Zanna Kirania mendapatkan seorang kakak laki-laki setelah ibunya menikah lagi. Dia jauh dari bayangan Zanna tentang seorang kakak. Cuek, dingin, tidak peduli dan kasar.
Semua berubah saat mereka saling mengenal satu sama lain dan akhirnya menjadi seperti sebuah keluarga yang bahagia. Tapi itu tak lama sampai kedua orang tua mereka meninggal karena kecelakaan. Lalu Kiran mendengar kakaknya menyalahkan ibunya karena membuat ayahnya meninggal. Kiran yang marah memutuskan untuk pergi dari rumah untuk tinggal dengan bibinya di kota lain.
Mereka terpaksa bertemu setelah 7 tahun kemudian, karena pekerjaan baru Kiran. Pertemuan itu mengejutkan Kiran, karena yang menunggunya di rumah adalah seorang pria dewasa yang sangat tinggi dan tampan. Benarkah dia kakaknya yang dulu?
Apakah mereka akan menjalin hubungan sebagai keluarga lagi atau malah sebagai sepasang kekasih? Apa boleh Kiran mencintai seseorang yang dulu dibencinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena Prasetyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
"Kiran selamaaaat!!!"
Kiran tertawa melihat Putri dan Cia yang berebut menampakkan wajah di layar ponselnya.
"Makasih"
"Akhirnyaa"
"Iya nih"
"Sebulan ya nunggu?" tanya Putri lalu merebut layar untuknya sendiri
"Iya. Sebulan lebih dikit"
"Berarti mulai bulan depan kamu udah bisa terima Tunjangan dong?"
"Iya. Menurut SK gitu harusnya"
Kiran senang sekali karena akhirnya ditempatkan di Bagian Tanaman Pangan. Dia sudah menunggu sebulan lebih untuk ini. Tapi semua penantiannya seakan berbuah manis. Dia memiliki atasan yang kelihatannya baik dan tidak suka berteriak seperti yang sebelumnya.
"Sayang banget kita jauhhh. Jadi gak bisa rayain sama-sama deh" keluh Cia lalu memajukan bibirnya.
"Kan kita bakal ketemu bulan depan di acara wisuda kamu" kata Kiran tidak ingin bersedih di hari bahagianya.
"Kamu beneran dateng ya. Kalo gak aku gak bakal telpon kamu lagi"
Cia selalu mengancam dengan manis. Membuat Kiran tidak bisa bilang tidak pada temannya ini.
"Iya. Aku berangkat hari Jumat sore dan sampai disana jam dua pagi. Aku bakal langsung ke rumah kamu nanti"
"Oke. Aku bakal nunggu"
Selain pergi ke acara wisuda Cia, Kiran juga ingin bertemu dengan Bi Tia. Dia merindukan Bibinya yang masih sibuk meskipun baru saja menikah itu. Tapi malam ini dia hanya ingin menghabiskan waktu dengan teman-temannya meskipun hanya melalui video call.
"Besok kamu tugas lapangan pertama ya?" tanya Putri yang berhasil merebut ponselnya dari Cia.
"Iya"
"Kemana?"
"Ke daerah Batu. Katanya harus bimbing anak kuliah yang lagi praktek gitu. Aku harus ngomong apa coba"
"Keluarkan aura gurumu"
"Aura guru apaan? Ada-ada aja"
"Ya udah. Mending kamu istirahat aja sekarang. Biar besok siap menghadapi apapun yang terjadi"
"Oke. I love you" ucap Kiran lalu merasa sedih karena harus mengakhiri teleponnya.
Tapi dia memang harus beristirahat untuk besok. Akhirnya dia mengalami juga yang namanya tugas lapangan, Walau tidak tahu apa yang harus dilakukannya nanti. Yang terpenting dia siap untuk segala situasi dan tidak melupakan dokumen yang harus dibawa. Kiran menyiapkan semuanya dan mulai berbaring di atas kasurnya yang empuk. Terdengar suara gemerisik daun yang diterpa angin, tapi tidak lagi membuat Kirn takut. Dia mulai terbiasa dengan kesendiriannya di rumah ini. Juga karena dia yakin tidak ada binatang yang paling dibencinya di rumah ini. Selama satu bulan kembali ke rumahnya lagi, Kiran bersyukur tidak mengalami hal-hal yang menyusahkan seperti hari-hari pertamanya di Malang dulu. Sepertinya tukang yang membersihkan tikus juga memperbaiki beberapa bagian rumah yang rusak parah. Jadi sekarang dia bisa tidur dengan nyenyak.
Paginya, Kiran sudah siap mengambil dokumen yang diperlukan untuk tugas luar dari atasan barunya, Pak Wahyu. Tapi di kantor atasannya ada Bu Desi yang sepertinya senang sekali.
"Kiran, kamu dinas luar kali ini akan ditemani Bu Desi" kata pak Wahyu mengejutkan Kiran.
"Apa Pak?"
