Hasna berusaha menerima pernikahan dengan seorang laki-laki yang tidak pernah ia kenal. Bahkan pertemuan pertama, saat keduanya melangsungkan akad nikah. Tak ada perlakuan manis dan kata romantis.
"Ingat, kita menikah hanyalah karena permintaan konyol demi membalas budi. jadi jangan pernah campuri urusan saya."
_Rama Suryanata_
"Terlepas bagaimanapun perlakuanmu kepadaku. Pernikahan ini bukanlah pernikahan untuk dipermainkan. Kamu telah mengambil tanggung jawab atas hidupku dihadapan Allah."
_Hasna Ayudia_
Mampukah Hasna mempertahankan keutuhan rumah tangganya? Atau justru menyerah dengan keadaan?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ujungpena90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Membuat kesepakatan dengan klien yang banyak permintaan sungguh membuat kesabaran dan energi terkuras. Mencapai kata kesepakatan pun berjalan alot. Untung saja dana terkucur tanpa ada sumbatan. Kalau tidak, mending tinggalkan.
Sedikit melonggarkan dasi yang melingkari leher, dan membuka satu kancing kemeja atas, rasanya membuat nafas lebih lega. Entah mengapa rasa lapar yang tadinya mendera menguap begitu saja. Sungguh pekerjaan yang menguras tenaga secara totalitas.
"Apa Bapak tidak ingin memesan makanan? Ini sudah waktunya makan siang." Tanya seorang perempuan yang menemani lelaki itu.
"Tidak, rasanya selera makan saya menguap bersamaan dengan perginya Pak Bobby." Jawab lelaki itu diiringi kekehan. Wanita disampingnya pun ikut tertawa mendengarnya.
"Silahkan kau saja yang memesan makanan, saya akan ke toilet sebentar."
Perempuan itu hanya memesan minuman, karena merasa tidak etis saja jika ia makan sedangkan Bosnya tidak.
Setelah menuntaskan hajatnya di toilet, lelaki itu berniat kembali ke meja yang ditempatinya tadi. Tapi langkahnya terhenti saat tak sengaja netranya menangkap sosok perempuan cantik yang tengah menikmati makanannya seorang diri.
Segera ia merogoh ponsel yang ada di saku jasnya. Menuliskan pesan kepada sekretaris yang menemaninya tadi.
~Kembalilah ke kantor terlebih dahulu, saya masih ada urusan.~
Laki-laki itu melangkah pasti ke arah perempuan yang duduk berjarak dua meja dari tempatnya berdiri.
"Assalamu'alaikum, Hasna." Senyuman tersungging saat mengucapkan salam.
Terlihat keterkejutan di wajah perempuan berjilbab abu muda itu. Namun sedetik kemudian, senyuman manis terbit diwajahnya.
"Wa'alaikumussalam, Mas Kevin?"
"Boleh gabung?" Ucap Kevin penuh harap.
"Silahkan, Mas." Agak canggung juga saat diluar berdua dengan laki-laki lain, walaupun saat di restoran miliknya pernah makan satu meja.
Gegas lelaki itu menarik kursi yang ada dihadapan Hasna. Kemudian memesan makanan yang sama dengan perempuan cantik itu.
"Ehem...suka makan pasta juga?" Tanya Kevin untuk sekedar berbasa-basi.
"Emm...tidak juga, cuma lagi pengen saja." Hasna menyuap kembali pasta dipiringnya.
"Ngomong-ngomong, Mas Kevin ada perlu apa di sini?" Tanya Hasna berusaha mengurai kecanggungan.
"Oh, baru selesai meeting dengan klien."
Seorang pelayan mengantarkan pesanan Kevin. Hasna kembali fokus dengan makanannya, berusaha sedikit cepat menghabiskannya.
"Emmm... boleh aku menanyakan sesuatu sama kamu, Hasna?" Tanya Kevin.
"Mas Kevin mau tanya apa?" Sepertinya hal yang serius, pikir Hasna.
"Mau menanyakan pendapat kamu."
