WITH THE RAIN | NA JAEMIN
Memarkirkan sepeda kebanggaanya pada halaman rumah. Jaemin lalu masuk dengan membawa satu kotak berisi sandwich yang ia beli didekat taman kota tadi.
Pagi ini, ia hanya bisa membelikan sarapan untuk adiknya berupa sandwich saja.
"Adek? Kakak pulang," ujar Jaemin sembari membuka knop pintu rumahnya, lalu berjalan menuju kamar.
Jaemin duduk pada tepi ranjang, menghampiri sang adik yang terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah pucat pasi.
"Kakak udah pulang?" Adik Jaemin yang bernama Jisung itu lantas membuka matanya kala merasakan belaian lembut dari Jaemin yang menyentuh surainya.
"Makan dulu, yuk." Dengan hati hati, Jaemin membantu Jisung duduk.
"Kakak udah makan?" tanya Jisung.
"Udah kok," jawab Jaemin sembari tersenyum. Senyum yang tenang dan teduh. Senyum yang hanya bisa dilihat oleh Jisung saja.
Jaemin membuka kotak makanan yang berisi sandwich , seperti biasanya. Karena memang Jisung tidak diperbolehkan makan makanan sembarangan.
"Kak, Jisung bosen makan sandwich terus. Jisung pengen makan ayam." Jisung menghela nafas pasrah.
Jaemin tersenyum pedih. "Nanti kalo sudah sembuh, ya? Sekarang ayo makan ini dulu. Biar cepat sembuh." Jaemin mulai menyuapkan sandiwch kedalam mulut Jisung.
Jisung menutup mulutnya sembari menggelang.
"Jisung?" panggil Jaemin dengan menatap adiknya itu dengan tatapan serius.
"Jisung pengen mual, kak."
"Ya sudah, ayo kakak anterin ke kamar mandi dulu," ujar Jaemin sembari meletakkan sandiwch di dalam kotaknya.
"Kak.." panggil Jisung dengan suara pelan.
"Kenapa, dek?" tanya Jaemin.
"Jisung beneran bisa sembuh?" tanya Jisung dengan suara parau.
"Pasti bisa. Jisung pasti bisa sembuh. Jisung semangat ya?" Jaemin mengelus surai adiknya itu. "Masih mual? Ayo kakak anterin ke kamar mandi." Jaemin membantu Jisung berdiri.
Sampai pada wastafel, Jisung memuntahkan semua isi perutnya. Bibirnya pucat pasi, matanya sayu. Tubuhnya pun semakin lama semakin kurus. Kondisinya kian hari kian memburuk. Dan itu membuat hati Jaemin rasanya seperti dirusuk ribuan pisau. Sangat sakit.
Jisung mengidap penyakit kanker darah atau leukimia sejak ia berusia 12 tahun, dan sekarang usianya 16 tahun. Karena penyakitnya ini, ia menjadi memiliki keterbatasan beraktivitas.
Dan Jaemin, laki-laki yang kini menjadi ayah sekaligus ibu untuk adik semata wayangnya. Ia yang mengurus Jisung setiap saat setiap waktu, membiayai kehidupan Jisung dan dirinya dengan bekerja banting tulang. Dengan gaya hidup yang pas-pasan. Kadang, untuk makan sehari hari saja susah. Ditambah lagi dengan biaya sekolahnya dan pengobatan adiknya.
Jaemin menuntun Jisung duduk pada tepi ranjang.
"Makan dulu ya? Jangan bikin kakak sedih gini." Jaemin menatap Jisung dengan tatapan sendu.
"Maafin Jisung ya, kak? Jisung selalu nyusahin kakak. Harusnya sekarang kakak bahagia sama temen temen kakak. Tapi kakak malah jadi susah gini gara gara ngurusin Jisung yang penyakitan gini."
"Jangan ngomong gitu. Sudah, ayo makan dulu. Mau kakak suapin apa makan sendiri?" tanya Jaemin.
