"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29: PERUBAHAN HUBUNGAN
Tiga hari setelah Chelsea sakit, ia sudah sepenuhnya pulih.
Tapi ada yang berubah di antara mereka.
Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Sesuatu yang terasa di udara—di cara mereka menatap satu sama lain, di cara mereka berbicara, di cara mereka... ada.
Pagi itu, sarapan bersama seperti biasa.
Chelsea memasak—kali ini omelet yang tidak gosong, roti panggang yang tidak terlalu keras.
"Wah, kamu makin jago masak," komentar Lucian sambil makan.
Chelsea tersenyum lebar—bangga. "Aku latihan setiap hari. Tidak mau malu terus di depan... Lucian."
Lucian mengangkat kepala—terkejut.
Ini pertama kalinya Chelsea memanggilnya tanpa embel-embel formal. Hanya "Lucian"—nama depan, intim, dekat.
"Apa... apa boleh aku panggil kamu Lucian? Tanpa 'Pak' atau 'Mas'?" tanya Chelsea—sedikit malu, pipinya merona. "Kita... kita sudah kenal sebulan lebih. Rasanya aneh kalau masih formal."
Sebulan lebih. Sudah sebulan lebih aku di sini.
Lucian tidak menjawab—tenggorokannya tercekat.
"Kalau kamu tidak suka, aku bisa—"
"Tidak." Lucian memotong—cepat. "Maksudku... boleh. Kamu boleh panggil aku Lucian."
Chelsea tersenyum—senyum yang membuat mata coklatnya berbinar.
"Baiklah. Lucian."
Cara ia mengucapkan namanya—lembut, hangat—membuat dada Lucian bergetar.
Kenapa namaku terdengar berbeda kalau dia yang ucapkan?
"Kalau begitu," Lucian menarik napas—mencoba terdengar santai, "aku juga panggil kamu Chelsea saja. Tanpa 'Nona'."
"Oke!" Chelsea senang—seperti anak kecil yang mendapat hadiah.
Mereka melanjutkan sarapan—tapi sekarang ada kehangatan berbeda di antara mereka.
Tidak lagi majikan dan bodyguard.
Tapi... teman? Atau lebih?
Lucian tidak berani mendefinisikannya.
Hari-hari berikutnya, mereka semakin dekat.
Chelsea mulai lebih sering mengajak Lucian mengobrol—bukan hanya tentang jadwal atau pekerjaan, tapi tentang hal-hal kecil.
Film favorit. Buku yang ia baca. Tempat yang ingin ia kunjungi.
Dan Lucian—yang biasanya pendiam—mulai ikut bercerita.
Tentang masa kecilnya yang ia edit tentu saja. Tentang hal-hal kecil yang membuatnya tersenyum.
Chelsea tertawa mendengar cerita-ceritanya—tawa tulus yang membuat rumah besar itu terasa hidup.
"Kamu tahu," kata Chelsea suatu sore—mereka duduk di teras belakang, minum teh sambil menikmati matahari sore, "sebulan lalu aku pikir tidak akan ada yang bisa membuatku tertawa lagi."
Ia menatap Lucian—mata penuh syukur.
"Tapi kamu... kamu membuatku tertawa. Membuatku merasa hidup lagi."
Dada Lucian sesak—hangat dan sakit bersamaan.
"Aku... aku senang bisa membuatmu tersenyum," katanya—jujur, terlalu jujur.
Chelsea menatapnya lama—ada sesuatu di matanya yang membuat Lucian tidak bisa bernapas.
Tapi Chelsea tidak mengatakan apapun.
Hanya tersenyum—senyum yang menyimpan banyak kata yang belum terucap.
Malam itu, Lucian tidak bisa tidur.
Ia berbaring di kasur, menatap langit-langit—pikiran kacau.
Aku jatuh cinta padanya.
Terlalu dalam.
Terlalu cepat.
Dan aku tidak tahu harus bagaimana.
Ia teringat cara Chelsea tersenyum hari ini.
Cara ia tertawa.
Cara ia memanggil namanya—"Lucian"—dengan nada yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Aku harus menahan perasaan ini. Aku tidak pantas mencintainya.
