Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 TELAK!
Cintia berjalan menyusuri trotoar yang sepi, angin malam mengibaskan helaian rambutnya. Dalam kepalanya, percakapan dengan Raditya masih terulang jelas. Ia bisa melihat ketakutan di mata lelaki itu, bisa merasakan bagaimana genggaman kekuasaan perlahan berpindah ke tangannya.
Ia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, menatap layar yang masih menampilkan rekaman suara Raditya. Tanpa ragu, ia menyimpannya di folder khusus dengan label "Raditya—Babak 1". Ini baru permulaan.
Namun, ada satu masalah. Araf.
Cintia menghela napas pelan. Araf terlalu baik. Terlalu tulus. Lelaki itu tidak seharusnya terseret dalam semua ini. Tapi Cintia tahu, sebaik apa pun niatnya, kebohongannya akan menyakitinya.
Ponselnya bergetar di tangan. Nama Araf muncul di layar. Seolah pikirannya memanggilnya.
Cintia menatap layar itu beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat. "Halo?"
"Aku tunggu di depan rumah kamu," suara Araf terdengar serius. "Kita perlu bicara."
Ketika Cintia tiba di rumah kontrakannya yang kecil, Araf sudah berdiri di dekat motornya. Wajahnya sulit ditebak dalam cahaya lampu jalan.
"Kenapa nggak bilang dulu sebelum pergi?" tanya Araf begitu Cintia mendekat.
Cintia melipat tangan di dada. "Aku cuma butuh waktu sendiri."
Araf menatapnya lama, seolah mencoba membaca pikirannya. "Sendiri? Atau dengan Raditya?"
Jantung Cintia berdetak lebih cepat. "Kamu ngikutin aku?"
"Bukan aku yang ngikutin," jawab Araf pelan. "Tapi aku lihat mobil Radit keluar dari hotel. Lalu aku lihat kamu nggak ada di toko."
Cintia berusaha tetap tenang. "Jadi?"
Araf menghela napas panjang. "Cin, aku nggak ngerti kamu kenapa. Tapi aku tahu kamu bukan tipe orang yang gampang akrab sama orang yang pernah nyakitin kamu."
Kalimat itu seperti hantaman telak. Cintia diam.
"Aku nggak minta kamu cerita sekarang," lanjut Araf, suaranya lebih lembut. "Aku cuma mau kamu tahu... aku di sini buat kamu."
Cintia menggigit bibirnya, menatap Araf yang terlihat tulus. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin jujur, ingin mengatakan segalanya. Tapi ia tidak bisa. Tidak sekarang.
Jadi, ia hanya berkata, "Terima kasih, Araf."
Araf menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Aku nggak akan maksa kamu cerita. Tapi hati-hati, Cin."
Di dalam kamarnya yang gelap, Cintia duduk di tepi ranjang, memandangi layar laptopnya.
Nama Raditya masih terpampang di layar. Ia menggulir profilnya, membaca setiap komentar, setiap foto yang diunggahnya. Semua itu adalah bagian dari hidup yang sempurna—hidup yang Raditya dan orang-orang seperti dia jalani tanpa peduli betapa hancurnya hidup orang lain yang pernah mereka sakiti.
Cintia menekan ikon "pesan baru". Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard.
Cintia: "Kita perlu bicara lagi. Segera."
Raditya tidak langsung membalas, tetapi Cintia tahu ia pasti membaca pesannya.
Dan benar saja, beberapa menit kemudian, sebuah balasan masuk.
Raditya: "Apa lagi maumu?"
Cintia tersenyum kecil.
Cintia: "Tenang, aku cuma mau ngobrol. Kita ketemu besok malam, tempat yang sama."
Ada jeda beberapa saat sebelum balasan muncul.
Raditya: "Kalau aku nggak datang?"
Cintia: "Aku yakin kamu nggak mau ambil risiko itu, Radit."
Keesokan malamnya, Raditya datang.
Ia terlihat lebih waspada kali ini. Langkah.
...----------------...
Raditya menegang seketika. Matanya membelalak, dan untuk sesaat, ketakutan melintas di wajahnya. "Aku... aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan," katanya dengan suara yang berusaha terdengar tenang.
Cintia tertawa pelan, tapi matanya tetap dingin. "Oh, kamu tahu, Radit. Kamu cuma berharap aku lupa. Sayangnya, aku nggak pernah lupa."
Raditya menggeser tubuhnya sedikit, gelisah. "Kalau pun benar, itu sudah lama. Aku... aku masih anak-anak waktu itu, Cin."
Cintia menatapnya tajam. "Anak-anak? Itu alasanmu? Kamu mau bilang bahwa yang kamu lakukan dulu itu cuma main-main? Aku ingat dengan jelas bagaimana rasanya dikunci di ruangan gelap itu, bagaimana aku berteriak minta tolong, dan kamu cuma tertawa di luar pintu."
Raditya terdiam, rahangnya mengeras.