"Kakak siap siap berangkat sekolah dulu saja. Jisung biar makan sendiri." Jisung mengambil kotak berisi sandiwch yang Jaemin letakkan di atas nakas.
Jaemin mengangguk. Kemudian mengacak gemas surai Jisung sembari tertawa kecil. Namun tawanya pudar kala mendapati rambut Jisung yang mulai rontok. Jaemin terdiam sesaat kala memegang rambut rontok adiknya itu, sebelum akhirnya ia genggam erat erat rambut itu, lalu mulai berjalan menuju kamar mandi.
Jaemin menutup pintu kamar mandi. Kemudian bersandar di balik pintu itu. Matanya memanas, hatinya sakit bukan main. Perlahan Jaemin mulai membuka telapak tangannya, menatap rontokan rambut Jisung yang ia genggam.
Mata Jaemin memanas. "Jisung maafin kakak." Tangan Jaemin terkepal kuat guna melampiaskan segala rasa sakit yang menjalar dalam hatinya.
"Maafin kakak yang gak bisa bahagiain kamu."
"Harusnya kakak yang sakit. Jangan kamu, Jisung. Kamu masih kecil.. kamu gak boleh sakit."
"Maafin kakak karena gak bolehin kamu makan ayam, padahal kamu pengen banget. Maafin kakak yang selalu larang kamu main sama temen-temen kamu. Maafin kakak yang selalu paksa kamu minum obat padahal kamu benci banget sama obat, maaf."
...🌵🌵🌵...
Selesai membersihkan diri sekitar lima belas ment. Jaemin keluar dari kamar mandi dengan pakaian seragam sekolahnya.
Jaemin mengusak rambutnya yang basah menggunakan handuk. Lalu duduk ditepi ranjang, melihat Jisung yang sedang membaca buku.
"Udah selesai makannya?" tanya Jaemin.
Jisung mengangguk.
"Kakak berangkat sekolah dulu, ya? Jangan lupa obatnya diminum. Obatnya masih, kan?"
Jisung diam. Atensinya masih fokus dengan buku yang ia baca.
Jaemin lalu berjalan kearah lemari, membukanya, kemudian mengambil tas sekolah yang ia simpan di sana.
"Kakak berangkat, Jisung. Nanti Kakak pulang malam, gak usah nungguin ya."
"Kerja part time?"
Jaemin mengangguk. "Iya, jadi kasir di mini market deket sekolah. Ya udah, kakak berangkat dulu ya."
Jisung tersenyum pedih kala menatap punggung sang kakak yang mulai menghilang dari pandangannya.
Kemudian mengambil sandwich yang ia sembunyikan di balik badannya. Jisung menatap nanar sandwich yang Jaemin berikan kepadanya tadi.
"Jisung tahu kakak belum makan. Jisung gak mau makan kalau kakak gak makan." Jisung berjalan kearah dapur, ia meletakkan sandwich itu di atas meja dapur. Kemudian kembali ke atas ranjangnya dan memejamkan matanya.
Jisung benar-benar melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan. Kondisinya akan terus memburuk jika ia benar benar tidak akan memakan makanan itu.
Namun Jisung ya tetap Jisung. Ia akan selalu saja seperti itu. Dia tahu pasti kalau Jaemin belum makan.
...🌵🌵🌵...
Jaemin memarkirkan sepedanya pada parkiran sekolah. Berbeda dengan siswa-siswi yang lainnya, di saat semua teman-temannya berangkat sekolah menggunakan mobil, ia berangkat menggunakan sepeda. Tidak masalah. Bagi Jaemin itu tidak masalah, ia sekolah hanya fokus untuk mencari ilmu saja.
Seperti perkiraannya, pagi ini Jaemin telat karena tadi di tengah jalan ban sepedanya bocor, jadi mau tidak mau ia harus menuntun sepedanya.
