Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekilas Masa Lalu
Atas janjinya pada Karmina, Yuniza sudah menunggu di depan gerbang sekolah untuk mencari alamat tempat tinggal Badrun. Sesekali ia melihat jam tangan, lalu memandang lagi ke arah gedung dengan cat berwarna putih yang dipadukan dengan kombinasi abu-abu pada bagian jendela dan pintu di setiap ruangan.
Saat melihat satu per satu siswa keluar dari gerbang sekolah, wanita berhijab itu turun dari mobilnya. Tak disangka, ia berpapasan dengan Dewa yang kebetulan akan pergi sebentar ke tempat fotokopi di seberang sekolah.
"Dewa!" panggil Yuniza menghampiri lelaki itu. "Kamu Dewa anaknya Pak Guntur, kan?"
Seketika, Dewa terdiam, mengingat-ingat kembali sosok wanita yang memanggil namanya itu. Sambil mengerutkan dahi, ia bertanya, "Ibu ini ... Oh! Bukannya Ibu ini dokter forensik yang menangani papa saya, ya?"
"Iya," jawab Yuniza tersenyum simpul. "Bagaimana kabarmu dan ibumu, Dewa? Kamu udah nggak kepikiran buat mengakhiri hidup lagi, kan?"
Dewa tersenyum getir sembari menggeleng pelan. "Ibu saya sudah meninggal. Sekarang saya tinggal sendirian."
Terperangah Yuniza mendengar ucapan Dewa. Diusapnya pundak lelaki itu seraya berkata, "Saya turut berduka cita yang sedalam-dalamnya, ya. Pasti berat jadi kamu, tinggal sebatang kara tanpa orang tua dan saudara. Tapi ... kamu masih semangat buat hidup, kan? Saya yakin, masih banyak orang-orang di sekitar kamu yang menyayangi kamu."
"Tenang aja, Bu. Saya nggak kepikiran buat mengakhiri hidup, kok. Justru saya semakin semangat buat tetap bertahan hidup. Saya nggak boleh kalah sama orang-orang serakah yang udah menghabisi papa dan mama saya," tutur Dewa, dengan sorot mata penuh dendam.
"Apa kamu masih dendam sama mereka?" Yuniza menatap iba pada lelaki yang bertubuh sedikit lebih tinggi darinya itu.
Dewa mendesah kasar, lalu menatap Yuniza dengan tajam.
"Ya, saya ngerti sama yang kamu rasakan. Tapi, ada baiknya kamu mengalihkan fokus pada hal lain yang lebih berguna buat masa depan kamu," ujar Yuniza menepuk pundak Dewa.
Dewa menyunggingkan senyum di satu sudut bibirnya, lalu menggeleng pelan. "Bagi saya, tidak ada yang lebih berguna selain menggulingkan para bedebah itu dari takhtanya. Saya nggak akan lupain mereka sebelum mereka mendapatkan hukuman yang setimpal."
"Dewa, sebaiknya kamu sayangi diri sendiri. Nggak ada gunanya kamu menyimpan dendam sama mereka. Mereka itu orang yang berkuasa dan memiliki harta berlimpah. Saya justru lebih takut, kalau hidup kamu terus dihantui oleh ancaman-ancaman dari mereka," bujuk Yuniza.
"Lalu, apa bedanya dengan bunuh diri, Bu? Setidaknya aku sudah berjuang buat menghabisi mereka, ketimbang mati konyol tanpa melakukan perlawanan," sanggah Dewa geram, kemudian berlalu menyeberangi jalan.
Sementara itu, Karmina yang sejak tadi memperhatikan Yuniza dan Dewa, segera berlari menuju keluar gerbang sekolah tatkala sang ketos tiba di tempat fotokopi. Ia memandang Yuniza dengan mengerutkan dahi, merasa heran mendapati sang dokter begitu akrab mengenal Dewa.
"Bu Yuniza kenal sama Dewa?" tanya Karmina tanpa basa-basi.
"Eh, Karmina." Yuniza menoleh pada gadis berambut pendek itu seraya bertanya, "Sejak kapan kamu keluar kelas?"
"Baru aja, Bu," jawab Karmina singkat. "Ibu belum jawab pertanyaan saya. Sejak kapan Ibu kenal sama Dewa?"
"Sebaiknya kita ngobrol-ngobrolnya di mobil aja, ya," saran Yuniza.
Karmina tertegun, lalu mengikuti Yuniza memasuki mobil. Setelah pintu mobil ditutup dan memakai sabuk pengaman, Yuniza melajukan mobilnya meninggalkan sekolah. Adapun Karmina, merasa tak sabar mendengar penjelasan Yuniza mengenai perkenalannya dengan Dewa.
"Apa sekarang Ibu bisa ceritain awal perkenalan Ibu sama Dewa? Saya perhatikan dari tadi, kayaknya kalian udah lama saling kenal," tanya Karmina.
