Dijodohkan sejak bayi, Zean Andreatama terpaksa menjalani pernikahan bersama aktris seni peran yang kini masih di puncak karirnya, Nathalia Velova. Memiliki istri yang terlalu sibuk dengan dunianya, Zean lama-lama merasa jengah.
Hingga, semua berubah usai pertemuan Zean bersama sekretaris pribadinya di sebuah club malam yang kala itu terjebak keadaan, Ayyana Nasyila. Dia yang biasanya tidak suka ikut campur urusan orang lain, mendadak murka kala wanita itu hendak menjadi pelampiasan hasrat teman dekatnya
--------- ** ---------
"Gajimu kurang sampai harus jual diri?"
"Di luar jam kerja, Bapak tidak punya hak atas diri saya!!"
"Kalau begitu saya akan membuat kamu jadi hak saya seutuhnya."
-------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 - Permintaan Maaf Yang Sesungguhnya
Kaki Syila terasa lesu, dia berdiri di hadapan Zean seraya menunggu apa yang harus dia perbaiki. Sebenarnya hal semacam ini sudah biasa, memang begini watak Zean dan kerap kali menguji kesabaran. Akan tetapi, untuk kali ini sepertinya Zean benar-benar menghukumnya lantaran masalah pribadi.
"Pak."
Suaranya pelan sekali, sejak tadi Zean fokus dengan rubik di tangannya. Tidakkah dia berpikir betapa lamanya Syila menunggu tanpa kepastian di sana.
Zean masih memilih diam, tangannya cekatan dengan mata yang luar biasa fokus seakan tidak bisa diganggu. Syila yang kesal dan merasa diabaikan tanpa dizinkan duduk sejak awal masuk lama-lama naik darah.
"Zean."
"Hm? Kenapa, Syila," jawabnya lembut tanpa menatap ke arah sang istri yang kini tengah mengatur napasnya.
"Mana yang harus diperbaiki, sudah dua puluh menit saya menunggu Bapak bermain tanpa ada ujungnya ... sudah saya katakan bahwa saya tidak berniat membahas privasi Anda, yang seharusnya Anda perlakukan seperti ini pak Yudha, bukan saya."
Zean berhenti, dia menatap wajah sang istri yang kini merah padam menahan amarah. Wajar saja sebenarnya, siapapun di posisi Syila berhak sekali marah. Apalagi, sejak tadi Zean sengaja abaikan dan kakinya mungkin saja pegal berdiri di hadapan Zean.
"Bapak dengar saya tidak sebenarnya?!" kesal sekali dia, ingin rasanya rambut Zean dia tarik sampai akarnya jika bisa.
Pria itu tersenyum simpul, dia mengembalikan mainannya itu ke laci meja dan kini beranjak mendekati sang istri. Tatapannya terlihat santai, berbeda jauh dengan Syila yang menyimpan kekesalan luar biasa padanya. Zean menundukkan tubuhnya kala berada satu langkah di hadapan Syila, istrinya yang kini masih dibungkam emosi karenanya.
"Marah? Kamu tahu berapa lama aku menunggumu di kamar tadi pagi? Lebih dari dua puluh menit," ungkap Zean sontak membuat Syila menelan salivanya pahit.
Suaminya pendendam, padahal sudah dijelaskan jika dia lama karena hendak meluruskan kesalahpahaman Sulastri padanya. Dia paham memang salah, akan tetapi seharusnya Zean mengerti dan tidak membalaskan dendamnya dengan cara yang begini.
"T-tapi soal itu, bisakah jangan dibawa-bawa ke tempat kerja? Itu masalah kita di rumah, bukan kantor."
"Awalnya memang begitu, tapi sepertinya tidak bisa."
Zean jujur, awalnya dia memang akan melupakan hal itu sejenak. Namun, setelah melihat Syila bersama Yudha tadi, mendadak jiwa semena-menanya ingin menghukum Syila.
"Apa maksudnya? Ja-jangan gila ya, ini masih pagi dan aku sudah rapi."
Tidak ada kata tidak jika Zean menginginkan sesuatu, pria itu melingkarkan tangan ke pinggang ramping sang istri. Tidak peduli bagaimana tadi kemarahannya pada Zean, karena mau bagaimanapun seorang Syila tidak bisa menolaknya.
Pikiran Syila sudah semengerikan itu, yang benar saja jika Zean nekat meminta haknya di sini. Mau bagaimana nanti setelahnya, akan tidak lucu jika Syila acak-acakan padahal baru jam sembilan pagi.
