Rahasia Sang Wanita Besi
Sebagai sekretaris pribadi, Evelyn dikenal sempurna—tepat waktu, efisien, dan tanpa cela. Ia bekerja tanpa lelah, nyaris seperti robot tanpa emosi. Namun, di balik ketenangannya, bosnya, Adrian Lancaster, mulai menyadari sesuatu yang aneh. Semakin ia mendekat, semakin banyak rahasia yang terungkap.
Siapa sebenarnya Evelyn? Mengapa ia tidak pernah terlihat lelah atau melakukan kesalahan? Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, misteri di balik sosok "Wanita Besi" ini pun perlahan terkuak—dan jawabannya jauh lebih mengejutkan dari yang pernah dibayangkan Adrian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Akhir yang Menanti
Perjalanan panjang Evelyn dan Zayne membawa mereka ke ujung yang tak terduga. Setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat ke kebenaran, namun juga semakin jauh dari kenyamanan yang pernah mereka kenal. Setiap rahasia yang terungkap hanya membuka lebih banyak misteri, dan setiap kebenaran yang mereka temui hanya menambah beban di hati Evelyn.
Hari itu, langit sore tampak lebih gelap dari biasanya. Angin berhembus kencang, membawa aroma tanah yang basah dan dingin. Evelyn merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya mulai runtuh, dan ia hanya bisa menghadapinya dengan keteguhan yang semakin rapuh.
Di hadapannya, berdiri sebuah bangunan besar yang tampaknya sudah berdiri selama berabad-abad. Bentuknya megah, namun terlihat sudah lama ditinggalkan. Semua yang ada di sana mengingatkan Evelyn akan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekedar bangunan: ini adalah tempat di mana nasibnya akan ditentukan. Ia merasa bahwa semuanya telah membawa mereka ke titik ini—ke tempat yang penuh dengan rahasia dan kebenaran yang akan mengubah dunia.
Zayne berdiri di sampingnya, matanya memeriksa bangunan itu dengan cermat. “Kita sudah sampai. Ini adalah tempatnya. Di sinilah semua dimulai,” kata Zayne dengan suara rendah.
Evelyn menatapnya, merasakan ketegangan yang begitu dalam di dalam dirinya. Meskipun mereka telah mengungkap banyak hal, meskipun mereka telah menghadapi banyak bahaya, perasaan cemas ini tetap menghantui hatinya. Ia tahu, di sini, di tempat ini, akan ada sebuah pengorbanan besar. Dan, seperti yang telah ia baca dalam ramalan, ia tahu bahwa pengorbanan itu mungkin adalah dirinya.
“Apa yang harus kita lakukan?” Evelyn bertanya, suaranya serak. Ia tidak tahu apa yang harus ia harapkan dari tempat ini, tapi satu hal yang pasti: ia harus siap menghadapi apapun yang ada di depan mereka.
Zayne mengangkat bahu. “Tidak ada cara lain selain masuk. Kita harus mencari jawabannya, Evelyn. Ini adalah akhir dari perjalanan kita.”
Dengan langkah mantap, mereka memasuki bangunan itu. Udara di dalam terasa dingin dan berat, seolah ada sesuatu yang mengawasi mereka. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan simbol-simbol yang hampir sama dengan yang mereka temui di buku kuno itu—tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka berada di tempat yang sangat penting.
“Ini tidak terasa seperti tempat biasa,” Evelyn berkata pelan, matanya menyapu ruangan besar di depan mereka. Setiap langkah mereka terdengar bergema, seolah setiap suara yang mereka buat menjadi saksi bagi sesuatu yang lebih besar, lebih gelap.
Zayne menoleh ke arah Evelyn, tatapannya serius. “Kita tidak sendirian di sini. Ada sesuatu yang sedang menunggu kita.”
Ketegangan meningkat, dan Evelyn bisa merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Beberapa langkah di depan mereka, sebuah pintu besar terbuka perlahan, dan dari dalamnya, suara berat terdengar—sebuah suara yang terasa sangat familiar. Evelyn tahu siapa itu, bahkan sebelum ia melihatnya.
Dari balik pintu itu, muncul sosok yang tidak asing baginya—Tiranos. Tetapi kali ini, ia tidak tampak seperti makhluk buas yang mereka hadapi sebelumnya. Tiranos yang ada di hadapan mereka kini tampak lebih manusiawi, lebih terorganisir, dan lebih menakutkan. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah pedang besar yang bersinar dengan cahaya gelap. Sorot matanya tajam, penuh dengan kemarahan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
“Evelyn,” kata Tiranos dengan suara yang dalam dan bergetar. “Aku tahu kau akan datang. Kau adalah bagian dari takdir ini. Tidak peduli seberapa keras kau berjuang, kau tidak bisa menghindarinya. Kau adalah kunci kehancuran.”
