengar berat. “Aldi sebentar lagi lulus kuliah. Om ingin dia magang. Daripada magang di perusahaan Om yang sedang goyah, Om mau minta tolong… bisa nggak Aldi magang di sini? Jadi asisten kamu juga nggak apa-apa. Nanti Om urus administrasinya.”
Nada Alfian penuh permohonan, tapi tetap membawa aura senioritas yang kadang membuat orang lain sungkan menolak.
Vino menarik napas sebelum menjawab.
“Waduh… Om, begini. Meski Vino HR Director di sini, saya tidak bisa memasukkan anak magang sembarangan, Om. Lowongan magang belum dibuka sampai tahun depan. Lagi pula… saya sudah punya asisten.”
Alfian mulai menunjukkan raut tidak suka.
Vino menambahkan cepat, “Tapi kalau Om mau, Aldi bisa magang di perusahaan saya yang satunya. Memang masih kecil, tapi progresnya…”
Ucapan itu langsung dipotong Alfian.
“Jadi kamu nggak bisa bantu Om, Vin? Aldi itu keluarga Hutomo juga loh!” Nada suaranya naik. “Ah sudahlah! Daripada dia magang di perusahaan kecilmu itu, mending di perusahaan Om.”
Tanpa menunggu balasan, Alfian membanting pintu dan pergi.
Vino terdiam beberapa detik.
“E… bukan maksud Vino begitu Om…” gumamnya, namun percuma.
Ia hanya bisa menggeleng, mencoba menelan rasa tidak enak di hatinya. Sifat pamannya memang keras kepala, dan itu bukan hal baru.
Telepon Aldi – Ledakan Amarah
Di tempat lain, Aldi—putra Alfian—sedang menunggu kabar. Begitu ponselnya berdering, ia langsung mengangkat.
“Gimana, Pah? Berhasil?” suaranya penuh harapan.
“Berhasil apanya,” sahut Alfian ketus. “Marvino tidak menyetujui kamu masuk di Hutomo Group.”
“Apa?! Kok bisa pah? Kan aku cucu dari Hutomo! Ini nggak adil!” Aldi berteriak, wajahnya memerah.
Namun Alfian sedang terlalu kesal untuk mendengar ocehan itu. Ia langsung memutus telepon.
“halo? Pah? Halo… loh kok dimatiin?!” Aldi membanting ponselnya di kasur, mengumpat sebal.
Kembali ke Kampus Hijau – Seusai Orientasi
Sementara itu, masa orientasi di auditorium telah selesai. Ratusan mahasiswa baru keluar berbondong-bondong, sebagian kelelahan, sebagian masih antusias.
Naura dan Tiara berjalan berdua menuju parkiran.
“His… aku sebel banget sama komdis yang itu. Nyebelin. Masak kesalahan kecil aja dicari-cari,” gerutu Naura sambil menendang kerikil kecil.
Tiara menahan tawa. “Sabar Ra. Kadang aku juga mikir gitu sih. Tapi ya… tugas komdis kan memang gitu.”
“Tetep aja! Apalagi geng keong racun itu, ih! Kalau lihat kita kayak lihat saingan utama mereka,” lanjut Naura sambil manyun.
Tiara menepuk pundaknya. “Ya mereka mungkin insecure. Tapi ati-ati, kita masih maba. Jangan ngomong gitu keras-keras. Nanti bisa berabe. Udah lulus ospek dulu, baru deh bebas.”
Naura mengangguk kesal. “Iya… iya…”
Beberapa langkah kemudian, Tiara membuka topik baru.
“Oh iya Ra, Minggu depan kamu free nggak? Tadinya aku mau main sama Kak Nath, tapi dia batalin sepihak.” Ia cemberut. “Karena aku nggak ada teman, kamu mau ikut?”
Naura tersenyum kecil. “Aku mau sih… tapi aku izin Ayah dulu ya. Biasanya kalau hari libur aku jagain Bunda yang sakit.”
Tiara langsung merasa tidak enak. “Oh… maaf Ra. Emang Bunda sakit apa?”
Naura tersenyum lembut. “Nanti kalau ada waktu senggang, aku ceritain. Atau kamu bisa main ke rumahku kapan-kapan.”
Tiara mengangguk. “Oke, siap.” Keduanya berjalan ke parkiran sambil melanjutkan obrolan ringan.
Parkiran Kampus Hijau – Pertemuan Dua Sopir
Di parkiran, dua mobil mewah sudah berhenti berdampingan. Pak Mamat—sopir keluarga Angga Hutomo—menunggu dekat kap mobil. Tak jauh dari sana, Pak Yusuf—sopir keluarga Hendra Wijaya—baru turun dari mobil.
Melihat satu sama lain, mereka sama-sama kaget.
“Loh, Suf! Kok kamu di sini?” seru Pak Mamat.
Pak Yusuf tertawa kecil. “Weladalah mas Mat. Lagi jemput anak gadis Pak Hendra. Lah Kang Mat kenapa ada di sini?”
Pak Mamat mendecak. “Saya jemput Nona Naura, anak pak Angga.”
Keduanya saling pandang, lalu sama-sama gelisah.
“Byuh… kalau anak-anak tuan kita ketemu, bisa berabe mas,” gumam Pak Yusuf.
Pak Mamat menghela napas berat. “Iya… semenjak kepergian Den Arnold, rumah jadi sepi. Bu melisa depresi. Pak Angga dan Pak Hutomo sering bertengkar. Rumah jadi sunyi. Kadang kasian sam non Naura yang masih kecil.”
Pak Yusuf mencibir kecil. “Tapi aku masih nggak habis pikir… kenapa Pak Angga percaya sama omongan pelaku yang katanya disuruh Pak Wijaya? Padahal Pak Hutomo dan Pak Wijaya itu sahabat karib.”
“Ya, itu yang rancu,” sahut Pak Mamat.
Pak Yusuf melanjutkan dengan suara lebih pelan, seolah takut terdengar angin.
“Yang makin bikin aku heran… pelakunya tiba-tiba gantung diri di penjara. Terus ninggalin surat minta maaf ke keluarga Hutomo, ngaku disuruh Pak Hendra. Itu janggal banget, mas.”
Pak Mamat hanya mengangguk kosong. Pak Mamat menatap jauh, pikirannya terseret pada masa lalu yang penuh teka-teki.
Sampai suara nyaring terdengar memanggilnya.
“Pak Mamat!” Naura melambaikan tangan ceria dari kejauhan. “Duluan ya Ti, supirku udah sampai” Naura.
“Oh, iya Non,” jawabnya kaget sambil berteriak. Kemudian Naura segera masuk ke dalam mobil dan meminta pak yusuf segera melajukan mobilnya. Karena Naura sangat rindu bundanya di rumah.
“Kita lanjutkan perbincangan ini besok lagi Suf, akupun merasa janggal. Aku duluan ya” ucap pak mamat ke pak yusuf.
“oh iya mas monggo” Ucap pak Yusuf.
“Loh, pak yusuf kenal supir Temenku pak” Ucap tiara.
“Eh non, bapak kaget. Kenal banget non, kebetulan masih saudara”
“Oh pantas,” kata Tiara sambil tersenyum lega. “Pulang yuk, Pak. Aku lapar banget. Nggak sabar pengen makan masakan mama” ucap tiara.
Kedua gadis itu naik mobil masing-masing, meninggalkan kampus dengan hati ringan—tanpa menyadari bahwa persahabatan mereka akan menjadi kunci membuka rahasia besar dua keluarga yang terpecah.