"Ya, memang kami sudah lama saling kenal. Saat ayah Dewa ditemukan meninggal, saya sendiri yang mengautopsinya," jawab Yuniza sambil memegang kemudi.
Tercengang Karmina mendengar jawaban Yuniza. "J-Jadi ... Bu Yuniza juga ikut jadi saksi atas kasus kematian ayahnya Dewa?! Astaga!"
"Lebih tepatnya saksi ahli. Banyak sekali bukti kekerasan fisik di sekujur badan ayahnya Dewa, bahkan jika saya ceritakan, kamu nggak bakalan sanggup mendengarnya," tutur Yuniza, suaranya terdengar bergetar ketika teringat kembali pada proses autopsi Pak Guntur empat tahun lalu.
"Emangnya bukti apa saja yang ibu temukan saat mengautopsi jenazah papanya Dewa? Apa berupa pukulan atau tikaman pisau di beberapa bagian badannya?" tanya Karmina penasaran, sembari menoleh pada Yuniza.
"Kamu beneran sanggup buat mendengarnya?" tanya Yuniza ragu-ragu.
Karmina mengangguk yakin. "Saya sanggup, Bu. Bagaimanapun juga saya perlu tau apa yang bikin Dewa ngebet banget buat balas dendam. Apa karena papanya dipukuli dan ditikam benda tajam, bikin Dewa jadi dendam kesumat?"
Yuniza menggeleng pelan. "Lebih dari itu. Kekerasan fisik yang diterima oleh papanya Dewa lebih sadis dari sekadar pukulan dan tikaman benda tajam. Dari bukti-bukti yang saya peroleh bersama tim, telah terjadi penyiksaan lebih dulu sebelum akhirnya korban meregang nyawa. Saya menemukan, di sekujur tubuhnya ada bekas cambukan, sayatan silet, dan lesakan peluru di bagian kerongkongan yang menyebabkan beberapa organ dalamnya hancur," ungkap Yuniza.
Mendengar penuturan Yuniza, sekujur tubuh Karmina seketika merinding dibuatnya. Terbayang sosok Pak Guntur saat menemuinya pertama kali, ketika hujan deras tengah malam. Sekujur tubuh pria paruh baya yang ringkih bersimbah darah, membuat Karmina ketakutan setengah mati kala itu.
"Bukan hanya itu saja. Alat vitalnya dikebiri, bahkan saluran terakhir pencernaannya rusak seperti para pria yang gemar melakukan penyimpangan. Kamu pasti mengerti maksud saya, kan?" lanjut Yuniza, sesekali melirik Karmina.
Merasa tak sanggup lagi menyimak penuturan Yuniza, Karmina menutup kedua telinganya. "Cukup, Bu!" ujarnya.
"Kan saya udah tanya sebelumnya, kamu sanggup atau enggak dengerinnya?"
"Itu ngeri banget, loh, Bu! Ibu hebat banget bisa meriksa korban pembunuhan sampai sedetail itu," decak Karmina terkesima.
"Sudah tugas saya sebagai dokter forensik memeriksa korban sampai serinci mungkin. Kalau cuma alakadarnya doang, sih, kayaknya kamu juga bisa," seloroh Yuniza sambil melirik Karmina sebentar.
"Saya cuma anak sekolahan, Bu. Ketemu langsung sama papanya Dewa aja takut, apalagi meriksa badannya," sanggah Karmina.
Seketika, Yuniza menghentikan mobilnya. Terkejut ia mendengar pernyataan Karmina. Dengan mata membelalak, wanita itu memandang gadis di sebelahnya dengan tatapan heran.
"Kamu pernah ketemu sama papanya Dewa?! Kapan? Di mana?" tanya Yuniza dengan suara gemetar.
"Di rumah saya, tengah malam."
Yuniza menghela napas dalam-dalam dan tertegun.
"Ada apa, Bu?"
"Arwah papanya Dewa masih belum tenang rupanya," desis Yuniza menatap nanar ke depan.
"Emangnya Ibu pernah didatengin papanya Dewa juga?" Karmina memandang Yuniza lekat-lekat.
Yuniza mengangguk. "Kejadiaannya sudah lama sekali. Tapi selepas seratus hari kematiannya, saya nggak pernah didatangi lagi. Mungkin karena tekad Dewa membalas dendam semakin kuat, beliau nggak menuntut keadilan lagi lewat saya."
"Begitu, ya."
"Ah, sebaiknya sekarang kita cari alamat Badrun. Kamu sudah tanya-tanya sama temen kamu, kan?" cetus Yuniza mengalihkan pembicaraan.
Karmina mengangguk. Yuniza melajukan kendaraannya kembali, menuju lokasi kejadian perkara tempat terakhir Badrun dihabisi.
Beberapa tempat dilewati oleh Karmina dan Yuniza. Gadis berambut pendek itu berusaha mengingat kembali petunjuk dari Dewa, sembari mengarahkan jalan pada sang dokter. Pasar dan lokasi jembatan yang tak jauh dari sana, menjadi hal penting dalam pencarian alamat Badrun.
