Wanita introvert itu akhirnya berani jatuh cinta, namun takut terlalu jauh dan memilih untuk berdiam, berdamai bahwa pada akhirnya semuanya bukan berakhir harus memiliki. cukup sekedar menganggumi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NRmala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dinda mulai tenang
Mendengar ucapan Laura, air mata Dinda kembali bercucuran. Bersamaan dengan itu, langit gelap pun ikut menangis. Laura yang memejamkan matanya sembari memeluk Dinda, langsung membuka matanya dan menengok ke arah luar jendela. Bahkan, langit pun mendukung dirimu untuk meluapkan segala luka yang tersimpan, Dinda. Batin Laura tersenyum.
Lima belas menit berlalu, air mata Dinda kini sudah mulai perlahan berhenti turun membasahi pipi dan baju Laura, yang tidak kunjung melepaskan pelukannya. Sedari tadi, mereka hanya terdiam menikmati berisiknya hujan dan menetesnya tangisan Luka yang dikeluarkan Dinda.
“Makasih ya, Laura.” Kata Dinda melepaskan pelukannya dan menghapus sisa-sisa basahan di pipinya.
“Sama-sama, Dinda. Bagaimana perasaaanmu sekarang?”
“Aku sudah lumayan lega, setelah mengeluarkan semua air mataku. Rasanya sudah kering.”
“Kalau begitu, kamu makan dulu.”
“Kamu tidak ingin bertanya apa yang sudah terjadi? Aku tahu, tadi kamu hanya mendengar seperempat dari percakapanku dengan kedua orang tuaku dan orang itu.”
Aku tahu, Dinda. Senandika Laura kembali berbicara.
“Aku tidak ingin bertanya apa pun, sampai kamu yang menyampaikannya sendiri, Dinda. Aku tidak ingin, pertanyaanku menjadi bebanmu.”
“Makanlah dulu. Tadi di Cafe, kamu hanya minum cappucino.”
"Aku sudah kenyang, Laura." Kata Dinda setelah tiga suapan.
"Iya sudah, yang penting perut kamu sudah terisi sedikit." Laura mengelus kepala Dinda penuh kasih sayang.
"Aku tidak bisa membayangkan tentang kamu yang sekuat sekarang, Laura," kata Dinda lirih. Laura hanya diam mendengarkan, memberi celah untuk Dinda bercerita, dan mengeluarkan beban di kepala dan hatinya.
"Aku tidak tahu, apa aku akan sekuat kamu, kalau pada akhirnya orang tuaku memilih untuk berpisah juga,” tambah Dinda.
"Awalnya, aku juga tidak sekuat sekarang, Din. Aku sangat hancur. Aku sulit menerima semua kenyataan yang datang. Tapi, aku sadar kalau pada akhirnya memang ini pilihan terbaik untuk mereka. Aku sayang sama mereka. Aku tidak mau egois memaksa kebahagiaanku. Sedangkan kedua orang tuaku malah terluka. Walaupun sampai sekarang, aku tidak tahu alasan pasti mereka memilih untuk berpisah." Jawab Laura setelah melihat Dinda seperti menunggu Laura menyampaikan sesuatu.
“Tapi, alasan orang tuaku bercerai itu terjadi di depanku secara langsung. Ibuku selingkuh, Ra. Aku bahkan belum mampu lagi memandang wajah Ibuku sekarang. Entah sudah berapa lama itu terjadi. Aku seperti anak bodoh yang bahkan tidak mengerti apa yang terjadi di antara kedua orang tuaku. Padahal, keluargaku selalu bersama dan terlihat harmonis.”
“Sebelum aku memberi kamu saran, aku minta maaf kalau ini terdengar seperti menggurui. Kita tidak tahu apa yang terjadi kepada seseorang kecuali orang itu bercerita sendiri. Kita hanya perlu berpikiran baik tentang orang lain, begitu pula dengan Ibumu. Siapa tahu, Ibumu punya alasan sendiri yang tidak dapat dijelaskan. Walaupun, apa yang dilakukan ibumu, tidak tepat untuk dibenarkan oleh agama kita. Tapi, sebagai anak, kamu boleh memberi saran. Dan kamu juga harus menerima apa yang menjadi keputusan mereka, Dinda. kamu juga tidak mau menyakiti Ayahmu dengan memaksanya untuk bersama Ibumu, kan? Jadi, biarlah keputusan mereka yang ambil. Sebagaimana hakikatmu sebagai anak untuk membahagiakan dan berbakti kepada mereka. Kamu hanya perlu mendoakan segala yang terbaik untuk keputusannya kelak. Minta bantuan kepadaNya, Dinda. InsyaAllah, semua yang sudah dikehendakNya adalah yang terbaik.”
