Tentang Jaemin, seorang kakak yang memiliki tanggung jawab menjaga adiknya yang didiagnosa memiliki riwayat kanker darah atau luekimia.
Hidupnya kejam, namun kehadiran sang adik mampu membuat kekejaman dunia seakan tak terasa.
Jisung, sang adik. Ia mengidap leukimia. Keadaannya yang kian hari kian memburuk, wajah pucat, tubuh yang semakin lama semakin kurus, dan rambut yang terus rontok akibat kemotrapi.
Keadaan sang adik mengharuskan Jaemin untuk menjadi sosok kakak sekaligus orang tua untuk Jisung. Jaemin terus bekerja keras demi kebahagiaan dan kesembuhan sang adik.
Jaemin tidak pernah memikirkan dirinya sendiri yang bahkan juga tidak baik baik saja. Baginya, Jisung adalah yang nomor satu.
Jaemin memang sesayang itu dengan Jisung, pun sebaliknya. Mereka bergantung satu sama lain. Hingga maut yang jahat, terpaksa harus memisahkan keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yayasie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harus Sembuh
Hari ini, langit Korea Selatan nampak cerah setelah beberapa hari belakangan ini dirundung hujan. Cerahnya langit Korea tidak seperti suasana hati Felix yang mendung. Hari ini adalah hari pernikahan Lee Freya dan Na Hyun Seo. Pernikahan sang Mama. Sejak tadi, Felix pundung, ia mengunci dirinya di dalam kamar. Tak sudi menghadiri Pesta Pernikahan yang tidak ada gunannya sama sekali, pikirnya.
"Felix.. jangan kayak gini, Nak." Itu suara sang Mama yang terus membujuknya untuk keluar.
Tak ingin disulut amarah yang berakhir membuat sang Mama sakit hati, Felix memilih untuk menyumpal telinganya dengan earphone dan bermain game diponselnya.
Suara ketukan pintu dan teriakan sang Mama kini tergantikan dengan alunan musik sendu yang kontras dengan suasana hatinya. Bodoh. Itu akan malah membuatnya menangis, seharusnya lagu bergenre Pop atau Rock yang ia putar, agar suasana hatinya yang mendung itu beralih cerah, secerah langit Korea pagi ini.
Felix kira, dengan bermain game akan membuat moodnya yang semula berantakan menjadi membaik. Nyatanya, itu semakin memperburuk moodnya, lantaran ia malah marah marah, menyumpah serapahi Hyunjin yang payah dalam bermain game.
"Bangsat!" Beralih ia membanting ponselnya kesembarang arah. Lalu melepas dengan brutal earphone yang menyumpal telinganya. Ia yang semula tiduran di ranjang, lantas bangkit menaiki kursi rodanya, melajukannya ke dekat jendela.
Tatapannya kosong menatap jendela yang terbuka lebar, memperlihatkan matahari yang begitu cerah. Lantas setelah ia termenung menatap jendela cukup lama, atensinya beralih menatap sebuah foto berukuran kecil tertempel di tembok dekat jendela. Foto dirinya bersama sang Mama di kebun binatang yang dipotret beberapa tahun yang lalu, mungkin saat Felix masih duduk di Sekolah Dasar.
Seulas senyum kecut terbit pada bibir laki laki berambut blonde itu saat melihat senyum bahagia sang Mama, senyum yang mampu membuat Felix merasakan bahagia pada hari itu. Meskipun sang Mama setiap hari bersedia tersenyum untuknya, nyatanya, senyum itu terasa tak sama seperti senyum yang ada pada foto itu.
"Felix takut, Ma.." Suara beratnya itu bergetar karena menahan cairan bening dari pelupuk matanya yang siap terjun kapan saja.
"Felix takut Mama nggak bahagia sama Laki laki sialan itu!" Tangannya mengepal, sembari terus membunuh Na Hyun seo dalam kepalanya.
