Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Menuduh Aku
Aira tak menyangka bahwa pertengkaran antara Ibu Sukamti dan Bapak Dikromo kemarin akan menyisakan luka tak kasatmata yang begitu dalam. Sepanjang hari, tubuhnya terasa lemas. Ia tidak sakit, tetapi jiwanya seperti kehilangan semangat.
Nafsu makan lenyap, bukan karena tidak lapar, melainkan karena perutnya sudah penuh oleh ganjalan pikiran dan teka-teki yang menggelayut di balik pertengkaran itu.
Zayyan, seperti biasa, masih tenggelam dalam kesibukannya. Selepas Maghrib hingga Isya, ia masih mengejar pemasangan beberapa furnitur di kamar-kamar hotel yang belum rampung. Aira tahu itu. Ia tahu, karena biasanya Zayyan hanya sempat menghubunginya menjelang Subuh.
Namun pagi ini, Aira mengabaikan semua pesan dan panggilan dari suaminya. Bukan karena marah. Bukan pula karena kecewa. Ia hanya…
...terjebak dalam benaknya sendiri.
Diusir dari rumah mertua, iya. Dicap pembawa kesialan, iya. Dilarang datang lagi, iya. Tapi bukan itu yang paling membekas, melainkan ucapan Ibu Sukamti tentang masa lalu yang tak pernah diceritakan Zayyan padanya.
Tepat pukul 05.30, Aira keluar dari kamar mandi. Tubuhnya terbalut handuk putih yang jatuh hingga lutut, rambutnya masih basah, menjuntai ke pundak. Ia menggigil sedikit.
Ponselnya berdering. Lagi.
Aira menoleh, melihat nama “Hay Suamiku” yang berkedip di layar. Sebuah senyum kecil, nyaris nakal, terbit di wajahnya yang pucat.
“Huft... masih juga telepon, padahal aku cuekin dari semalam sampe sekarang. Kak Zen emang… sayang banget sama aku, hihi.” gumamnya pelan.
Ia menyandarkan ponselnya di meja rias, berdiri di depannya, seolah menatap cermin. Jari telunjuknya menyentuh layar untuk mengangkat panggilan video.
“Assalamu’alaikum, humaira cant—”
Ucapan Zayyan terpotong tiba-tiba.
Matanya membesar, mulutnya terbuka sedikit. Ia terdiam, terpaku melihat istrinya masih dengan handuk tipis dan rambut basah menjuntai seperti gadis dalam lukisan klasik.
Aira tersenyum geli melihat ekspresi suaminya. "Wa’alaikumussalam wa rahmatullaahi wa barakatuh... Kak Zen cuamiku, kaget ya?" ucapnya manja.
"Aiku…" mata Zayyan tetap tak beranjak dari layar. "Kamu tahu nggak kamu secantik apa sekarang?"
Aira hanya tertawa pelan. Untuk sesaat, luka hatinya terlupakan. Tapi ia tahu, cepat atau lambat, teka-teki masa lalu itu tetap harus dijawab.
"Apa aku kelihatan seperti model iklan?" tanya Aira sambil sedikit mencondongkan badan ke arah kamera, alisnya terangkat menggoda dan...
Zayyan menelan ludah.
Matanya terpaku. Senyumnya mengembang setengah gugup, setengah terpesona. "Hmm... boleh nggak ya..." jedanya. "Aku jadi sutradaramu untuk saat ini, Aiku?"
Aira mengerutkan kening, masih dengan senyum geli. "Haha, Sutradara? Maksudnya?"
"Ya... boleh kan aku... ngarahin sedikit? Buka dikit... atau... sekalian aja lepas?"
"KAAAAAK!!" Aira berseru kaget.
Wajah gadis manis itu memerah. Padahal tadi dia sendiri yang mulai godain duluan.
Zayyan tertawa, puas dengan reaksinya. "Istriku sayang, kan halal. Boleh dong. Pahalanya juga banyak, lho."
Aira mendecak pelan sambil menutup wajah dengan tangannya. "Hish! Kak Zen jangan bawa-bawa pahala buat godain aku!"
"Siapa juga yang mulai godain, hah? Kamu sendiri yang muncul kayak bidadari habis mandi. Mana aku kuat."
Aira menyipitkan mata, "Dasar suami nakal."
"Tapi cuma nakal sama kamu doang kok," bisik Zayyan sambil mengedipkan mata.
“Aih! Aku nggak mau ya bikin si badak bangun,” dengus Aira sambil membenahi handuk yang nyaris melorot.
Zayyan tertawa pelan. “Kamu benar... dia udah mulai gelisah nih. Aiku, gimana kalau si badak bangun, tapi kamu nggak ada di sini buat nenangin?”
