Hai pembaca!
Kali ini, saya akan membawa Anda ke dalam sebuah kisah yang terinspirasi dari kejadian nyata, namun dengan sentuhan kreativitas yang membuatnya semakin menarik. Simaklah cerita tentang Halimah, seorang wanita yang terjebak dalam badai cinta, kekerasan, dan teror yang mengancam jiwa.
Semuanya bermula ketika Halimah bertemu dengan seorang pria misterius di media sosial. Percakapan mereka berlanjut ke chat pribadi, dan tak disangka, suami Halimah menemukan bukti tersebut. Pertengkaran hebat pun terjadi, dan Halimah dituduh berselingkuh oleh suaminya.
Halimah harus menghadapi cacian dan hinaan dari keluarga dan tetangga, yang membuatnya semakin rapuh. Namun, itu belum cukup. Ia juga menerima teror dan ancaman, bahkan dari makhluk gaib yang membuatnya hidup dalam ketakutan.
Bagaimana Halimah menghadapi badai yang menghantamnya? Apakah ia mampu bertahan dan menemukan kekuatan untuk melawan? Ikuti kisahnya dan temukan jawabannya. Jangan lewatkan kelanjutan cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DODIAKSU 27
Setelah melewati proses perceraian yang panjang dan melelahkan, akhirnya Halimah dan Anton resmi berpisah. Meskipun hati Halimah sedikit terluka, namun ia merasa lega karena akhirnya bebas dari belenggu pernikahan yang tidak bahagia.
Dengan semangat baru, Halimah memutuskan untuk memulai hidup baru. Ia mengembangkan usaha jualannya dengan menyewa rumah makan di desa Topogaro. Dibantu oleh Anha, Halimah membuka rumah makan sederhana yang menyajikan berbagai masakan lezat.
Awalnya, tempat itu sepi, namun lambat laun mulai ramai. Hari ini, Halimah dibantu oleh Rafa, anaknya yang cerdas, untuk membuka warung. Sementara itu, Anha sibuk mengelap etalase sebelum diisi dengan berbagai masakan Halimah yang menggugah selera. Dengan kerja sama yang erat, mereka berharap rumah makan ini akan menjadi tempat favorit masyarakat sekitar.
Rumah makan tersebut memiliki bangunan yang sederhana dengan dinding berwarna putih dan atap berwarna merah. Di depan rumah makan, terdapat sebuah teras yang luas dengan beberapa meja dan kursi yang sederhana.
Di dalam rumah makan, terdapat sebuah etalase yang menampilkan berbagai macam masakan yang lezat. Etalase tersebut dihiasi dengan beberapa dekorasi sederhana, seperti bunga dan daun.
Di bagian belakang rumah makan, terdapat sebuah dapur yang sederhana dengan beberapa peralatan memasak yang dasar. Dapur tersebut dihubungkan dengan sebuah jendela yang memungkinkan cahaya alami masuk.
Halimah merasa hidupnya telah berubah 180 derajat setelah membuka rumah makan. Ia tidak lagi terbelenggu oleh kenangan pahit masa lalunya bersama Anton. Kini, ia lebih fokus pada kesibukannya sebagai pengusaha rumah makan dan membangun kebahagiaan bersama anaknya, Rafa.
Rafa mendekati ibunya yang sedang sibuk memasak di dapur. "Mak, aku ingin pergi ke tempat Bapak. Aku ingin mengambil mobil yang dijanjikan Bapak," kata Rafa dengan semangat.
Halimah menghentikan kegiatannya sejenak dan bertanya, "Kamu tidak ingin membantu Mamak di sini, nak?"
Rafa menggelengkan kepala dan menjelaskan, "Bukan begitu, Mak. Aku lebih suka bekerja sebagai supir. Mamak tidak keberatan, kan?"
Halimah tersenyum dan membiarkan Rafa pergi. "Pergilah, nak. Jangan lupa menghubungi Mamak jika ada apa-apa," katanya.
Rafa tersenyum bahagia dan mencium pipi ibunya sebelum berangkat. Halimah merasa bahagia melihat anaknya yang ceria. Ia kemudian bersiap untuk melayani pelanggan yang akan datang.
Dengan membuka pintu warung, Halimah menandakan bahwa rumah makannya sudah buka dan siap melayani. Ia juga menawarkan jasa pesan antar, dengan Anha sebagai kurir. Tak lama kemudian, pelanggan mulai berdatangan. Halimah dengan sigap melayani dan menyiapkan pesanan mereka.
Pagi itu, Halimah merasa sangat bahagia dan cerah, seolah-olah hidupnya telah dipenuhi dengan kebahagiaan. Wajahnya dipenuhi dengan senyum, dan ia merasa bahwa ia telah menemukan tujuan hidupnya yang sebenarnya.
Halimah tengah sibuk membersihkan piring kotor yang berserakan di meja, sementara Anha keluar untuk mengantar pesanan. Tiba-tiba, mata Halimah tertuju pada sepasang sepatu pantofel coklat yang berdiri tegak di depannya. Rasa penasaran memunculkan keingintahuan Halimah, membuatnya mendongakkan kepala untuk melihat siapa pemilik sepatu itu.
