Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 - Romansa Dua Pria
Aku terdiam lama, memikirkan betapa perasaan malu ini menggebu-gebu. Bagaimana seorang profesor yang galak itu mampu bersikap semanis itu pada pembantu seperti ku?
"Maaf ya, menunggu lama." Pak Bima muncul dari balik pintu, membangunkanku dari lamunan. "Saya bawa makanan Lily juga, tadi kebetulan ada yang petugas rumah sakit yang antar di depan ruangan."
"Tapi, Lily belum bangun." Jawabku.
"Hmm... Ya sudah kita makan duluan saja."
"Pak Bima saja,"
"Kenapa?" Senyum Pak Bima lagi dan lagi merekah. "Masih marah?"
Aku langsung melirik ke sana kemari. Tersipu-sipu karena senyum manisnya yang meluluhlantakkan pertahanan diriku.
"Saya minta maaf, saya salah."
"Tidak marah, cuma kita gantian. Saya tunggu Lily dulu, Pak Bima makan duluan. Takutnya Lily bangun,"
"Nih," dia menyerahkan bungkus berisi makanan itu kepadaku. "Kamu saja yang duluan. Biar saya yang tunggui Lily."
Tak henti aku memandang Pak Bima dan bungkusan makanannya. Satu hal yang kusadari sepanjang malam ini kami berdebat; bahwa di balik sifat dinginnya tersimpan sisi yang tenang dan lembut, dan dalam sifat pendiamnya tersimpan kedalaman yang kuat dan penyayang.
"Kring! Kriiiiingg ....!"
Kami sama-sama terkejut, sebuah panggilan masuk di ponsel bututku.
"Ya? Ini siapa?" tanyaku.
"Sibuk tidak Mbak?"
Oh betapa terkejutnya aku mendengar suara Mas Andrean! Dia sungguh menelponku. Aku sedikit gugup, terutama karena ada Pak Bima di depanku sekarang.
"Tidak juga," jawabku. "Ada apa, Mas?"
"Apa yang sedang kamu kerjakan sekarang? Sudah makan malam belum?"
"Belum, saya baru saja mau makan ... "
"Makan apa?"
"Ayam bakar."
"Ayam bakar? baru tadi pagi aku belikan, malam ini langsung beli lagi. Suka ya Mbak? Atau ... Karena saya, jadi teringat buat beli lagi?" dia terkekeh.
"Hmm..." aku tergagap. "Saya suka semua makanan, Mas."
"Haha ... Baiklah, baiklah. Aku matikan dulu teleponnya. Mbak Julia makan dulu, jangan sampai kemalaman."
"Terima kasih, Mas."
Aku masih belum percaya dia menelpon ku di waktu malam hanya untuk menanyakan kegiatanku. Ini adalah pertama kalinya. Ada apa dengan dia? Malam yang membingungkan.
"Jangan melihat pada masa lalu,"
Begitu mendengar celetukan Pak Bima itu, Aku langsung berhenti memandangi ponsel. Pandanganku kini hanya fokus pada sosok pria yang duduk manis di depanku. Dia melempar tatapan masam ke arahku, sebanyak mungkin lontaran agar aku mau menanggapinya.
"Kalau memang ada orang lain yang mau datang, dan kamu mau menerimanya maka tidak ada salahnya membuka hati. Tapi ingat pesanku sebelumnya, sisakan satu celah untuk bagian terburuk, biar kalau terjadi sesuatu, kamu tidak akan kecewa." Pak Bima merem4s-r3mas handuk kecil di tangannya.
"Jangan selalu berpikir bahwa tidak ada laki-laki yang mau menerima masa lalu kamu. Tiap orang punya pertimbangan masing-masing."
Seraya menggertakkan gigi, Pak Bima beranjak dari kursi dan berdiri membawa baskom kompres dan handuk kecil bekas memandikan Lily sore tadi. Ketika hendak berbelok menuju kamar mandi, dia kembali menatapku dan berkata,
"Kamu kelihatan kusut. Jangan marah lagi padaku!"
Aku merasa seolah baru saja dilindas truk trailer delapan belas ban. Barusan dia seperti tengah merayuku untuk melupakan kekhilafannya. Dia itu, selalu bisa diandalkan untuk berbicara terus terang. Tetapi inilah salah satu waktu Pak Bima tidak ingin mendengar jalan pikiran ku terungkap dalam bentuk kata-kata.
"Saya memang tidak suka dengan mahasiswa ingusan itu. Tapi, kalau dia adalah awal kebahagiaan kamu, saya tidak akan larang lagi..."
