Rahasia Sang Wanita Besi
Di dunia korporat yang kejam, hanya ada dua jenis orang: mereka yang bekerja untuk bertahan hidup dan mereka yang bekerja untuk menang. Evelyn Carter termasuk dalam kategori kedua. Sebagai sekretaris pribadi Adrian Lancaster, CEO perusahaan multinasional Lancaster Group, ia bekerja tanpa cela. Tepat waktu, disiplin, dan nyaris tanpa emosi—seperti mesin yang dirancang untuk kesempurnaan.
Pagi itu, seperti biasa, ia tiba di kantor pukul 06.00 pagi, dua jam sebelum para karyawan lainnya. Ia berjalan melewati lobi dengan langkah tegap, sepatu hak tingginya berbunyi pelan di lantai marmer. Para petugas keamanan yang sedang berjaga hanya bisa mengangguk sopan ketika wanita berambut hitam panjang itu melewati mereka. Tak ada sapaan balik dari Evelyn, hanya tatapan dingin yang menyiratkan bahwa ia tidak tertarik pada basa-basi.
Setibanya di lantai tertinggi, ia langsung masuk ke ruang kerja bosnya. Ruangan luas dengan jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota yang masih tertutup kabut pagi. Tanpa membuang waktu, ia mulai menyusun berkas-berkas yang akan dibutuhkan Adrian hari ini.
Pukul 06.30, kopi hitam tanpa gula sudah tersaji di meja kerja sang CEO. Agenda rapat telah tersusun rapi dalam tablet yang akan dibawa Adrian. Evelyn bahkan telah mengantisipasi permintaan tambahan—sebuah laporan mendetail tentang proyek ekspansi ke Eropa yang kemungkinan besar akan diminta bosnya pagi ini.
Tepat pukul 07.00, pintu lift terbuka, dan seorang pria bertubuh tinggi dengan jas hitam keluaran desainer melangkah masuk. Adrian Lancaster.
Rambutnya sedikit berantakan, menunjukkan bahwa ia baru saja menyelesaikan lari paginya. Rahangnya yang tegas dihiasi sedikit janggut tipis yang membuatnya tampak lebih matang. Dengan tubuh atletis dan sorot mata tajam, Adrian adalah pria yang terbiasa mengendalikan segalanya.
Namun, ada satu hal yang tidak pernah bisa dikendalikannya—Evelyn Carter.
“Pagi, Tuan Lancaster,” ujar Evelyn datar tanpa menoleh dari laptopnya.
Adrian melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi, lalu mengambil cangkir kopi yang sudah tersaji di mejanya. Ia menyesapnya sebentar, lalu tersenyum tipis.
“Kau bahkan tahu aku butuh kopi lebih awal hari ini.”
Evelyn akhirnya menatapnya, wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Anda selalu meminta kopi setelah lari pagi di hari Selasa dan Jumat. Hari ini Selasa.”
Adrian terkekeh pelan. “Tentu saja kau mengingat kebiasaanku.”
Bukan hal yang mengejutkan. Evelyn selalu mengingat semuanya.
Jika ada yang pernah melihat Evelyn melakukan kesalahan, mereka pasti sedang berkhayal. Wanita itu tidak pernah datang terlambat, tidak pernah lupa jadwal, dan tidak pernah panik. Ia bisa bekerja berjam-jam tanpa terlihat lelah. Jika ada krisis, ia selalu punya solusi sebelum Adrian sempat mengeluh.
Banyak yang bergosip bahwa Evelyn bukan manusia biasa—mungkin robot, atau mata-mata, atau bahkan makhluk dari dimensi lain. Tapi yang pasti, dia adalah sekretaris terbaik yang pernah dimiliki Lancaster Group.
Adrian mengamati wanita itu dari balik cangkirnya. Rambutnya yang hitam panjang diikat rapi, memperlihatkan leher jenjang dan wajah tanpa cela. Mata abu-abunya selalu penuh perhitungan, bibirnya tipis dan jarang tersenyum. Cantik, tapi dingin.
Ia sudah mengenal banyak wanita di hidupnya—model, aktris, sosialita—tetapi tidak ada yang seperti Evelyn.
“Bagaimana agendaku hari ini?” tanya Adrian, mencoba mengalihkan pikirannya dari pertanyaan aneh yang terus mengusik kepalanya.
Evelyn mengetuk tabletnya beberapa kali sebelum menjawab, “Pukul 08.00, Anda memiliki rapat dengan dewan direksi. Pukul 10.00, konferensi video dengan investor dari Jepang. Pukul 12.30, makan siang dengan Lucas Reed. Pukul 15.00, inspeksi proyek gedung baru di pusat kota.”
Adrian mengangguk, lalu menyipitkan mata. “Lucas? Untuk apa?”
“Dia ingin membahas kemungkinan merger dengan Morgan & Co.”
