Sekuel Novel Cincin yang Tertinggal
Kisah seorang laki-laki yang mengejar cinta wanita berhijab namun tak pernah berbalas. Hanya karena sesuatu yang terjadi akhirnya laki-laki itu mau menikahi wanita tersebut walaupun terpaksa.
Menikah dengan orang yang sangat dicintai adalah
impiannya namun menjadi pengantin pengganti bukanlah keinginannya.
Akankah rumah tangganya langgeng?
Yuk ikuti kisah mereka yang seru, menarik dan inspiratif hanya di Bukan Aku yang Kau Cinta.
Like, komeng and subcribe Terima kasih💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 Awal Bekerja
Keira dan Meira berjalan menembus keramaian pengunjung mall yang semakin bertambahnya waktu semakin ramai. Mereka menuju basement untuk mengambil mobil Keira. Mereka berjalan sambil membahas perihal pekerjaan Meira yang akan digeluti di rumah kakak sepupunya.
"Kamu serius ambil job di sana? Jaraknya lumayan jauh loh sekitar 3 jam dari sini. Kalau memang engga sanggup biar aku yang akan cari penggantinya. Kamu juga harus bisa jaga kesehatan Mei!" Ujar keira sanksi mengingat jarak tempuh kontrakan dengan rumah Blu itu lumayan jauh. Apalagi pekerjaan perawat bukanlah pekerjaan yang mudah ditambah lagi basic Meira yang bertolak belakang dengan pekerjaan yang akan ia geluti.
"Aku sudah yakin Kei. Mau bagaimana lagi. Aku butuh biaya untuk melanjutkan kuliahku mengingat orang tuaku sedang kesulitan perekonomian. Aku enggak mau membuat mereka kepikiran dengan masalah pendidikanku. Bisa-bisa aku disuruh berhenti kuliah dan dipaksa kawin sama juragan pete, kan rugi masa orang cantik seperti aku dapatnya juragan pete sih." Curhat Meira yang membuat bibir Keira menyunggingkan senyuman.
"Yah Mei lebih baik juragan pete dari pada juragan jengkol ha...ha...ha...tapi dua-duanya bau. Kamu harus tahan nafas mencium aroma yang membuat orang klepek-klepek tapi ketagihan juga." Keira terus tertawa. Lalu terdiam.
"Ya sudah kalau memang menurutmu sanggup tidak apa-apa kerja di sana. Hanya masalahnya kamu sendiri masih kuliah sementara jadi perawat itu harus standby di sana, apa kamu bisa bagi waktu antara kuliah dan kerja?" Lanjut Keira yang sebenarnya tidak tega jika Meira harus bekerja di sana setiap harinya. Apalagi harus mengorbankan kuliahnya.
"Kalau untuk itu aku belum tahu. Tapi yang pasti aku akan mencobanya. tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini."
"Oke aku hargai keputusanmu. Terus kesana mau naik apa?"
"Naik bus saja lebih murah." Mengingat uang yang ada di dompetnya hanya pas-pasan.
"Bentar aku pesan taksi online saja ya!" Saran Keira tanpa menghentikan langkahnya dan mengambil benda pipih tersebut dari tasnya.
"Jangan Kei! Uangku tidak cukup." Cegah Meira dengan jujur.
"Pake uangku." Jawabnya singkat.
"Kamu yakin uangmu masih ada? Tadi habis belanja lo!"
"Oh iya, bentar aku cek dulu." Keira menghentikan langkahnya lalu membuka dompetnya. Ternyata zonk, kartu ATM tidak dibawa satu pun.
"Yaaah benar uangku sisa sepuluh ribu saja, gimana dong?" Keira mengeluarkan uang sepuluh ribuan dari dompetnya dan memperlihatkan isi dompetnya pada Meira.
"Sudah engga apa-apa. Simpan saja uangmu. Aku pergi!" Meira membalikkan badannya. Baru saja hendak beranjak dari tempat itu, Keira mencekal langan kirinya.
"Eeeh tunggu dulu, aku antar sampai terminal ya!" Tawarnya tulus.
"Engga usah. Kan kamu juga mau mengantar ibunya bang Kasdun." Tolak Meira dengan senyuman.
"Kamu hati-hati ya Kei. Jaga calon mertuamu dengan baik." Lanjutnya.
"Kamu juga hati-hati. Semoga kamu bisa menemukan jodohmu di sana." Ujar Keira yang mengharapkan Meira dan Blu bisa bersatu.
****************
Butuh perjuangan untuk sampai di rumah Blu. Padatnya penumpang bus yang ia tumpangi membuat kepalanya kliyengan. Pengap, sumpek, gerah menjadi satu padahal di luar hujan cukup deras. Belum lagi sang sopir menyetir ugal-ugalan membuat para penumpang histeris karena kondisi cuaca yang tidak mendukung, jalanan sudah dipastikan licin yang menjadikan mereka khawatir bisa terjadi sesuatu.
