Genre : Misteri, Thriller, Psikologis, Supranatural
Sinopsis :
Setelah suaminya meninggal didalam kecelakaan yang tragis. Elysia berusaha menjalani kehidupan nya kembali. Namun, semuanya berubah ketika ia mulai melihat bayangannya bertingkah aneh dan bergerak sendiri, berbisik saat ia sendiri, bahkan menulis pesan di cermin kamar mandinya.
Awalnya Elysia hanya mengira bahwa itu halusinasi nya saja akibat trauma yang mendalam. Tapi ketika bayangan itu mulai mengungkapkan rahasia yang hanya diketahui oleh suaminya, dia mulai mempertanyakan semuanya. Apakah dia kehilangan akal sehatnya ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang sedang berusaha kuat untuk berkomunikasi dengannya.
Saat Elysia menggali hal tersebut lebih dalam dia menunjukkan catatan rahasia yang ditinghalkan oleh mendiang suaminya. Sebuah pesan samar yang mengarah pada sebuah rumah tua dipinggiran kota. Disanalah ia menemukan bahwa suaminya tidak mati dalam kecelakaan biasa. Akan kah Alena mendekati jawabnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azka Maftuhah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 – CEMBURU BAYANGAN
Elysia masih terpaku memandangi foto di tangannya. Itu adalah dirinya—wajah yang tampak familiar, tapi suasananya terasa asing. Latar belakangnya bukan tempat yang ia ingat pernah kunjungi, seolah-olah foto itu berasal dari versi lain dari kehidupannya.
Satrio mencondongkan tubuh, ikut menatap foto itu. "Kau yakin ini kau?"
Elysia mengangguk perlahan. "Iya… tapi aku tidak pernah berada di tempat itu. Aku bahkan tidak tahu itu di mana."
Nadine duduk kembali di kursinya. Wajahnya tak lagi terlihat tenang. Ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.
"Edric datang padaku tiga minggu sebelum dia… menghilang," kata Nadine. "Dia yakin ada sesuatu yang mengikuti Elysia. Sesuatu yang bukan manusia, tapi bisa menyamar dengan sangat sempurna."
Satrio menyipitkan mata. "Menyamar? Maksudmu… meniru?"
Nadine mengangguk. "Ya. Bayangan. Tapi bukan bayangan biasa. Ia bisa meniru suara, gerakan, bahkan kenangan seseorang. Tapi yang membuatnya berbeda adalah… emosi. Dia tidak bisa merasakan seperti manusia. Tapi dia bisa belajar dari emosi kita. Ia bisa… cemburu."
Elysia merasa tubuhnya merinding. Kata itu—cemburu—menggema di kepalanya.
"Edric bilang, bayangan itu terobsesi padamu, Elysia," lanjut Nadine. "Bukan hanya ingin menyakitimu, tapi ingin menggantikanmu. Hidup sebagai dirimu. Dan satu-satunya yang membuatnya gagal total adalah… Satrio."
Satrio mengernyit. "Aku?"
Nadine menatapnya lurus. "Karena kamu satu-satunya orang yang tidak bisa dia tipu. Edric percaya, selama kamu ada, bayangan itu tidak bisa sepenuhnya menguasai hidup Elysia."
Hening sesaat.
Elysia merasakan tekanan aneh di dadanya. Seolah seluruh kenyataan di sekelilingnya perlahan bergeser.
"Jadi… semua kejadian aneh itu… rumah Edric… suara yang memanggilku… itu dia?"
Nadine menatapnya dengan penuh belas kasih. "Kemungkinan besar, ya."
Di dalam taksi menuju apartemen, Elysia hanya terdiam. Satrio terus meliriknya, merasa khawatir.
"Elysia, kau baik-baik saja?"
"Aku gak tahu, Satrio." Suaranya pelan. "Bagaimana bisa sesuatu yang bukan manusia… punya perasaan? Bahkan cemburu?"
Satrio menghela napas. "Mungkin bukan cemburu seperti manusia. Mungkin itu semacam obsesi. Atau penguasaan. Sesuatu yang gelap dan tak ingin kehilangan mangsanya."
Elysia menatap jendela. Hujan mulai turun, membuat kota tampak kabur di balik kaca.
"Aku merasa dia selalu mengawasi. Bahkan sekarang."
Tiba-tiba, ponsel Elysia bergetar. Sebuah pesan masuk. Tanpa nama pengirim.
"Aku bisa menjadi lebih baik darimu."
Elysia langsung menunjukkannya pada Satrio.
Dia membaca cepat, lalu mendongak dengan rahang mengeras. "Dia memprovokasi."
"Apa maksudnya 'lebih baik dariku'?" gumam Elysia.
"Dia mau ambil alih hidupmu. Dia percaya dia bisa menjadi kamu—lebih sempurna, lebih dicintai, lebih dihargai."
Elysia menggigit bibir. Pikirannya berputar cepat.
"Kalau begitu… dia mungkin sudah mencoba. Atau bahkan sudah melakukannya."
Setibanya di apartemen, pintu terbuka sedikit.
Elysia mengerutkan dahi. "Aku yakin tadi pagi aku menguncinya."
Satrio segera maju, melangkah masuk lebih dulu. Ia memeriksa seluruh ruangan.
Ruang tamu tampak sama. Tapi di kamar…
Ada boneka kecil di atas ranjang.
Boneka kelinci putih yang terlihat lusuh.
elysia menutup mulutnya. "Itu… milikku waktu kecil. Sudah lama hilang."
Satrio mengangkatnya pelan. "Berarti dia pernah ke rumah lamamu."
Elysia mengangguk perlahan. "Atau dia punya akses ke memoriku."
Di meja samping tempat tidur, ada secarik kertas:
"Aku tahu semua tentangmu. Bahkan kenangan yang kau lupakan."
Malam itu, Alana berdiri di depan cermin di kamar mandi. Ia menatap pantulan dirinya, mencoba mencari perbedaan.
Lalu… pantulan itu tersenyum lebih dulu.
Jantung Elysia berhenti sejenak.
Tubuhnya belum bergerak. Tapi pantulan dirinya… tersenyum miring.
"Aku akan menjadi kamu. Perlahan." Suara itu datang dari dalam pikirannya. Atau mungkin bukan?
"Aku akan mencintainya lebih dalam dari yang kau bisa."
Elysia melangkah mundur, matanya membelalak. Tapi pantulan dirinya tetap tersenyum.
Lalu, pantulan itu… menangis.
Air mata mengalir di pipinya, tapi wajahnya tetap tenang. Sempurna.
Dan satu kalimat terakhir keluar dari mulut pantulan itu—tanpa suara.
"Dia akan memilihku."
---BERSAMBUNG---