Zean menatap pergelangan tangannya, dua jam lagi Nathalia akan datang ke kantor untuk menemuinya. Tentu saja hal itu sesuai kesepakatan mereka pagi tadi. Nathalia baru kembali dengan alasan pekerjaannya, sementara hari ini mereka harus makan siang bersama orangtua Nathalia, jelas saja sandiwara seperti yang sudah-sudah harus dia lakoni.
"Aku bisa tidak brutal," bisik Zean hingga Syila berdesir tak karuan, dia mundur beberapa langkah. Namun, bukannya berhasil menciptakan jarak, hal itu kian membuat mereka kian dekat.
Sadar istrinya berusaha selalu menghindar, Zean tersenyum tipis hingga pinggang Syila kini membentur meja. Habislah dia, mau menciptakan jarak dengan cara apa jika Zean sudah berhasil menghimpit tubuhnya.
.
.
Hanya beberapa centi jarak mereka, hidung yang sama-sama mancung itu kini bersentuhan. Syila dibuat tak berkedip kala wajah pria taman di hadapannya ini semakin mendekat saja, apa tubuhnya tidak pegal menunduk begitu, pikir Syila.
"Aku marah, Syila ... minta maaflah selagi kesempatannya masih ada," ucap Zean pelan sekali, terbiasa dengan judesnya Zean membuat Syila mabuk kepayang.
Dia mungkin sudah gila, Syila mengingat ucapan Yudha tentang Nathalia dan dugaan jika suaminya sehancur itu karena wanita. Tidak ingin dia sama saja seperti Nathalia yang membuat benak Zean tersiksa, Syila tiba-tiba mengalungkan tangan ke leher sang suami.
"Maafkan aku jika tadi pagi mengecewakanmu," ucapnya kemudian dengan begitu tulus dan mengecup bibir Zean penuh kelembutan.
Perlakuan manis kesekian yang membuat Zean berbunga-bunga. Dia belum pernah salah tingkah persis anak pubertas begini. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Zean meraup bibir Syila kala beberapa detik sang istri melepas kecupannya.
Memang salah kenapa seekor kucing diberi ikan asin, harusnya Syila meminta maaf dengan ucapan saja, tanpa harus mengecup bibirnya juga. Tidak peduli bagaimana nasib lipstiknya setelah Zean lummat sedemikian rupa, pria itu memang benar-benar terlihat haus terhadap wanita.
Sepertinya Syila harus terbiasa latihan atur napas, pikir Syila kemudian lantaran jika sudah berada dalam pelukan sang suami, Syila pasti berakhir dengan napas terengah dan dada yang bergemuruh tak karuan.
"Ja-jangan lama-lama, aku bisa mati, Zean."
"Jangan ditahan napasnya," ucap Zean terkekeh dengan tangan yang kini sudah mengangkat rok pendek Syila hingga pinggangnya. Wajar saja tadi pagi Zean meminta Syila sedikit berbeda dari penampilan biasanya.
Napas Syila kian tertahan kala matanya melihat dengan jelas Zean membuka ritsleting celana. Pria itu tidak bercanda dan tampaknya benar-benar menuntut hutang Syila tadi pagi. Dia mendudukkan sang istri ke atas meja sebelum kemudian membuat Syila menganga dengan kepala yang menengadah kala dia merasakan sensasi yang masih asing merasuki tubuhnya.
Dia hanya ingin menuntaskan rindunya. Setelah semalam gagal lantaran drama atap bocor, lalu tadi pagi kehadiran Sulastri membuatnya sakit kepala, kini Zean ingin mencurahkan rasa itu pada Syila dengan perlahan dan membuat istrinya melayang tanpa menguras tenaga berlebih.
"Apa masih sakit?" tanya Zean di sela kegiatannya membuat Syila meracau halus. Zean merasa dirinya sudah selembut itu menggerakkan pinggangnya, kenapa Syila masih terlihat kesakitan.
Tidak, bukan itu yang Syila rasakan. Dia hanya berusaha menahan dessahannya agar tidak lolos dan mengimbangi permainan Zean yang luar biasa tenang. Sengaja menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Zean karena jika dia tidak begitu bibirnya tidak bisa kompromi sama sekali.
Sayangnya, meski sekuat itu dia berusaha Syila tetap memekik ketika Zean berhasil membuatnya melayang di pagi ini. Tidak ada rambut acak-acakan, Zean benar-benar memikirkannya. Pria itu tersenyum simpul ketika menatap wajah lemas istrinya, padahal permainan mereka sehalus itu, tapi tetap saja Syila tidak mampu setenang Zean.
"Aku maafkan kali ini, lain kali jangan pernah menolakku apapun alasannya," ucap Zean yang hanya mampu Syila jawab dengan anggukan pelan lantaran kini masih berusaha mengatur napasnya.
.
.
- To Be Continue -