"Aleric!" Halimah terkejut dan sedikit tergagap saat melihat Aleric berdiri di depannya dengan senyum hangat.
Aleric tidak menjawab, hanya tersenyum dan menunggu Halimah untuk memulai percakapan. "Boleh aku duduk, Halimah?" tanyanya dengan sopan.
Halimah terbangun dari lamunannya dan segera mempersilakan Aleric duduk. "Tentu, silakan duduk," katanya sambil mempersilakan Aleric duduk.
Aleric duduk dengan santai dan memandang sekeliling rumah makan. "Jadi, ini rumah makan milikmu, Halimah?" tanyanya dengan rasa ingin tahu.
Halimah mengangguk pelan dan menuangkan segelas air putih untuk Aleric. "Aku menyewanya," jawabnya dengan senyum. "Belum mampu untuk membelinya, tapi aku bahagia bisa memiliki tempat seperti ini."
"Iya, semua memang berawal dari bawah, Halimah," kata Aleric dengan senyum. "Tapi aku lihat warungmu ini cukup ramai. Aku ingin mencoba masakanmu, pesan makanan untukku, ya!"
Namun, Halimah tidak segera bergerak untuk menyiapkan makanan. Ia masih terdiam, seolah-olah terpesona oleh kehadiran Aleric.
Aleric melambaikan tangannya di depan Halimah, "Hey, ada apa? Kenapa kamu malah bengong?"
Halimah tersadar dan memandang Aleric dengan heran. "Tidak, aku hanya... aku kira kamu tidak akan mau makan di tempat seperti ini. Aku pikir kamu lebih suka makan di tempat yang lebih mewah."
Aleric tergelak. "Kamu ini ada-ada saja, Halimah! Memangnya kenapa dengan tempat ini? Tempatmu ini rapi, bersih, dan nyaman. Aku memang sengaja datang ke tempatmu."
Halimah terkejut. "Sengaja? Kamu tahu bahwa tempat ini milikku?"
Aleric mengangguk. "Iya, aku tahu. Aku penasaran dengan rasa masakanmu, dan aku ingin mencobanya sendiri."
Aleric tersenyum dan meminta lagi, "Ayolah, Halimah, mana makananku? Aku sudah lapar loh!"
"Baiklah, aku akan menyiapkan makanan terbaik untukmu," kata Halimah dengan senyum, tanpa menyadari bahwa tempat yang ia sewa itu sebenarnya milik Aleric. Ia menyewa tempat itu melalui anak buah Aleric, sehingga Halimah tidak pernah mengetahui bahwa Aleric adalah pemilik sebenarnya.
Halimah kembali ke tempat Aleric dengan senampan makanan di tangannya, aroma masakan yang lezat memenuhi udara.
Ia menatanya di meja dengan rapi, "Kamu mau minum apa?" tanyanya dengan ramah.
"Aku mau es jeruk aja, Halimah," jawab Aleric dengan senyum.
Halimah segera membuatkan pesanan Aleric, ia kembali dengan segelas jus jeruk di tangannya. Saat ia hendak kembali ke dapur, tangannya dihentikan oleh Aleric.
"Duduklah di sini, Halimah," katanya dengan lembut. "Aku tidak biasa makan sendiri. Aku ingin berbagi makanan ini denganmu."
Halimah terkejut, namun ia tidak bisa menolak undangan Aleric. Ia duduk di seberang Aleric, dan mereka berdua mulai menikmati makanan bersama. Suasana yang hangat dan nyaman memenuhi ruangan, membuat Halimah merasa seperti berada di rumah sendiri.
Warung yang sepi memberikan kesempatan bagi Halimah dan Aleric untuk berbincang tentang kenangan lama mereka saat masih sekolah. Namun, Halimah tidak bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman yang menghantui hatinya. Ia takut jika ada yang salah sangka padanya, terutama karena Aleric adalah seorang yang beristri.
Halimah berusaha untuk beranjak, namun Aleric menghentikannya. "Kamu mau kemana, Halimah? Aku perhatikan kamu sangat gelisah," tanyanya dengan penasaran.
Halimah mendekatkan kepalanya agar sejajar dengan Aleric, dan berbisik, "Aku tidak enak dengan istrimu, bagaimana jika ada yang melihat dan salah sangka pada kita."
Namun, Aleric tidak memperdulikan kekhawatiran Halimah. Justru, ia menarik tangan Halimah agar ia kembali duduk bersamanya. "Tidak apa, Halimah. Aku sekarang seorang duda," katanya dengan tertawa, namun terlihat kepedihan yang mendalam di wajahnya.
Halimah terdiam, merasa kasihan melihat Aleric seperti itu. Ia tahu bahwa di balik senyum Aleric, terdapat luka yang masih terbuka. Perasaan Halimah berubah, dari yang awalnya takut dan tidak nyaman, menjadi merasa kasihan dan peduli pada Aleric.