"Gara gara dia, gue jadi cacat!" Tangannya yang tadi mengepal, ia gunakan untuk menonjok tembok dihadapannya.
"Mama.." Berakhir ia menangis, menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang mulai basah akibat air mata yang terus berjatuhan. Felix malu, ia malu jika harus menangis di depan foto sang Mama yang tersenyum manis.
...🕊🕊🕊...
Jisung terbaring lemah di atas ranjang setelah ia memuntahkan semua isi perutnya. Wajahnya pucat pasi. Sungguh, Jaemin benci melihat Jisung yang seperti ini, ia rindu Jisung yang biasa mengusilinya, mengajaknya jalan jalan, ia rindu Jisung yang cerewet, yang apa apa selalu diceritakan kepada Jaemin. Bayang bayang Jisung yang tertawa puas kini melintas dipikirannya, ia rindu, rindu dengan Jisung beberapa tahun yang lalu. Jisung yang masih sehat dan mampu tersenyum tanpa luka.
"Kita ke Rumah Sakit sekarang, ya?" Jaemin berkata pada Jisung dengan suara parau.
Jisung menggeleng lemah. "Jisung nggak apa apa, Kak. Jisung lemes tuh karena efek operasi kemarin mungkin. Serius, Jisung nggak apa apa." Lantas setelahnya ia mengulas senyum. Senyum yang seolah olah mengatakan pada Jaemin bahwa ia baik baik saja.
Jaemin tidak sebodoh itu untuk mengangguk dengan ucapan Jisung. Jaemin tahu pasti, Jisung berbohong. Jika memang efek operasi, tidak mungkin akan separah ini.
"Katanya mau belajar naik sepeda? Masih mau nggak?" Jaemin tertawa pelan sembari membelai surai Jisung.
"Mau.." Jisung memanyunkan bibirnya dan mengedip ngedipkan matanya. "Belajarin Jisung dong, Kak.. Jisung pengen bisa naik sepeda."
Jisung menjitak kepala Jisung. "Makannya nurut sama Kakak! Ayo ke Rumah Sakit. Nanti kalo udah balik dari rumah sakit, Kakak ajarin kamu naik sepeda."
"Takut jarum suntik. Sakit." Jisung memang paling benci dengan jarum suntik. Dan setiap kali ia berada di Rumah Sakit, ia selalu mendapatkan suntikan berkali kali.
"Yakin nggak mau belajar naik sepeda nih?" Jaemin menaik naikkan kedua alisnya.
"Kak.. jangan gitu dong. Jisung beneran takut loh sama jarum suntik." Jisung memberenggut.
"Taman kota tuh ya kalo sore enak banget suasananya. Apalagi kalo sepedahan di sana sambil makan ice cream. Wahhh, nikmat dunia tuh." Jaemin terus menggoda Jisung agar adiknya itu mau dirawat di Rumah Sakit untuk sementara waktu.
"Jisung? Nggak lama kok. Satu minggu mungkin." Jaemin mengangkat kedua jemarinya di depan dada sembari menunjukkan dua jemarinya.
"Satu minggu tuh lama, Kak!" Jisung mencebik. "Tapi.. demi sepeda nggak apa apa deh."
Lantas setelahnya Jisung terdiam. Ia menatap sepasang bola mata Kakaknya yang teduh namun nampak lelah. Walau bibir Jaemin menunjukkan senyum bahagia, Jisung tahu di baliknya pasti ada beribu ribu luka yang disembunyikan.
"Kak.." panggil Jisung dengan suara lemahnya.
"Hm? Kenapa, Dek?" tanya Jaemin.
"Kalau sekiranya itu ngebebanin Kakak, Jisung nggak apa apa kok kalau nggak dibawa ke Rumah Sakit." Wajah pucatnya itu nampak sendu.