Evelyn menatapnya dengan mata yang penuh tekad. “Aku tidak takut padamu, Tiranos. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Dan kali ini, aku tidak akan mundur.”
Tiranos tertawa keras, suaranya bergema di seluruh ruangan. “Kau tidak mengerti, Evelyn. Takdirmu sudah ditentukan. Semua yang terjadi, semuanya adalah bagian dari rencanaku. Dan kau tidak bisa menghindar dari kebenaran itu. Kau adalah bagian dari kegelapan yang akan datang.”
Dengan satu gerakan cepat, Tiranos mengayunkan pedangnya ke arah Evelyn. Namun, sebelum pedang itu mencapai tubuhnya, Zayne bergerak dengan kecepatan luar biasa, menghalangi serangan itu dengan pedangnya sendiri. Benturan antara kedua senjata itu memunculkan suara yang keras, dan getaran energi yang kuat membuat keduanya terhuyung mundur.
Evelyn merasakan kekuatan yang membara di dalam dirinya, sebuah kekuatan yang semakin lama semakin sulit untuk dikendalikan. Ia tahu, hanya ada satu cara untuk mengakhiri ini semua—menyelesaikan pertempuran ini dengan satu pukulan yang tepat.
“Zayne, mundur!” teriak Evelyn, matanya tidak lepas dari Tiranos yang kini kembali bersiap untuk menyerang. “Aku yang akan menghadapinya.”
Zayne ragu sejenak, tetapi akhirnya ia mundur, memberikan ruang bagi Evelyn untuk bertarung sendiri. Dengan tangan yang gemetar namun penuh tekad, Evelyn memegang pedangnya lebih erat, mempersiapkan diri untuk menghadapi pertempuran terakhir ini.
Tiranos menatapnya dengan penuh kebencian. “Kau tidak akan pernah menang, Evelyn. Kau adalah bagian dari takdir yang lebih besar. Dan takdir itu adalah kehancuran.”
Evelyn menggigit bibirnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Semua yang telah terjadi, semua yang telah mereka lalui, membawa mereka ke sini. Sekarang, ia harus bertarung bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia yang telah lama terjebak dalam cengkeraman kegelapan. Ia harus mengalahkan Tiranos, dan mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik semua ini.
Pertarungan mereka berlangsung dengan cepat. Setiap gerakan mereka penuh dengan kekuatan dan ketepatan, senjata saling beradu, dan tenaga yang memancar dari setiap pukulan terasa seperti ledakan energi. Namun, seiring waktu berjalan, Evelyn merasakan bahwa kekuatan dalam dirinya semakin besar. Kekuatan yang selama ini tersembunyi, yang selama ini ia takutkan, kini mulai mengalir dengan bebas.
Saat Tiranos menyerang sekali lagi, Evelyn menghindar dengan gesit, lalu dalam satu gerakan cepat, ia mengayunkan pedangnya, menembus pertahanan Tiranos. Pedang itu menancap di dada Tiranos, dan untuk pertama kalinya, sosok itu terjatuh, tak berdaya.
Namun, meskipun Tiranos terjatuh, Evelyn tahu bahwa pertempuran ini belum berakhir. Ia harus menemukan cara untuk menghancurkan kegelapan yang ada di dalam dirinya, untuk mengakhiri siklus takdir yang telah ditentukan sejak lama.
Saat itu, buku kuno yang mereka temukan sebelumnya muncul dalam ingatannya. Ramalan itu—ramalan yang mengungkapkan bahwa dirinya adalah kunci bagi kehancuran. Mungkin itu benar, tetapi bukan berarti ia harus menerima takdir itu begitu saja.
Evelyn menatap pedangnya yang bersinar terang, merasakan kekuatan yang ada di dalamnya. Dia tahu bahwa ia bisa memilih jalan yang berbeda. Takdirnya tidak harus diatur oleh orang lain, dan kegelapan yang ada dalam dirinya bukanlah sesuatu yang harus ditakuti.
Dengan satu keputusan tegas, Evelyn melepaskan pedangnya dan memusnahkan kekuatan gelap itu. Takdir yang telah mengikatnya selama ini akhirnya dihancurkan. Dunia yang penuh dengan kegelapan mulai terangkat, dan cahaya kembali menyinari langit.
Zayne mendekat, menatapnya dengan penuh kekaguman. “Kau berhasil, Evelyn. Kau mengubah takdirmu.”
Evelyn hanya tersenyum lelah, namun penuh kepastian. “Kita semua bisa mengubah takdir kita, Zayne. Kita hanya perlu memilih untuk melakukannya.”
Dan dengan itu, petualangan mereka berakhir. Namun, dunia yang mereka tinggalkan—dan dunia yang mereka bangun—akan tetap hidup dalam kenangan mereka, sebagai bukti bahwa bahkan dalam kegelapan, ada harapan yang bisa ditemukan.