NovelToon NovelToon
Milikku Selamanya

Milikku Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Percintaan Konglomerat / Diam-Diam Cinta / Crazy Rich/Konglomerat / Aliansi Pernikahan / CEO Amnesia
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: erma _roviko

Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.

Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sirine

Pukul 12:00 siang. Aluna berada di apartemen lamanya. Secara hukum, ia telah mengambil langkah final, surat gugatan cerai.

Sebuah tindakan tegas, sebuah garis batas yang ditarik dengan tinta legal. Namun, secara psikologis, ia masih terikat pada ambiguitas yang ditinggalkan Erick.

‘Tunggu aku pulang. Kita akan akhiri semua ini.’

Kalimat itu berputar seperti piringan hitam rusak di benaknya, merusak kedamaian yang baru saja ia peroleh. Ia mencoba menyibukkan diri dengan menyusun jadwal baru, membaca buku yang ia abaikan selama bertahun-tahun, tetapi seluruh tubuhnya adalah kawat tegang yang menunggu ledakan.

Ia menunggu kemarahan dingin Erick, tuduhan sinis yang akan merobeknya, atau negosiasi yang keras dan manipulatif.

Bahkan telah siap untuk semua itu, tetapi keheningan Erick adalah senjata terbarunya.

Tiga jam berlalu. Ia menghabiskan waktu itu menganalisis setiap detail kecil dari percakapan mereka, nada suaranya yang tegang, keheningan di sela kalimatnya. Ia melawan dorongan kuat untuk menafsirkan ketidakstabilan suara Erick sebagai penyesalan, sebagai patah hati.

Ia tahu, itu adalah jebakan maut.

Erick hanya ingin mengontrol perpisahan ini, membuat Aluna merasa bersalah, menariknya kembali ke orbitnya.

Pukul 16:00. Kelelahan psikologis mengalahkan logikanya. Aluna berdiri di tengah apartemen yang terasa terlalu luas, terlalu sepi, dan terlalu jauh. Ia memutuskan. Ia tidak bisa menunggu di sini.

Apartemen ini terasa terputus dari pusat krisis, seperti menonton badai dari balik kaca tebal.

Meskipun ia sudah bersumpah untuk bebas, naluri seorang wanita yang terikat pada pria itu selama bertahun-tahun menariknya kembali.

“Aku harus kembali,” bisiknya pada ruangan kosong itu.

“Aku harus mendapatkan penutupan yang layak kudapatkan, di tempat pertempuran itu seharusnya terjadi.”

Ia mengunci pintu, membiarkan kunci apartemen lamanya, yang seharusnya menjadi kunci kebebasannya, terasa dingin di genggamannya. Ia kembali ke sarang singa.

Pukul 16:30. Aluna mengendarai mobilnya kembali ke Wijaya Mansion.

Gerbang otomatis terbuka dengan design yang familier. Kali ini, Mansion itu tidak terasa dingin dan angkuh, melainkan mencekam.

Kesunyiannya tidak lagi kosong, ia terasa penuh dengan antisipasi yang menakutkan, seperti sebuah panggung yang telah disiapkan, lampu sorot dimatikan, menunggu adegan klimaks.

Aluna mematikan mesin, keheningan mobilnya terasa memekakkan telinga. Ia berjalan ke ruang tamu utama.

Ia duduk di sofa beludru berwarna emerald, menghadap ke koridor yang menuju ruang kerja, pusat kekuasaan Erick.

Nafasnya tertahan. Ia menunggu. Setiap detik berlalu seperti kerikil yang jatuh di jurang yang dalam.

Pukul 17:00. Jam Grandfather di aula berdentang lima kali, suaranya yang berat menggema di ruangan besar itu, menekan suasana hening. Waktu yang wajar untuk Erick pulang sudah lewat. Seharusnya, sekarang ia sudah muncul. Berdiri di ambang pintu, kemeja mahal yang ia kenakan kusut karena terburu-buru, matanya dingin menusuk. Siap untuk konfrontasi.

Tetapi tidak ada apa-apa.

Aluna merasakan dua emosi yang bertentangan. Sedikit lega karena pertempuran telah dihindari hari ini, dan pada saat yang sama, ia merasakan kekecewaan aneh yang mengoyak harga dirinya.

“Apakah dia menganggapku begitu tidak penting sehingga dia bahkan menunda pertempuran terakhir ini?”

Tiba-tiba, suara dering yang memotong keheningan.

DRRT! DRRT!

Bukan ponsel Aluna, melainkan telepon rumah di ruang kerja Erick, saluran pribadi yang hanya digunakan untuk komunikasi kantor dan darurat, yang jarang sekali berbunyi di luar jam kerja.

Suaranya terdengar tajam, asing, dan memekakkan telinga di kesunyian yang mencekam itu, seperti pisau yang menggores kaca.

Aluna bangkit. Kakinya terasa berat, seolah dibelenggu ke lantai marmer yang dingin.

Ia berjalan menyusuri koridor. Setiap langkah membawanya lebih dekat ke ruangan yang menyimpan bom waktu yang ia tinggalkan, dan kini berdering dengan suara yang mengancam.

Ia memaksa dirinya untuk tenang, menarik napas dalam-dalam sebelum meraih gagang telepon.

“Halo?” Suaranya kini terdengar tenang, dipaksakan oleh latihan bertahun-tahun berhadapan dengan dinginnya Erick.

Di ujung sana, terdengar suara wanita yang terisak-isak, suara yang nyaris tidak bisa dikenali.