“Kyaaa! Kak Zen mesum!” Aira buru-buru menutup layar ponselnya ke meja dengan wajah merah padam, tapi tidak menutup sambungan.
Ia segera bersiap dan berganti pakaian. Dalam waktu singkat, tubuhnya sudah terbalut anggun dalam seragam guru berwarna krem pastel yang sopan tapi tetap memikat.
Tak lama kemudian, ia mengambil ponselnya kembali dan menyapanya dengan senyum menggemaskan. “Nah, sekarang... anak nakal harus Bunda disiplinkan dulu.” Ia mengibas rambut ke belakang dengan gaya sok galak.
“Waduh, Bu Guru malah makin cantik. Adek Zay ini bisa melayang ke angkasa, loh. Siap ditangkap nggak nanti?” goda Zayyan, sambil menatap penuh kekaguman.
“Ih, Kak! Gombal mulu kerjanya,” Aira menahan senyum, mencoba terlihat galak tapi gagal total.
“Hahaha, siapa duluan yang menggoda? Aiku ini, bukannya tadi itu ngajak main?”
“Hmph!” Aira menggembungkan pipinya, kesal manja. Tapi tak lama, matanya berubah serius. “Kak, aku boleh tanya sesuatu?”
Zayyan menaikkan alis sambil menyibakkan poninya dengan jari, gaya andalannya tiap kali merasa keren. “Apa itu, Bu Guru cantik?”
Aira menutup wajah, “Mu-- Mukyaa! Jangan gitu kak?! Aku bisa mimisan beneran!”
Tawa Zayyan pecah mendengar reaksi istrinya.
“Serius, ih. Aku mau tanya tentang seseorang,” ucap Aira sambil duduk tenang dan menatap layar, suaranya berubah lembut.
“Seseorang?” Zayyan mengerutkan dahi, “Siapa, Aiku Aira Humaira Kalandra?”
“Gimana ya ngomongnya…” Aira menggaruk pelipisnya sambil menunduk sebentar, berusaha merangkai kalimat. “Kamu kenal nggak sama seseorang bernama… Kasandra?”
“Kasandra?” Zayyan mengulang pelan. Alisnya menyempit. Ada yang mengusik benaknya saat nama itu disebut. Seketika, wajahnya berubah. Ingatan lama menyeruak.
Kasandra… wanita itu… ibunya Harry…
Zayyan tercekat.
“Kak Zen?” Aira menyadarkan dari layar, bingung melihat suaminya tiba-tiba diam membeku.
Namun, Zayyan masih bergelut dengan pikirannya. Apa Harry masih mencoba mendekati Aira? Pakai alasan ibunya sakit untuk menarik simpati? Lalu, Aira luluh. Licik banget cowok itu...
“Kak Zen?” Aira kembali bertanya.
Zayyan mengangkat wajahnya, tapi nadanya sudah berubah. “Aiku, kamu habis ketemu sama Harry?”
“Hah?” Aira menatapnya bingung. “Maksud kamu apa?”
“Aku nggak suka ya kamu masih berurusan sama dia,” ucap Zayyan tanpa basa-basi. Suaranya datar, tapi dingin.
Aira mengerutkan dahi, nadanya naik setingkat. “Kamu ini ngomong apa sih? Kenapa malah bahas Harry segala?" Aira melipat tangannya.
“Aku udah berusaha diam, Aira. Aku nggak pernah ungkit masa lalu kamu, aku hargai semua itu. Tapi kenapa, saat aku nggak di sisimu, kamu malah nyari dia? Apa di hatimu masih ada sisa dia?"
Aira tercengang. “Apa?! Kak, kamu nuduh aku?”
“Aku cuma tanya, kamu habis ketemu dia atau nggak?”
“Enggak! Bahkan aku nggak mikirin dia! Aku cuma nanya soal Kasandra. Aku tanya baik-baik, malah digiring ke arah tuduhan. Kamu pikir aku semurah itu? Datang ke mantan, terus nyambung-nyambungin urusan perasaan?”
“Aiku, aku cuma—”
“Enggak, Kak. Kamu nggak cuma. Kamu udah nuduh aku. Dan aku nggak suka ya dituduh sembarangan gitu. Kamu udah suudzon, dan kamu bahkan nggak tanya kenapa aku nanyain nama Kasandra!”
Suasana hening sejenak, kecanggungan menggantung di antara mereka.
Aira menggeleng pelan, suaranya nyaris berbisik. “Kadang aku mikir... seberapa besar sebenarnya kepercayaanmu ke aku?”
Rasa bersalah Zayyan muncul.
"Dan kamu tahu, aku kemarin ke rumah Bapak Dikromo--"
Zayyan menyela, "Kamu ke rumah--"
"Ya!" Aira Membalas langsung.
Nangis sih guweh...