Jaemin kembali menjitak kening Jisung. "Kamu tuh adik Kakak! Sama sekali nggak ngebebanin. Sekali lagi bilang gitu, Kakak jitak lagi mau nih?" Jaemin berancang ancang hendak menjitak Jisung lagi.
"Jangan dong.. peluk aja maunya." Jisung tersenyum manja. Menunjukkan deretan gigi giginya yang rapi.
Jaemin terkekeh. Lantas setelahnya ia memeluk tubuh rapuh Jisung yang terbaring lemah di atas ranjang. Dapat keduanya rasakan, rasa nyaman yang mendera, rasa nyaman yang tak ingin keduanya lepaskan, rasa nyaman yang ingin selalu mereka rasakan.
"Kakak sayang Jisung nggak?" Jaemin terkekeh mendengar pertanyaan itu.
"Kalo nggak sayang ya udah Kakak buang kamu ke rawa rawa. Becanda, Jisungg. Kakak sayang banget sama kamu. Lebih dari apa pun itu. Jangan tinggalin Kakak, ya?"
"Kakak yang jangan tinggalin Jisung!" Entah, tapi nada bicara Jisung terdengar meninggi. Seakan benar benar tidak ingin kehilangan Jaemin.
"Iya, iya. Kamu juga, ya? Jangan tinggalin Kakak."
...🕊🕊🕊...
"Saya tidak salah dengar? Kamu mau mengajak Jaemin ke acara pernikahan kamu. Memangnya kamu siapa? Ayah? Tidak pantas!" Nenek benar benar ingin menampar Na Hyun Seo karena sedari tadi laki laki itu bersikeras untuk membawa Jaemin ke acara pernikahannya.
"Jaemin mana?! Saya tidak butuh ceramah dari anda! Mana Jaemin, dia anak saya, saya berhak melakukan apa pun karena saya ini Ayahnya!" bentak Hyun Seo.
Jaemin dan Jisung keluar dari rumah, mereka sudah siap hendak berangkat menuju Rumah Sakit. Dan Jaemin dibuat terkejut dengan kedatangan Ayah yang masih terlalu pagi. Tidak dengan Jisung yang sangat senang, karena ini kesempatan ia bisa memaki maki sang Ayah yang telah seenak jidatnya menjual rumah peninggalan sang Bunda.
Wajah Jisung terlihat tidak enak saat menatap Ayah. "Balikin rumah Bunda!" Tidak basa basi atau apalah itu terlebih dahulu, Jisung langsung mengatakan itu, karena sungguh, ia kesal bukan main.
"Diam kamu!" bentak Ayah sembari menatap Jisung dengan tatapan tajam.
"Jaemin, ikut saya!" Bertepatan setelah Ayah mengatakan satu kalimat itu, dengan cepat Jisung menggandeng lengan Jaemin, seakan tak membiarkan siapapun itu membawa Kakaknya pergi. Siapapun.
"Lepasin anak saya!" Tatapan Ayah benar benar terlihat ingin menerkam Jisung saat itu juga.
"Ayah nggak ada hak buat ambil rumah itu! Nggak ada sama sekali!" Mata Jisung memanas menahan tangis.
"Jisung... udah, nanti biar Kakak yang bicara sama Ayah." Jaemin berbisik pada Jisung sembari menggenggam telapak tangan adiknya.
"Nanti Jaemin datang. Sekarang Jaemin mau antar Jisung ke Rumah Sakit dulu." Jaemin mengerti maksud kedatangan Ayah kemari untuk menjemputnya dan bersama sama ke acara pernikahan Ayahnya. Semalam, Ayah mengirim sms kepada Jaemin.
"Nggak! Nggak boleh! Biar dia ke Rumah Sakit sendiri aja! Jaemin, ingat! Dia bukan adik kandung kamu, jangan segitunya kamu peduli dengan dia!" Ayah mencekal pergelangan tangan Jaemin.
"Lepasin!" Nenek menepis tangan Ayah.