“Nyonya Aluna! Syukurlah anda yang mengangkat!” isak Raina, asisten pribadi Erick yang sangat efisien dan selalu tenang.

Raina yang biasanya seperti mesin, kini terdengar seperti reruntuhan emosional.

“Raina, tenang. Ini Aluna. Ada apa? Kenapa kau menangis?” tanya Aluna, berusaha menjaga suaranya tetap stabil, meskipun jantungnya sudah berpacu liar.

‘Saya… saya mencoba menghubungi ponsel tuan Erick, tapi sudah tidak aktif…” Raina tersengal.

‘Kantor benar-benar panik, nyonya.’

“Katakan padaku! Apa yang terjadi?” Aluna memegang erat gagang telepon, buku jarinya memutih.

Raina mencoba menarik nafas, tapi gagal. ‘Tuan Erick… dia, dia meninggalkan kantor sekitar jam empat. Dia bilang dia harus buru-buru pulang. Dia bilang dia harus bertemu anda…’

Aluna merasakan darahnya berdesir dingin. Ia teringat surat di meja Erick.

“Lalu? Lanjutkan, Raina!”

‘Lalu, lalu ada telepon dari Kepolisian…’ Raina kembali pecah dalam tangis. ‘Kepolisian! Mereka menelepon kantor untuk mengidentifikasi…’

Aluna merasakan kengerian yang dingin menyebar dari perutnya ke seluruh tubuh. Kepolisian. Kata itu terasa salah dan asing di tengah kemewahan dan kesunyian ini.

“Raina, demi Tuhan, katakan yang jelas! Apa yang terjadi dengan Erick?!” Suara Aluna kini menjadi jeritan yang tertahan, hampir histeris.

Raina akhirnya berhasil menenangkan diri sedikit, tetapi kata-katanya keluar dengan cepat, terputus-putus, dan mengerikan.

‘Ada tabrakan beruntun di Jalan Tol dekat gerbang kota… Mobilnya… Mobil tuan Erick… hancur, Nyonya! Begitu hancur! Benturannya sangat keras… Mereka mengatakan dia tidak sadarkan diri di lokasi. Dia dibawa ke rumah sakit pusat. Keadaannya… Kritis!’

Raina kembali menangis histeris.

Aluna hanya bisa mendengar kata-kata kunci, setiap kata seperti palu godam yang menghantam kepalanya.

Jalan Tol. Tabrakan. Hancur. Kritis.

Gagang telepon terlepas dari tangan Aluna, menghantam meja kaca dengan suara keras yang memantul di seluruh ruangan yang dipenuhi gema berita tragedi itu.

Aluna hanya berdiri di sana, di tengah ruangan yang sama di mana ia meninggalkan surat perceraiannya.

Semua ketegangan, semua ketakutan akan konfrontasi yang sengit, semua perencanaan untuk pertempuran hukum yang panjang, musnah seketika. Pertempuran itu tidak akan pernah terjadi.

Kritis. Kata itu menusuk lebih dalam daripada ribuan kata-kata pengabaian yang pernah ia terima selama bertahun-tahun.

Otak Aluna, yang baru saja menghabiskan dua hari untuk memisahkan dirinya dari Erick, kini berjuang keras. Ia telah mengambil langkah untuk menjadi Penggugat, musuh dalam hukum. Namun, sekarang ia mendengar berita ini, ia tidak lagi merasa seperti musuh.

Ia teringat suara Erick yang tegang di telepon.

‘Tunggu aku pulang. Kita akan akhiri semua ini.’

Dia tidak bermaksud mengakhiri pernikahan dengan tanda tangan. Dia bermaksud, secara tragis, mengakhiri semuanya. Dia terburu-buru pulang, mungkin untuk mengontrol krisis gugatan cerai, dan justru bertemu dengan takdirnya sendiri di tengah jalan.

Aluna tersentak, bahunya bergetar hebat. Dia harus pergi. Dia tidak bisa membiarkan Erick sendirian di sana.

Perasaan lama, tanggung jawab yang terasa seperti sumpah, kepemilikan yang dipicu oleh rasa bersalah, dan cinta yang bersembunyi jauh di balik temboknya menyeruak ke permukaan, menenggelamkan logika dan keputusan hukumnya.

Ia bukan lagi penggugat yang mencari kebebasan, dia adalah istri yang terikat sumpah yang tiba-tiba berhadapan dengan kefanaan.

Air mata mengalir di pipinya, bukan karena sedih, tetapi karena kejutan murni, kepanikan, dan realisasi yang mengerikan. Ia telah memilih kebebasan, tetapi takdir telah memilih akhir yang jauh lebih brutal, mengikatnya kembali ke suaminya dengan rantai krisis yang tak terduga.

Aluna berbalik. Gaunnya berkibar. Ia berlari, kakinya membanting di lantai marmer, menuju pintu utama. Rumah yang selama ini ia tinggalkan dalam keheningan, kini ia tinggalkan dalam kepanikan murni, menuju suara sirine yang entah dari mana asalnya kini terdengar samar-samar, mengiringi nasib suaminya.

1
kalea rizuky
lanjut donk
erma _roviko: Siap👍
total 1 replies
kalea rizuky
Aluna pura2 bahagia g enak mending jujur trs cerai biar aja erik gila sebel q liat laki. gt
Soraya
hadiah pertama dari q lanjut thor
erma _roviko: siap😍😍
total 1 replies
Soraya
mampir thor
erma _roviko: Makasih kak😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!