"Aku nggak minta maaf waktu itu karena aku pikir itu cuma lelucon," katanya akhirnya, suaranya lebih pelan. "Tapi kalau itu menyakitimu... aku minta maaf."
Cintia menyipitkan mata. "Maaf? Semudah itu?"
Raditya menunduk, menarik napas dalam-dalam. "Aku nggak bisa mengubah masa lalu, Cin. Aku tahu aku brengsek waktu itu. Aku nggak akan cari alasan. Tapi kalau kamu mau balas dendam, aku nggak tahu apa yang bisa aku lakukan."
Cintia memiringkan kepalanya, menatap Raditya seperti sedang menimbang sesuatu. "Aku nggak butuh permintaan maaf, Radit. Aku juga nggak mau denger alasanmu. Aku cuma mau satu hal."
Raditya menegakkan punggungnya. "Apa?"
Cintia tersenyum, lalu bersandar ke belakang. "Aku mau lihat kamu jatuh. Seperti kamu menjatuhkan aku dulu."
Raditya menggelengkan kepala. "Cintia, ini gila. Kita sudah dewasa. Apa pun yang terjadi dulu, kita harus melupakannya dan—"
"Dan membiarkan kamu hidup nyaman dengan segala yang kamu punya?" potong Cintia tajam. "Aku nggak lupa, Radit. Dan aku pastikan kamu juga nggak akan lupa."
Raditya berdiri, wajahnya merah karena emosi. "Aku nggak tahu apa yang kamu rencanakan, tapi aku nggak akan biarkan kamu menghancurkan hidupku."
Cintia tersenyum miring. "Kita lihat saja, Radit. Kita lihat siapa yang lebih kuat sekarang."
Raditya berbalik dan pergi, tapi Cintia tahu—dia ketakutan.
Malam itu, saat Cintia kembali ke rumah, ia menemukan Araf duduk di depan pintu rumahnya, menatap kosong ke arah jalanan.
Cintia mengernyit. "Raf? Kenapa di sini?"
Araf menoleh perlahan. Ada sesuatu di matanya yang membuat Cintia tidak nyaman.
"Kamu serius, Cin?" tanyanya pelan. "Kamu beneran mau ngelakuin ini?"
Jantung Cintia berdetak lebih cepat. "Maksud kamu?"
Araf menatapnya tajam. "Aku tahu kamu punya dendam ke Raditya. Aku nggak tahu apa yang dia lakuin ke kamu, tapi aku bisa lihat dari cara kamu bersikap ke dia. Aku nggak buta, Cin."
Cintia menelan ludah. "Terus?"
Araf berdiri, mendekati Cintia. "Aku nggak akan maksa kamu cerita. Tapi aku mau kamu jawab satu hal dengan jujur."
Cintia menegakkan punggungnya. "Apa?"
Araf menatapnya dalam-dalam. "Apa aku cuma alat buat kamu?"
Pertanyaan itu menghantam Cintia seperti pukulan keras di dada.
"Apa?" bisiknya.
"Apa aku cuma kamu manfaatin buat mendekati Raditya?" ulang Araf, suaranya terdengar lebih pelan, lebih sakit.
Cintia ingin mengatakan tidak. Ingin mengatakan bahwa Araf adalah satu-satunya orang yang ia pedulikan di dunia ini. Tapi... ia tidak bisa.
Karena sebagian dari dirinya tahu bahwa ia memang menggunakan Araf—walau bukan dengan niat jahat.
Keheningan yang terlalu lama itu sudah cukup menjadi jawaban bagi Araf. Ia tertawa kecil, getir.
"Aku ngerti sekarang," katanya pelan. "Aku harap kamu tahu apa yang kamu lakukan, Cin. Karena kalau kamu terus begini... kamu bukan cuma akan menghancurkan Raditya. Kamu juga akan menghancurkan dirimu sendiri."
Cintia menggigit bibirnya, menahan dorongan untuk memanggil Araf saat lelaki itu berbalik dan pergi.
Untuk pertama kalinya sejak ia memulai rencana ini, ia merasakan sesuatu yang asing di hatinya.
Keraguan.
Namun, tidak ada jalan kembali.
Keesokan harinya, Cintia duduk di depan laptopnya, menatap rekaman suara Raditya yang sudah ia simpan. Tangannya melayang di atas touchpad, jari-jarinya gemetar.
Hanya satu langkah lagi. Satu klik, dan semua orang akan tahu siapa Raditya sebenarnya.
Tapi di sudut pikirannya, wajah Araf muncul. Kata-katanya menggema di kepala Cintia.
"Kamu bukan cuma akan menghancurkan Raditya. Kamu juga akan menghancurkan dirimu sendiri."
Cintia menarik napas dalam-dalam, lalu menutup laptopnya.
Mungkin... mungkin ia perlu berpikir ulang.
kebanyakan dari lingkungan gw, ya emang gitu. baik support kita nyatanya orang yg seperti itu yg berbahaya. Keren Thor.
aku mampir kak, kalau ada waktu boleh lah support balik ke karya baru aku ok👌🤭