Kemarin Kiran yakin tidak melihat nama Bu Desi di disposisi Kepala Dinas. Kenapa sekarang seperti ini?
"Iya. Bu Desi hanya menemani jadi tidak perlu dicantumkan dalam SPD" terang pak Wahyu lagi.
Menemani? Sepertinya Kiran bukan anak kecil yang butuh ditemani lagi. Tapi dia tidak mungkin mengatakan itu di hadapan Pak Wahyu. Kiran tidak mengatakan apa-apa lagi dan mengambil SPD dari atasannya lalu bersiap untuk keluar kantor. Padahal baru saja satu minggu dia lepas dari teriakan dan tugas tak masuk akal yang selalu diberikan Bu Desi. Sekarang dia harus menahan amarah selama seharian penuh.
"Ayo naik" kata Bu Desi lalu berdiri di depan mobilnya.
Wahhh, padahal Kiran sangat senang bisa dinas luar kali ini. Keluhnya lalu mendesah kesal.
"Terima kasih Bu" jawabnya malas saat masuk ke dalam mobil Bu Desi.
"Jangan keliatan banget gak sukanya. Aku sebenernya juga gak suka kalo dinas luar sama kamu. Cuma aja sekarang terpaksa" jelas Bu Desi membuat Kiran heran. Kalau terpaksa bukankah harusnya dia tidak ikut? Kenapa juga harus menemani meskipun tidak mendapatkan uang SPD? pikir Kiran lalu diam sepanjang perjalanan.
Tapi ... ada yang berbeda dengan Bu Desi hari ini. Mantan atasannya itu kelihatan senang sekali. Senyum mengembang dan tidak beranjak dari wajah Bu Desi. Apa ada yang menyenangkan dari tugas luar ini? Atau Bu Desi baru saja menghabiskan malam di rumah Kak Dhika? Seperti malam sebelum dia pulang ke rumahnya lagi. Saat dia melihat kak Dhika memeluk erat tubuh Bu Desi sampai membuatnya memalingkan wajah dan kembali ke kamar dengan dada sesak. Meski terkejut dengan selera kakaknya yang ... aneh. Kiran tidak bisa ikut campur lagi dengan masalah pribadi kakaknya. Karena dia yang memutuskan untuk menjauh dari kehidupan kak Dhika.
"Perlu kamu ingat ya. Perkebunan yang kamu akan datangi ini besar sekali. Jangan sampai tersesat dan menyusahkan aku" kata Bu Desi tiba-tiba saat mobil memasuki sebuah gapura besar dengan tulisan Perkebunan Pranaja.
Tunggu ... perkebunan Pranaja? Kenapa Kiran sepertinya mengenal nama perkebunan itu? Tidak hanya nama, tapi Kiran mengingat jalan yang dia lalui sekarang. Dia juga mengingat empat Green House besar yang tampak jauh disana. Apa ini? Bukan. pasti bukan, pikirnya.
"Ini tempatnya Bu?" tanyanya berusaha mengkonfirmasi.
"Iya. Emangnya kamu pikir dimana? Bagus kan perkebunan ini? Ingat ya. Jangan sampai tersesat karena perkebunan ini luas banget. Cepet keluar sana dan lakukan tugasmu. Aku mau pergi nemuin pemiliknya dulu"
Kiran berdiri kaku di sebelah mobil. Dia melihat Bu Desi berjalan dengan semangat ke sebuah rumah kecil yang berada di dekat sana. Rumah itu, Kiran mengingatnya. Bahkan jalan yang sedang diinjaknya sekarang, ada di dalam ingatannya. Dia pernah ke tempat ini. Tidak hanya sekali. Tapi berulang kali sampai bisa menghapal apa-apa saja yang ada di perkebunan ini.
"Ini ... perkebunan ayah" katanya lalu berjalan dengan perlahan ke arah green house.
Dulu, saat akhirnya mereka menjadi dekat seperti keluarga yang sesungguhnya. Kiran selalu diajak ayah Burhan pergi ke perkebunan.Kadang dengan kak Dhika yang saat itu belum setinggi sekarang. Kalau dia berjalan terus melewati green house, maka disana ada tempat yang menjadi favoritnya di perkebunan ini.
"Ada"
Dia menemukannya. Sebuah pondok kecil dengan tempat duduk dari kayu jati gelondongan. Pondok yang berada tepat di depan sungai kecil tempatnya berenang dulu. Kiran masih bisa melihat bayangan ayah Burhan yang selalu menemaninya berenang di sungai itu. Tapi sungai yang dilihatnya sekarang tidak bisa lagi dipakai berenang. Airnya terlalu dangkal dan berbatu. Tapi ini benar pondok yang sering didatanginya setiap kali ayah Burhan mengajaknya ke perkebunan.Semua kenangan itu seperti terlintas di hadapannya. Membuat kakinya lemas sampai harus bersandar di tiang pondok.
"Ayah"
Tak terasa air matanya menetes, mengingat orang yang selalu membelikannya milkshake strawberry itu.