"Anda jangan ikut ikut!" Ayah mendorong Nenek.
Tidak terima karena Ayah telah mendorong Nenek, Jisung lantas membalas perbuatan Ayah tirinya itu dengan balik mendorongnya.
Brukk
Namun Ayah tidak terjatuh karena bisa menjaga keseimbangannya. Lagian, tenaga Jisung terlalu lemah untuk mendorong Ayah yang tenanganya sekuat kebo.
Tangan Ayah mengepal, kesal karena menurutnya perbuatan Jisung barusan terkesan tidak sopan. Tanpa pikir panjang, Ayah melayangkan tonjokan pada perut Jisung.
Mata Jaemin membelalak lebar melihat itu. Ia menopang tubuh Jisung yang akan tumbang. "Jangan berani sentuh Jisung!" Jaemin menatap Ayah dengan tatapan benci.
Ayah menarik paksa lengan Jaemin, hingga membuat Jisung terjatuh.
"Ayah!" bentak Jaemin.
"Berani kamu berbicara dengan nada tinggi dengan Ayah hanya gara gara dia si penyakitan itu, ha?!" Ayah menatap Jaemin dengan tatapan nyalang.
Nenek membantu Jisung berdiri. Jisung yang tadinya sudah sangat lemas, kondisinya menjadi bertambah semakin lemas, tenaganya benar benar hilang, hingga tak lama setelahnya, pandangannya mengabur, kesadaran Jisung terenggut, laki laki itu pingsan.
"Jisung?!" Jaemin menghempaskan tangan sang Ayah dan segera membopong Jisung, berlari meninggalkan pekarangan rumah tanpa mempedulikan sang Ayah.
...🕊🕊🕊...
"Detak jantungnya melemah, Dok!"
"Usahakan untuk terus berdetak!"
"Semakin lemah, Dok!"
"Bisa. Pasti bisa. Coba sekali lagi!"
Dokter Kim dan beberapa awak medis lainnya tengah berusaha mati matian untuk menormalkan kembali detak jantung Jisung yang kian detik kian melemah. Seakan tidak ingin berdetak lagi.
Bunyi EKG masih berbunyi, namun sangat pelan, kontras dengan detak jantung Jisung saat ini.
Jisung terbaring lemah tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit dengan pakaian bagian atasnya yang sudah terbuka, memperlihatkan dadanya yang tengah ditempelkan dengan alat alat medis.
Kini, detak jantung Jisung benar benar semakin lemah, hingga Dokter Kim dan beberapa awak medis lainnya nyaris tak dapat mendeteksinya.
"Pasti bisa. Coba lagi!" Dokter Kim terus berusaha untuk kembali menormalkan detak jantung Jisung. Atensinya menatap laki laki yang seharusnya bahagia di luar sana bersama dengan teman seusianya, namun malah harus terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, bergantung dengan alat alat medis. Berjuang melawan penyakitnya yang mematikan.
"Saya akan berusaha!" Setelah mengusap lembut punggung tangan Jisung. Dokter Kim kembali sibuk untuk menyelamatkan nyawa Jisung.
"Dokter, jantungnya benar benar tidak berdetak sekarang!"
"Ambil alat pemacu jantung, cepat!"
"Tapi-"
"Cepat! Dia tidak boleh mati! Dia harus bahagia seperti yang mendiang ibunya minta!" Nafas Dokter Kim berderu tak beraturan, mati matian laki laki berusia nyaris kepala 4 itu menahan air matanya untuk tidak jatuh dikeadaan seperti ini.
Salah satu perawat berlari mengambil alat pemacu jantung. Tak lama setelahnya, perawat itu kembali dan menyerahkan alat pemacu jantung itu pada Dokter Kim.
Pacemaker jantung atau alat pemacu jantung adalah sebuah alat kecil bertenaga listrik yang digunakan untuk membantu jantung berdetak lebih teratur, tidak terlalu lambat atau cepat, sehingga jantung dapat memompa darah ke seluruh tubuh dengan optimal.