Dinda hanya terdiam mendengar dan meresapi semua yang katakan Laura barusan. Begitu pula dengan Laura yang ikut terdiam melihat Dinda. Dan setelah beberapa menit kemudian, Dinda mulai berbicara kembali.
“Terima kasih ya, Laura. Aku sedikit lega telah mengobrol denganmu. Tidak apa-apa aku tidur di sini sampai pikiranku jernih? Mungkin aku akan mengambil cuti beberapa hari untuk menenangkan diriku.”
“Rumah ini selalu terbuka untuk kamu sampai kapan pun, Dinda. Kebetulan, aku juga libur kuliah seminggu ke depan.”
“Aku beruntung punya kamu sebagai sahabat aku, Ra.” Dinda tersenyum kepada Laura.
“Sebelum kamu mengatakan itu, aku yang susah punya teman ini, lebih beruntung kamu ada, Dinda.” Laura memeluk Dinda lagi. Ia sedikit lega, Dinda sudah mulai bisa tenang dan tersenyum lagi.
“Tadi, Arya memelukku memberi aku semangat, Ra. Aku merasa tenang saat itu terjadi.” Kata Dinda tiba-tiba setelah beberapa menit mereka kembali terdiam.
Aku tahu, Dinda. Aku bahkan melihat dan mendengar semuanya dari awal pembicaraan kalian, Dinda. Dan itu membuatku juga sakit, Dinda. Tapi aku ingin melihatmu bahagia. Lagi-lagi Laura hanya menyampaikan di dalam hati.
“Dinda, kamu tahukan, kalian itu bukan muhrim. Seharusnya itu tidak boleh terjadi, itu dosa DInda. Maaf ya, seandainya aku datang lebih awal, itu tidak akan terjadi.”
“Kamu tidak perlu meminta maaf, aku yang salah tidak bisa mengontrol diriku saat itu. Dia membuatku nyaman sampai menerobos ketidakharusan yang terjadi di antara kita.”
“Lain kali jangan seperti itu lagi ya, Dinda.”
“Siap, Bu Uztadzahku ... “ Mereka pun tertawa bersama.
“Tapi, Ra. Aku udah dewasa sekarang. Apa aku harus menyatakan perasaan sama Arya ya? Apa Arya ada perasaan ya sama aku?” Tanya Dinda serius menatap Laura yang duduk menatapnya juga.
“Kamu tahukan, pacaran itu tidak diperbolehkan, Dinda?”
“Aku hanya ingin mengutarakan dan ingin mengetahui isi hati Arya. Aku tidak berencana pacaran, Laura.”
“Kalau itu diperbolehkan.”
“Apa aku langsung ajak Arya nikah saja kali ya? Tidak apa-apa dong, kalau perempuan yang ajak nikah duluan. Iyakan, Ra?” Pertanyaan kesekian kali yang diutarakan Dinda mengenai Arya, yang berhasil membuat Laura terhentak dan terdiam.
“Ra, kok diam saja sih?” Tanya Dinda lagi.
“Aku tidak bisa berbicara apa pun, Dinda. Semua keputusan ada pada kalian. Kalau niatmu baik, tidak apa-apa, Dinda. Tidak ada aturan yang menjelaskan hanya laki-laki yang boleh melamar. Selagi niat perempuan baik.”
“Tapi, apakah dia akan menerimaku? Ataukah dia akan menolakku? Aku takut kalau seandainya aku ditolak dan dia sudah punya kekasih atau calon istri di Arab.”
“Aku yakin laki-laki baik dan beragama taat seperti Arya juga tidak berpacaran, Dinda. Walaupun mungkin saja dia mempunyai pilihan atau calon istri di sana. Tapi, kita tidak tahu bagaimana perasaanya atau mengenai calonnya itu kalau kamu tidak mengutarakannya, Dinda.”
Haha ... Pandai sekali aku menjelaskan dan memberi saran, padahal aku sendiri tidak sanggup mengatakan perasaanku pada Arya. Maafkan aku, Ya Allah. Batin Laura lagi menertawakan dirinya sendiri.
“Iya juga sih. Akan aku coba deh setelah urusan aku sama orang tuaku selesai.”
Laura hanya mengangguk. Mereka pun mulai mengobrol hal-hal random kembali dengan sedikit candaan menghalangi datangnya hujan untuk turun lebih deras lagi. Memberi kabar pada sang langit, bahwa hati yang luka itu sedang berusaha diobati.
enggak perlu tanda koma(,), langsung aja tanpa tanda koma