Adrian menghela napas. Lucas Reed, sahabat sekaligus direktur keuangan perusahaan, selalu punya banyak ide gila. Ia akan mendengar penjelasannya nanti.
Namun, satu hal lain mengusiknya lebih dari sekadar merger perusahaan.
“Evelyn,” panggilnya tiba-tiba.
Evelyn menatapnya tanpa ekspresi. “Ya?”
“Aku penasaran.” Adrian menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat tangannya di dada. “Sejak kau mulai bekerja di sini, aku tidak pernah melihatmu sakit, terlambat, atau bahkan sekadar mengambil cuti.”
“Apa yang Anda ingin tanyakan?”
“Apakah kau manusia?”
Evelyn terdiam sesaat. Itu bukan pertama kalinya seseorang bertanya demikian.
“Jika saya bukan manusia, menurut Anda, saya ini apa?” Evelyn bertanya balik, suaranya tetap datar.
Adrian terkekeh. “Itulah yang sedang kucoba cari tahu.”
Evelyn tidak menjawab. Ia hanya kembali menunduk dan melanjutkan pekerjaannya, seolah percakapan itu tak pernah terjadi.
Siang harinya, setelah rapat dan konferensi video selesai, Adrian kembali ke kantornya lebih awal. Namun, saat hendak masuk, langkahnya terhenti.
Pintu ruang kerja Evelyn sedikit terbuka.
Rasa penasaran membuatnya mendekat. Dari celah pintu, ia melihat Evelyn sedang berbicara di telepon. Nada suaranya berbeda. Tidak dingin, tidak formal. Ada sesuatu yang lain—mungkin kekhawatiran?
“Tidak. Aku tidak bisa pulang sekarang,” suara Evelyn terdengar pelan. “Aku punya pekerjaan.”
Hening sejenak.
“Aku tahu… Tapi aku belum siap untuk itu.”
Adrian menyipitkan mata. Evelyn Carter tidak pernah tidak siap untuk sesuatu.
“Aku akan menghubungimu nanti.” Evelyn menutup teleponnya, lalu menghela napas pelan. Saat itulah Adrian melihat sesuatu yang tidak biasa—tangan Evelyn sedikit gemetar.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Evelyn menyadari kehadirannya. Dengan cepat, ekspresinya kembali dingin seperti biasa.
“Maaf, apakah Anda butuh sesuatu, Tuan Lancaster?”
Adrian menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Tidak. Aku hanya ingin memastikan kau masih manusia.”
Evelyn tidak menanggapi. Ia hanya menatap Adrian dalam diam, sebelum akhirnya kembali pada pekerjaannya.
Namun, Adrian tahu satu hal pasti: Evelyn Carter tidak sesempurna yang ia kira.
Dan ia berniat mencari tahu rahasia apa yang disembunyikan wanita itu.
.
.
Adrian Lancaster tidak mudah tertarik pada seseorang. Hidupnya selalu dipenuhi dengan orang-orang yang ingin mendekatinya—entah karena ketampanannya, kekayaannya, atau statusnya sebagai CEO Lancaster Group. Ia sudah terbiasa dengan wajah-wajah penuh kepalsuan, senyum basa-basi, dan kata-kata manis yang berusaha menyenangkan egonya.
Namun, Evelyn Carter berbeda.
Wanita itu tidak pernah mencoba menarik perhatiannya, tidak pernah mencari validasi darinya, bahkan tidak pernah berusaha membuatnya terkesan. Ia hanya melakukan pekerjaannya dengan kesempurnaan nyaris tidak manusiawi. Jika ada satu hal yang membuat Adrian penasaran, itu adalah fakta bahwa ia tidak bisa membaca Evelyn Carter.
Dan baru saja, untuk pertama kalinya, ia melihat retakan di balik fasad sempurna Evelyn.
Seseorang telah meneleponnya. Seseorang yang cukup penting hingga membuat tangan Evelyn sedikit gemetar.
Adrian mungkin tidak punya banyak waktu untuk mengurusi kehidupan pribadi sekretarisnya, tapi ia bukan pria yang bisa mengabaikan sesuatu yang membuatnya penasaran.
“Evelyn,” panggilnya tiba-tiba.
Wanita itu mengangkat kepalanya dari layar komputer. “Ya, Tuan Lancaster?”
Adrian berjalan mendekat, menyandarkan satu tangan di meja kerja Evelyn dan menatapnya dalam-dalam. “Aku penasaran. Pernahkah kau mempertimbangkan mengambil cuti?”
Evelyn menatapnya datar. “Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena saya tidak membutuhkannya.”
Adrian tertawa pelan. “Manusia butuh istirahat, Evelyn.”
“Saya tidak seperti manusia lain.”
Jawaban itu membuat Adrian semakin tertarik. Ia tidak menunjukkan reaksinya, hanya mengangkat alis sedikit sebelum kembali ke kursinya.