Aku terdiam menyimak kata-katanya.
Jika dia tersinggung karena aku barusan di telpon Mas Andrean disaat dia baru saja meminta ku menjauhinya, Apakah maknanya dia cemburu karena mengesampingkan status palsu kami? arghh ... Atau bahkan tiba-tiba mendadak bilang boleh, asalkan aku bahagia, karena Pak Bima tidak ingin aku bersedih? Ahhh Pak, mengapa kamu sulit ditebak.
Pak Bima ...
Selalu mampu membuat orang lain berada dalam keadaan bingung dan dilema.
Dengan perasaan seperti sekarang, seandainya Pak Bima tidak buru-buru pergi dari tempat ini, aku mungkin akan menghambur kepadanya dan memaafkannya. Apa saja agar aku bisa berada lagi di dalam pelukannya, seperti pertama kali aku ke rumahnya. Ketika dia melindungiku dari ketakutan pada halilintar, saat aku tenggelam dalam dadanya, bahkan hanya beberapa detik sentuhan fisik dia mampu menenangkan hatiku yang terusik.
Sementara seluruh indra ku berputar pada bayangan Pak Bima, aku di kejutkan oleh suara serak basah yang menggambarkan kemaskulinan majikanku yang luar biasa,
"Mau duduk di situ terus?"
"Hah?"
Aku menoleh ke samping, rupanya sudah ada Pak Bima yang datang dengan penampilan yang basah dan berantakan. Nampaknya baru selesai cuci muka.
"Sana makan! Biar kita bisa gantian. Sebenarnya aku kurang mengerti, tapi nanti pacarmu marah lagi karena tahu kamu belum makan."
Aku tersenyum kecut. "Apa sih Pak?! Bukan pacar ya! Cuma teman."
Begitu menarik kursi di samping ku, Pak Bima mendudukinya dan membantu buka kotak makanan untukku. "Nih, makan. Kalau di sini susah, pindah di sofa sana saja, ada meja."
Pemandangan langit di malam hari ini pun akan kalah bila di sandingkan dengan tingkah Pak Bima yang begitu lembut dan menenangkan. Rasanya jantungku mau copot karena terlalu terpesona dalam perlakuannya yang menghanyutkan. Tapi, ah, indahnya. Aku harus tetap tenang, tidak gugup; meski kenyataannya aku hanya bisa berpura-pura tenang dan berpura-pura tidak gugup.
Ku ambil makanannya, barulah setelah itu ku makan dan kutelan. Awalnya enak-enak saja, apalagi kalau sambil melihat Pak Bima.
Dari kejauhan sana, di sebelah barat cakrawala, mendung tebal menggantung, seakan mengancamku. Lengkap dengan Sorot mata dan perilaku majikanku yang demikian menghanyutkan, entah bagaimana ia begitu mampu mencuri maaf dariku di balik pembawaan dirinya yang kaku. Tetapi, senyumannya itu tak bisa membohongi ku. Aku jatuh cinta pada lengkungan bibirnya.
"Aw," aku merintih.
Tiba-tiba saja perutku keram, sontak saja ku tekan untuk mengurangi sakitnya. Namun, beruntungnya aku, karena Pak Bima menghalanginya.
"Kenapa?" dia menatapku lekat-lekat. lagi-lagi dengan ekspresinya yang menyimpan rasa khawatir dan takut.
"Keram... "
"Kamu punya sakit asam lambung? ... " tanyanya, "Kamu telat makan, jadi bisa saja kambuh."
"Tapi saya tidak punya riwayat penyakit lambung Pak ..."
"Terus keram kenapa?"
Kami saling bertatapan. Barulah aku meyakini satu hal,--- dengan cepat aku berlari ke kamar mandi meninggalkan Pak Bima yang kebingungan.
Dan, ya jelas... Hasilnya sesuai dugaan ku.
"Julia?" Pintu kamar mandi diketuk berkali-kali oleh Pak Bima, sedangkan aku masih menahan sakitnya di dalam.
"Kamu baik-baik saja? Kenapa lama sekali?!"
"Pak ... " ku buka celah pintu sedikit.
"Hm?"
"Perut saya sakit..."
"Sakit bagaimana? Ayo keluar, saya bantu panggil dokter ya?! Kita periksakan."
"Tidak perlu pak!" Tampikku sebelum dia benaran pergi ke luar, panggil dokter. "Saya datang bulan...."
...****************...