Ketika melewati pasar, Karmina melihat sekelebat bayangan seorang gadis belia yang meminta pertolongan pada Badrun. Dalam penerawangannya, gadis itu berlari menuju pria tua yang sedang mangkal di bawah pohon pinggir trotoar. Semakin Yuniza melajukan mobilnya meninggalkan pasar, pandangan Karmina tentang kilas balik peristiwa malam itu semakin jelas.
"Kira-kira di mana, ya, lokasi kejadian terakhir Badrun berada?" kata Yuniza tak sabar.
"Terus maju aja, Bu," ujar Karmina.
Dalam penglihatan Karmina, tampak bayangan Badrun sedang kepayahan mengayuh sepedanya. Rasa letih bercampur panik terpancar jelas di wajahnya yang keriput nan kusut. Sementara di kursi penumpang, ada si gadis belia yang kelihatan cemas sambil sesekali menoleh ke belakang.
Saat tiba di sebuah jembatan, Karmina menyuruh Yuniza untuk berhenti. Keduanya turun dari mobil, sambil memperhatikan lokasi terakhir Badrun dan gadis belia yang ditolongnya.
"Apa ini lokasinya?" tanya Yuniza.
Karmina mengangguk, kemudian menunjuk pinggir jembatan. "Di sini Badrun ditendang-tendang oleh preman sampai tercebur ke kali," jelasnya.
"Berarti ... bisa jadi tempat tinggalnya tidak jauh dari sini." Yuniza memandang Karmina dengan tatapan nanar.
"Kita coba telusuri beberapa tempat di sekitar sini. Mungkin kita bisa nemuin tempat yang kumuh dekat jembatan layang," usul Karmina.
Yuniza mengangguk setuju, kemudian bergegas masuk ke mobil, disusul Karmina di belakangnya. Setelah semuanya siap, Yuniza mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia berharap, alamat Badrun dapat ditemukan hari itu juga.
Perlu waktu lama untuk mereka berdua menelusuri setiap jalanan serta persimpangannya. Dugaan Yuniza yang semula berpikir jarak antara kediaman Badrun dan lokasi kejadian perkara tidak begitu jauh, ternyata terpatahkan setelah hampir satu jam mengelilingi daerah itu. Akhirnya, Yuniza berhenti sejenak memandang Karmina sambil mengembuskan napas pelan.
"Coba kamu terawang di mana tempat tinggal Badrun. Kita udah muter-muter tapi nggak nemuin daerah kolong jembatan yang kumuh," ujar Yuniza, terdengar letih.
"Kita harus mencarinya sedikit lebih jauh, Bu," kata Karmina memandang lurus ke depan.
Yuniza melajukan lagi kendaraannya. Kali ini, ia mengemudikan mobilnya lebih jauh dari lokasi kejadian Badrun dihabisi. Wanita itu tak habis pikir, bahwa riwayat hidup jenazah yang ditanganinya rupanya cukup berat. Terbukti dari jarak pasar sampai kediamannya yang kumuh, terbilang cukup jauh jika ditempuh oleh becak.
Kendati demikian, usaha memang tak pernah mengkhianati hasil. Pencarian Yuniza dan Karmina berhenti di sebuah lingkungan kumuh di kolong jembatan tol. Dokter forensik bersama gadis SMA itu turun dari mobil, kemudian melangkah menuju daerah padat penduduk yang kumuh, becek, dan kotor.
Bau busuk bercampur asap kendaraan seakan menjadi sambutan selamat datang bagi keduanya. Alih-alih merasa jijik, Yuniza dan Karmina berjalan dengan santai memandangi betapa memprihatinkannya kondisi penduduk yang bermukim di bangunan-bangunan semi-permanen. Kebanyakan dari mereka merupakan pemulung, pengamen, pedagang kecil, bahkan pengemis jalanan.
Ketika berjalan memasuki area kumuh itu lebih dalam, Karmina mendapati seorang wanita berdaster dengan rambut diikat asal-asalan, sedang memilah hasil rongsokan di pinggir bangunan semi-permanen yang terbuat dari triplek dan kardus. Gadis itu menepuk punggung Yuniza, lalu membisikkan bahwa wanita lanjut usia yang sedang mengurus barang rongsokan di sana merupakan istri Badrun. Tanpa banyak berpikir, keduanya segera menghampiri wanita yang sedang sibuk memasukkan botol bekas ke dalam karung.
"Permisi, Bu. Apa kami bisa minta waktunya sebentar buat ngobrol sama Ibu?" sapa Yuniza dengan suaranya yang lemah lembut.
Wanita itu berdiri, memandangi dua perempuan yang berpenampilan rapi dengan mengernyitkan kening. "Siapa kalian? Mau ngobrolin apa sama saya?"
"Kami mau membicarakan soal Pak Badrun," jelas Yuniza.
Bergetar hati wanita itu mendengar nama suaminya disebut oleh Yuniza. Botol rongsokan di tangannya seketika jatuh di luar kesadarannya.