“Baiklah,” katanya santai. “Katakan padaku jika suatu hari kau butuh cuti.”
“Saya tidak akan membutuhkannya.”
Adrian hanya tersenyum kecil. Evelyn benar-benar menarik—tapi bukan karena kecantikannya, bukan karena kecerdasannya, melainkan karena misterinya.
Dan Adrian Lancaster adalah pria yang selalu mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya.
Hari itu berlalu seperti biasa, dengan rapat-rapat yang panjang dan negosiasi yang melelahkan. Adrian tidak lagi membahas soal cuti Evelyn, tetapi ia menyadari bahwa sesekali, sekretarisnya itu tampak sedikit… terganggu.
Tatapannya kosong selama beberapa detik sebelum ia kembali bekerja. Tangannya sedikit lebih kaku saat mengetik.
Sesuatu telah terjadi.
Dan Adrian berencana mengetahuinya.
Ketika hari mulai gelap dan kantor sudah sepi, Adrian tetap tinggal di ruangannya, berpura-pura menyelesaikan dokumen penting. Ia memperhatikan Evelyn dari balik jendela kacanya.
Pukul 21.30, Evelyn akhirnya menyimpan dokumen terakhirnya dan menutup laptopnya. Wanita itu berdiri, merapikan kertas-kertas di mejanya, lalu mengambil tas tangannya.
Adrian segera keluar dari ruangannya. “Evelyn.”
Evelyn menoleh, sedikit terkejut, tetapi ekspresinya segera kembali netral. “Anda belum pulang, Tuan Lancaster?”
Adrian memasukkan tangannya ke dalam saku celana. “Tidak. Aku berpikir untuk makan malam. Ikut denganku?”
Evelyn mengerutkan kening. “Anda ingin saya menemani Anda makan malam?”
“Ya.” Adrian tersenyum. “Aku pikir sudah cukup lama kita bekerja bersama, tapi aku belum pernah benar-benar mengenalmu.”
Evelyn menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. “Baiklah.”
Mereka berdua berakhir di sebuah restoran mewah yang tidak terlalu ramai. Adrian memesan steak, sementara Evelyn hanya memesan salad dan segelas anggur merah.
Mereka makan dalam diam selama beberapa menit sebelum akhirnya Adrian memecah keheningan.
“Kau menerima telepon hari ini.”
Evelyn berhenti memotong saladnya, lalu menatap Adrian dengan ekspresi tenang. “Ya.”
“Dari siapa?”
“Itu bukan urusan Anda.”
Adrian terkekeh. “Tidak biasanya kau menjawab seperti itu.”
“Saya tidak suka membicarakan hal pribadi.”
“Kenapa?”
Evelyn meletakkan garpunya dan menatap Adrian lurus-lurus. “Karena tidak ada yang perlu dibicarakan.”
Adrian mendekatkan tubuhnya ke meja, menyipitkan mata. “Aku tidak percaya.”
Evelyn tetap diam, tetapi Adrian melihat cahaya aneh di matanya. Sesuatu yang hampir seperti… ketakutan.
“Kau bisa bekerja dengan sempurna, menghafal jadwal dan kebiasaan orang-orang di sekitarmu, dan selalu tampak tidak tergoyahkan,” lanjut Adrian. “Tapi hari ini, kau berbeda.”
Evelyn menarik napas pelan. “Saya hanya lelah.”
“Kau tidak pernah lelah.”
Evelyn menatapnya tajam, tetapi tidak berkata apa-apa.
Adrian bersandar ke kursinya, menyesap anggurnya. “Baiklah, kalau kau tidak ingin mengatakannya, aku tidak akan memaksa.”
Evelyn tetap diam, tetapi Adrian tahu satu hal pasti: Wanita itu menyimpan rahasia.
Dan entah kenapa, ia ingin menjadi orang pertama yang mengetahuinya.
Setelah makan malam, Adrian mengantar Evelyn ke mobilnya. Saat Evelyn hendak masuk ke dalam mobil, Adrian menangkap sesuatu dari sudut matanya.
Seseorang berdiri di seberang jalan, mengenakan jaket hitam dan topi, memperhatikan mereka dari kejauhan.
Adrian menyipitkan mata, tetapi begitu pria itu menyadari bahwa ia sedang diperhatikan, ia segera berbalik dan berjalan menjauh.
Evelyn yang menyadari perubahan ekspresi Adrian bertanya, “Ada apa?”
Adrian menatapnya lama sebelum menjawab, “Tidak ada.”
Namun, pikirannya mengatakan hal lain.
Seseorang sedang mengawasi mereka.
Dan itu berarti hanya satu hal—Evelyn Carter menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari yang ia duga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
ㅤㅤㅤ ㅤ🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🦆͜͡ 𝐀⃝🥀✰͜͡v᭄
ada yang mata²n mereka kah ko Adrian bisa tau.
2025-02-21
0