Jaemin buru-buru berlari kecil untuk menyusul teman-temannya yang telat dan saat ini sedang dihukum.
Jaemin masuk ke dalam barisan, di mana sis-siswi yang telat saat ini dijemur di tengah lapangan.
"Woi, miskin!" sentak salah satu siswa yang juga sedang dihukum, ia menyenggol kasar lengan Jaemin.
Jaemin diam, ia tidak ingin memperkeruh suasana. Lagi pula ia juga sudah biasa akan hal seperti itu. Jaemin sudah kebal. Ucapan ucapan seperti itu sudah menjadi makanannya sehari hari.
"Miskin kok sekolah di sini, hahaha." Terdengar suara tawa dari siswa yang ada di samping Jaemin. "Kasihan, tiap hari ditagih uang SPP mulu. Makannya kalo miskin jangan sok-sokan sekolah di sini!" lanjutnya.
Jaemin tetap diam dan tenang. Walau sebenarnya di hati sakit. Ia jadi teringat akan tagihan uang sekolahnya yang sudah menunggak berbulan-bulan, juga biaya pengobatan Jisung yang harus terus ada. Sedangkan sekarang ia mengalami krisis ekonomi. Uang hasil kerjanya tidak seberapa. Jaemin lelah, ia ingin menyerah, namun rasa sayangnya kepada Jisung itu membuatnya harus tetap semangat.
...🌵🌵🌵...
Jaemin itu sendiri. Dia tidak pernah memiliki teman sejak dulu. Dengan alasan, dia adalah anak yang terbuang dan terlahir dalam keluarga miskin. Namun Jaemin tidak pernah mempedulikan itu.
Jaemin saat ini duduk di bangkunya yang berada di pojok dekat jendela. Saat ini, guru matematika sedang menjelaskan membicarakan tentang siapa yang lolos seleksi untuk mengikuti olimpiade matematika.
Jaemin senang. Karena ia yakin, ia pasti bisa ikut olimpiade itu. Karena setiap hari dirinya selalu belajar untuk bisa mengikuti olimpiade itu.
"Jadi, dari kelas ini ada tiga siswa yang akan mengikuti olimpiade matematika di seoul minggu depan. Dia adalah, Huang Renjun, Zong Chenle dan Na Jaemin," ujar ibu guru tersebut.
Jaemin tentu senang. Kerja kerasnya selama ini tidak sia-sia. Ia jadi ingin cepat-cepat memberitahu Jisung nanti.
"Tapi. Na Jaemin tidak bisa ikut olimpiade ini." Senyum Jaemin seketika memudar kala mendengar pernyataan dari gurunya barusan.
"Karena Jaemin belum membayar uang SPP selama lima bulan. Sekolah tidak bisa megizinkan Jaemin untuk ikut," lanjut ibu guru itu.
Suara tawa meremehkan mengalun jelas dalam kelas itu. Semua menertawakan Jaemin.
"HAHAHAHA Kasihan banget gak bisa ikut olimpiade. Makannya jangan miskin jadi orang!" sahut Hyunjin, laki laki kaya yang dikenal nakal.
"Kayak Chenle tuh. Udah kaya, pinter lagi. Jadi gak ada hambatan deh buat ikut lomba lombaan gituu!" ujar siswa yang duduk di samping Hyunjin.
Jaemin kesal. Tangannya mengepal kuat. Dadanya sesak bukan main.
Bukankah ini tidak adil?
"Makannya, Jaemin. Kamu harus segera melunasi tagihan sekolah kamu itu!" ujar ibu guru dengan nada sedikit meninggi.
"Baik, bu," jawab Jaemin.
Jujur. Dalam hati Jaemin rasanya sakit sekali. Kenapa harus seperti ini?
Jaemin memilih diam dan tidak berkomentar. Memang keadilan hanya berlaku untuk orang berada saja.
...🌵🌵🌵...