Dokter Kim mulai menyalakan alat tersebut, ia menarik napas dalam dalam, sembari memanaskan alat tersebut untuk memastikan sengatan listriknya sudah cukup untuk membangkitkan detak jantung Jisung, dalam hatinya terus memanjatkan doa kepada Tuhan, agar alat ini berhasil membuat detak jantung Jisung kembali normal.
Dokter Kim mengangguk, mengisyaratkan pada para awak medis untuk memulainya.
"Baik, Dokter!"
Perlahan, Dokter Kim mulai menaruh alat tersebut pada dada Jisung, menekannya sedikit, kemudian mengangkat alatnya.
"Perhatikan detak jantungnya pada layar monitor EKG. Sudah berdetak atau belum?" tanya Dokter Kim. Yang diharapkan tak sama seperti kenyataan. Dokter Kim benar benar panik, namun ia tetap harus bersikap profesional.
Dia harus bahagia, jangan biarkan dia menderita seperti aku..
"Fokus!" gumam Dokter Kim. Dokter Kim mencaci dirinya dalam hati. Kenapa bisa dalam keadaan kepalang serius seperti ini, suara itu harus mengalun.
Tak menyerah, Dokter Kim mencoba sekali lagi. Dokter Kim kembali menaruh alat tersebut pada dada Jisung, menekannya sedikit, kemudian mengangkat alatnya.
"Bagaimana?!"
Terdengar helaan nafas dari salah satu perawat yang berada di dekat Dokter Kim. Sebelum akhirnya Dokter Kim mendengar langsung ucapan menyakitkan itu terdengar.
"Tetap sama seperti tadi."
"Kamu pasti akan menjadi dokter yang hebat. Selamat atas keberhasilanmu. Nanti, kalau aku sudah nggak ada, kalau Jisung sakit, rawat dia, ya?" Perempuan dengan gaun putih itu tersenyum kecil sembari menggendong bayi laki laki yang terlihat begitu mirip dengan dirinya.
"Kalau ngomong jangan ngelantur gitu!" Laki laki dengan baju wisuda itu menepuk pelan perempuan di hadapannya.
"Aku janji, aku akan rawat kamu sampai sembuh." Laki laki itu terus mengkhawatirkan kondisi perempuan di hadapannya yang saat ini tengah mengidap Leukimia.
"Jangan khawatirin aku terus. Aku nggak pa- pa. Aku cuma khawatir aja, kalo aku pergi, siapa yang jaga Jisung nanti?"
"Kamu nggak akan pergi. Kamu akan sembuh."
"Semoga aja." Perempuan itu menggidikkan bahunya sembari tersenyum.
Hingga saat percobaan terakhirnya, alat itu berhasil membuat jantung Jisung kembali berdetak normal. Walau belum sepenuhnya sadar, namun Dokter Kim sangat bersyukur karena alat pacu jantung ini berhasil membuat detak jantung Jisung tak melemah seperti tadi.
Dokter Kim akhirnya bisa bernapas lega. Ia menjatuhkan air mata yang sedari tadi ia tahan. Tak peduli akan tatapan para perawat yang menatapnya dengan tatapan aneh.
...🕊🕊🕊...
"Saya ingin berbicara dengan kamu." Jaemin mengangguk dan mengikuti langkah Dokter Kim menuju sebuah ruangan khusus milik Dokter Kim.
Setelah sampai pada ruangan yang sepi- hanya ada mereka berdua, Dokter Kim membiarkan Jaemin duduk pada kursi yang berada di depannya.
Wajah Jaemin terlihat pucat, matanya pun sembab sekaligus sayu, karena akhir-akhir ini, ia hanya menghabiskan malamnya untuk menangis alih-alih tidur.
"Kamu merawat Jisung dengan baik?" Suaranya memang tenang, namun terdengar begitu mengintimidasi.