Dengan jalan sempoyongan Meira turun dari bus yang memacu adrenalin. Gerimis rintik-rintik membuat badannya kedinginan, namun ia memcoba untuk bertahan. Kedua tangannya memeluk tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang biasa tergerai indah kini terlihat awut-awutan.
"Assalamualaikum Pak Diman tolong bukain pintu pagarnya Pak!" Teriak Meira sambil menggedor-gedor pagar besi rumah Blu.
Satpam yang mendengar teriakan Meira dengan cepat membukakan pintu pagar. Ia cukup kaget melihat kedatangan Meira malam-malam begini.
"Pak, Mas Blunya ada?"
"Ada Neng, masuk aja. Mas Blu di dalam kamar sepertinya beliau sudah tidur."
Meira berjalan dengan cepat menghampiri rumah megah yang baru kedua kalinya ia pijaki. Meira membuka pintu kamar Blu dengan hati-hati khawatir Blu terbangun dan mengetahui keberadaannya sehingga ia bisa marah kalau dirinya baru datang.
Meira merasa kasihan pada Blu yang sekarang sedang terbaring di kamarnya. Ia menghampiri pembaringan Blu sambil membawa obat-obatan yang harus diminum malam itu, lalu meletakannya di atas nakas.
Meira bisa menatap Blu sepuasnya. Ia merasa bersalah sudah mengabaikan pekerjaannya merawat Blu. Semoga saja tidak disunat honornya atau bahkan yang lebih fatal jangan sampai ia dipecat.
Meira sangat membutuhkan biaya untuk membayar kontrakan bulan depan sebagai pengganti uang yang ia gunakan untuk membayar makan siang tadi. Meira tidak ingin memberatkan kedua orang tuanya yang hidupnya pas-pasan. Pekerjaan apapun akan Meira kerjakan semampunya sebagai bentuk rasa sayangnya pada keluarga.
"Maaf ya Blu aku tidak bisa tepat waktu untuk datang ke sini." Gumam Meira sambil menutupi tubuh Blu dengan selimut. Tidak lama kemudian dia pun beranjak pergi menutup pintu kamar dengan pelan agar Blu tidak terbangun.
Sepi itulah yang Meira rasakan saat ini. Berada di rumah Blu yang megah tanpa ada orang satu pun. Entah kapan orang tua Blu akan pulang. Rasa kasihan pada laki-laki itu menjalar hatinya. Tidak mudah melewati kehidupan seorang diri disaat tubuh tidak berdaya.
Meira tidak berani untuk pulang malam ini, ia mengambil bantal sofa untuk dijadikan alas penopang kepalanya. Namun sebelumnya ia sempatkan ke toilet untuk membersihkan diri. Ia menyadari pakaiannya yang setengah basah dan rambutnya yang belum kering.
Tubuh Meira menggigil selepas dari toilet. Ia memejamkan mata. Beruntung di dapur dekat toilet terlihat ada beberapa pakaian kaos oblong, celana training dan jaket tebal yang tersampir di jemuran besi ukuran kecil. Ia mengambilnya dan langsung masuk toilet untuk mengganti pakaiannya yang basah. Dengan cepat ia membungkus tubuhnya dengan pakaian tersebut. Ia tidak peduli pakaian tersebut kebesaran saat ini ia hanya ingin tubuhnya bisa hangat dengan pakaian tersebut.
Matanya masih mencari benda lain untuk menutupi telapak kakinya. kaos kaki ia ambil dari dalam sepatu, entah milik siapa. Pening di kepalanya mulai menjalar, ia tidak sanggup berlama-lama berdiri. Kakinya melangkah cepat menuju sofa di ruang keluarga. Awalnya ingin membuat teh panas tapi ia urungkan karena tubuhnya merasa tidak kuat lagi.
Tepat pukul 01.00 WIB Blu membuka matanya. Ia berpikir sejenak ketika melihat selimut yang menutupi tubuhnya. Ia merasa sebelum tidur tidak mengenakan selimut tersebut. Bibirnya tersenyum mengingat mamanya yang pasti memberi kejutan pulang ke rumah tanpa memberi tahu terlebih dahulu.
Dilihatnya di atas nakas sudah tersedia obat, air putih dan roti. Mengingat dirinya belum minum obat malam itu, ia pun makan roti terlebih dahulu. Setelah selesai Blu keluar kamar untuk memastikan keberadaan mamanya.
"Maaa mama sudah pulang? Paaa papa juga sudah pulang?" Namun tak ada yang menyahut. Ia mengambil kruk dari samping tempat tidurnya. Dengan tertatih ia keluar. Hendak ke kamar ibunya untuk memastikan keberadaan ibunya.