Siang ini, Jisung duduk di kursi depan rumahnya, ia memandangi orang orang yang berlalu lalang di depannya. Ingin sekali rasanya ia bisa beraktivitas seperti remaja pada umumnya. Namun fisik Jisung sangat lemah, ia sangat mudah kelelahan.
Atensi Jisung beralih pada laki-laki berkepala 4 yang berjalan mendekat ke arahnya. Laki-laki dengan pesona menyeramkan. Melihat itu, Jisung buru buru masuk, namun pergerakannya terhenti saat laki-laki paruh baya itu menahan kasar lengan Jisung.
"Ayah, lepasin!" Jisung hendak menarik tangannya, namun cengkraman laki-laki berkepala 4 yang diduga ayahnya itu sangat kuat.
"Ayah minta uang, sekarang! Mana kakak kamu?!" bentak ayah sembari beralih mencekram dagu Jisung.
"K-kakak sekolah," jawab Jisung terbata bata.
Ayah Jisung dan Jaemin. Laki-laki tidak bertanggung jawab yang meninggalkan kedua anaknya begitu saja. Dan ia selalu datang hanya untuk meminta uang untuk perempuan selinghkuhannya.
"UANG!" bentak ayah, lagi. Kali ini terdengar lebih mengerikan.
"Gak ada, yah," jawab Jisung. Ia menahan sebisa mugkin air mata yang ingin jatuh. Jisung benar benar ketakutan saat ini.
"Jangan bohong!" bentak ayah.
"Jisung gak bohong, yah," lirih Jisung dengan suara bergetar.
Dan seperti biasa yang ayah lakukan jika kemauannya tidak terpenuhi. Ayah membawa Jisung masuk ke dalam rumah, kemudian mendorong anaknya itu hingga jatuh tersungkur di atas lantai sampai kepalanya terbentur dinding.
Ayah mengambil sapu yang jangkauannya tak jauh darinya, lalu tanpa bepikir panjang, ia memukul Jisung menggunakan sapu itu berkali kali.
"Ayah, jangan!" Jisung melindungi dirinya menggunakan tangan.
Setelah puas dengan memukuli Jisung menggunakan sapu. Ayah lalu menyeret Jisung ke dalam kamar mandi. Memukulinya lagi, lalu menyiramnya dengan air. Tak puas akan hal itu, ayah membenturkan berkali kali kepala Jisung pada dinding.
"Ayah, jangan, yah. Sakit.. ayah ampunn!" Pertahanan Jisung runtuh, ia menangis tersedu sedu sembari terus memanggil manggil Jaemin dalam hatinya.
Kakak tolongin, Jisung..
Kakak, sakit, kak..
Kak Jaemin, tolong..
Ayah kemudian menghentikan aksinya, ia menutup dengan keras pintu kamar mandi. Lalu berjalan ke kamar Jaemin, mengobrak abrik lemarinya, kemudian pergerakannya terhenti saat menemukan satu kotak yang berisikan obat obatan milik Jisung.
Rahangnya mengeras, laki laki paruh baya itu lantas kembali ke kamar mandi. Mendobrak dengan keras pintunya, hingga mengenai kepala Jisung.
"Apa ini, ha?!" bentak ayah. "Kenapa pake beli obat obatan segala, ha?! Ngehabisin uang tau gak?!" Suara ayah begitu menggelegar.
Jisung hanya menunduk sembari terus terisak hebat.
"Jadi selama ini kalau ayah minta uang dan kalian bilang gak ada, uang itu buat beli obat ini, ha?!"
Jisung mengangguk kaku.
"Sialan!" umpat ayah.
Ayah lalu membanting obat milik Jisung itu. Kemudian menginjaknya dengan kasar sampai semua obat itu hancur, sekaligus dengan wadahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Helmi Sintya Junaedi
sad story, ayah yg jahat....
semangat thor💪💪💪
2023-06-26
0