Aku pembunuh. Aku monster. Aku—
Tapi hatinya berbisik hal lain:
Tapi dia tidak tahu itu. Dan selama dia tidak tahu—bisakah aku tidak bahagia sebentar saja?
Bisakah aku tidak merasakan cinta sebentar saja sebelum semuanya runtuh?
Lucian menutup mata—mencoba tidur, mencoba tidak memikirkan Chelsea.
Tapi yang ia lihat di balik kelopak matanya adalah senyum Chelsea.
Tawa Chelsea.
Mata Chelsea yang menatapnya dengan sesuatu yang mirip dengan... cinta?
Tidak. Dia tidak mungkin mencintaiku. Aku hanya bodyguard-nya. Aku—
Tapi ia teringat—cara Chelsea menatapnya pagi itu setelah ia merawatnya sepanjang malam.
Cara Chelsea berbisik "Terima kasih" dengan nada yang terlalu lembut untuk sekadar ucapan terima kasih biasa.
Cara Chelsea bilang "Kamu juga orang baik, Lucian"—dengan mata berkaca-kaca.
Apa dia...?
Tidak. Jangan berpikir begitu. Jangan berharap. Karena harapan itu berbahaya.
Lucian membuka mata—menatap langit-langit lagi.
Tapi bagaimana aku tidak berharap ketika setiap hari dia membuatku merasa... hidup lagi?
Bagaimana aku tidak mencintainya ketika dia satu-satunya cahaya dalam delapan tahun kegelapanku?
Tidak ada jawaban.
Hanya kesunyian malam.
Dan detak jantung yang tidak bisa dibohongi.
Keesokan paginya, saat sarapan, Chelsea menatap Lucian lebih lama dari biasanya.
"Lucian," panggilnya pelan. "Kamu... kamu tidak tidur nyenyak semalam?"
Lucian terkejut—apa dia terlihat se-lelah itu?
"Aku... aku baik-baik saja."
"Mata kamu bengkak." Chelsea mendekat—menyentuh wajah Lucian dengan lembut, memeriksanya. "Kamu sakit?"
Sentuhan itu—lembut, khawatir—membuat Lucian nyaris lupa bernapas.
"Tidak. Aku... hanya tidak bisa tidur."
"Kenapa? Ada yang mengganggumu?"
Ya. Kamu. Kamu menggangguku. Karena aku jatuh cinta padamu dan aku tidak tahu harus bagaimana.
Tapi yang keluar dari mulutnya: "Tidak. Hanya... tidak terbiasa tidur di kasur empuk."
Bohong.
Tapi Chelsea tidak menyelidiki lebih jauh.
"Kalau ada yang kamu butuhkan, bilang ya," katanya sambil tersenyum—senyum yang membuat dada Lucian semakin sesak. "Kita... kita sudah seperti teman, kan? Bukan lagi majikan dan bodyguard."
Teman.
Kata itu seharusnya membuat Lucian lega.
Tapi entah kenapa—kata itu malah membuat dadanya sakit.
Aku tidak ingin jadi temanmu, Chelsea.
Aku ingin... aku ingin lebih dari itu.
Tapi aku tidak bisa. Karena aku tidak pantas.
"Ya," jawab Lucian akhirnya—memaksakan senyum. "Kita teman."
Chelsea tersenyum lebar—senang.
Tapi di mata Lucian—ada kesedihan yang ia sembunyikan.
Kesedihan orang yang mencintai tapi tidak bisa memiliki.
Kesedihan orang yang tahu—cepat atau lambat—ia harus pergi.
Karena cinta ini tidak seharusnya ada.
Cinta ini akan menghancurkan mereka berdua.
Tapi untuk sekarang—untuk hari ini—Lucian membiarkan dirinya bahagia.
Bahagia mendengar Chelsea memanggilnya "Lucian".
Bahagia melihat Chelsea tersenyum.
Bahagia... mencintai dalam diam.
Meski ia tahu—diam-diam—cinta ini akan menjadi kehancurannya.
Dan mungkin juga kehancuran Chelsea.
Tapi ia tidak bisa berhenti.
Karena sudah terlambat.
Ia sudah jatuh terlalu dalam.
Dan tidak ada jalan kembali.