Jaemin mengangguk kaku, sebenarnya ragu saat ia hendak menunduk, ia tak yakin benar benar merawat Jisung dengan baik.
"Obat diminum dengan rutin?" Lagi. Walaupun suara Dokter itu terdengar tenang, Jaemin merasa tak nyaman. Rasanya, ia seperti berhadapan langsung dengan Bunda. Melihat wajah Dokter Kim Doyoung, membuat Jaemin merasa seperti sedang diomeli Bunda karena lalai saat mengurus Jisung.
"Saat saya sedang memasangkan alat medis pada dada Jisung, saya menemukan luka lebam yang tidak sedikit. Kenapa?!" Kali ini suara tenang itu sedikit meninggi.
Lidah Jaemin mendadak kelu. Ia tahu pasti itu ulah sang Ayah, dan ia ingin sekali mengatakan pada Dokter Kim bahwa itu adalah ulah Ayah, namun apa yang bisa ia lakukan selain diam jika tak ingin kondisi Jisung semakin parah.
"Kamu pelakunya?!" Saat Jaemin mendongak, ia mendapati tatapan Dokter Kim yang begitu nyalang, lengkap dengan deru na0asnya yang tak beraturan.
"B-bukan." Jaemin memgibas-ngibaskan kedua tangannya dengan tatapan nanarnya. Bagaimana bisa Dokter Kim menuduhnya seperti itu? Padahal selama ini, mati matian Jaemin melindungi apapun yang membuat Jisung merasa sakit. Mati matian Jaemin merawat Jisung dengan kasih sayang. Bisa bisanya!
"Langsung pada intinya saja." Dengan cepat, Dokter Kim mampu merubah ekspresi marahnya menjadi tenang seperti semula.
"Jisung menderita penyakit Kanker Darah. Seharusnya, jika dia rajin mendapatkan perawatan medis dengan baik. Jisung tidak akan melewati masa masa sulitnya seperti ini, kanker darah yang Jisung derita, sudah memasuki stadium akhir."
Rasanya benar benar seperti tersambar petir saat itu juga. Jaemin terdiam seribu bahasa, tak bisa berkata apa-apa. Matanya menatap Dokter Kim dengan tatapan tidak percaya. Jaemin menggeleng. Ia terus menggelengkan kepalanya.
"Nggak! Nggak mungkin! Dokter! Jangan bercanda!" Jaemin berusaha mati-matian untuk menahan laju air matanya.
"Saya tidak bercanda! Penyakit Jisung sudah benar-benar sulit untuk disembuhkan. Ini semua gara gara kamu yang tidak becus menjaganya!" Mata Dokter Kim nampak berair, namun sama sekali tak ada setetes pun yang jatuh.
"Anda hanya Dokter yang bertugas untuk merawat dan menyelamatkan adek saya. Anda sama sekali tidak ada hak untuk menyalahkan saya ataupun siapa saja untuk penyakit Jisuny!" Setelah mengatakan itu, Jaemin beranjak dari ruangan Dokter Kim dengan air mata yang benar-benar sudah tumpah ruah.
Jaemin takut... ia takut kehilangan untuk yang kedua kalinya.
Ia beralari menyusuri koridor rumah sakit, hingga sampai ia pada ruangan di mana Jisung berada. Namun, pintunya masih tertutup, belum ada siapapun yang diperbolehkan masuk.
Jaemin hanya bisa melihat Jisung dari jendela kaca. Ia melihat sang adek terbaring lemah tak sadarkan diri di sana. Dengan tubuhnya yang bergantung dengan alat-alat medis.
"Maaf.." lirih Jaemin.
"Bertahan, Jisung.."
"Katanya mau main sepeda bareng sama Kakak? Ayo sembuh.."
"Kakak sakit lihat kamu kayak gini..."
...🕊🕊🕊...
semangat thor💪💪💪