"Pendapat? Tentang apa?" Hasna mengambil gelas dan meminumnya sedikit.
" Tapi janji, kamu jangan sampai menertawakan aku."
Hasna mengernyitkan keningnya, kenapa juga harus menahan tawa, pikirnya.
"Janji dulu." Desak lelaki itu.
Sungguh lucu wajah laki-laki dihadapannya itu, sungguh menggemaskan persis seperti seorang anak yang tengah merajuk pada ibunya.
"Iya, iya aku janji." Ucap perempuan itu sambil menahan tawa.
huft...
Kevin menghembuskan nafas cepat untuk mengurai kegugupannya.
"Begini, aku menyukai seorang gadis. Dia begitu cantik, anggun, dan sepertinya dia tipikal perempuan yang tidak mengenal kata pacaran. Aku sedikit bingung bagaimana cara mengungkapkan perasaanku padanya."
Mengatakan itu sungguh membuat jantung Kevin berdegup kencang. Buliran keringat dingin mulai menghiasi pelipisnya.
Sejenak Hasna terdiam sebelum memberikan pendapatnya. Sedangkan wajah Kevin nampak menengang, mengingat yang ia bicarakan adalah gadis dihadapannya.
Tak sengaja Hasna melihat ke arah Kevin. Gadis itu merasa lucu dengan ekspresi laki-laki dihadapannya itu.
Pfffttt...
Hasna tertawa tertahan, hingga wajahnya terlihat merona. Sungguh kecantikannya naik beberapa level. Sampai-sampai perhatian Kevin sepenuhnya terpusat pada gadis itu. Sadar menjadi pusat perhatian, Hasna pun menghentikan tawanya.
"Maaf...maaf, aku tak bermaksud menertawakan Mas Kevin, tapi ekspresi Mas kevin yang membuat aku tak tahan untuk tak tertawa."
Sekali lagi, perempuan itu tertawa kecil hingga bahunya terlihat naik turun. Satu tangannya menutupi mulut.
Waktu seolah terhenti, Kevin menatap lekat perempuan berkerudung panjang dihadapannya itu. Sungguh, dia perempuan yang memiliki pesona yang luar biasa di mata Kevin.
Jantungnya berdentum tak karuan, hanya dengan menatap perempuan yang berada dihadapannya. Apalagi semburat merah menghiasi kedua pipi putih itu. Sungguh, sungguh mempesona.
"Mas...Mas Kevin." Hasna melambaikan tangan tepat di depan wajah lelaki itu.
"Ah...iya, Hasna." Ucapnya sedikit gelagapan. Malu sekali rasanya kepergok perempuan yang diam-diam ia perhatikan.
"Kok malah bengong sih?"
Kevin mengusap tengkuknya untuk sedikit mengurangi kecanggungan.
"Jadi, gimana menurut kamu?" Tanya Kevin, setelah menguasai rasa canggungnya.
"Gimana ya, Mas. Hasna sendiri nggak pernah pengalaman PDKT soalnya. Jadi, nggak bisa kasih pendapat apa-apa buat Mas Kevin." Jawab Hasna.
Kevin sedikit menarik sudut bibirnya. Sungguh polos jawaban Hasna. Dia begitu yakin, jika perempuan di hadapannya ini benar-benar belum memiliki ikatan apapun dengan lawan jenis.
"Ya paling tidak, menurut sudut pandang kamu, sebaiknya aku gimana mendekatinya?" Kevin masih mendesak.
"Emmm...." Hasna mengetuk-ngetuk kan telunjuk di dagunya.
"Ini mas Kevin sekedar suka atau gimana?"
"Sepertinya aku mulai jatuh cinta padanya."
Seketika kedua pipi lelaki itu terasa memanas, ia begitu malu mengakui perasaannya pada Hasna secara tidak langsung.
Laki-laki itu meraih gelas minumannya, untuk mengurangi rasa gugup. Meminumnya sedikit guna membasahi tenggorokan yang tiba-tiba mengering.
"Langsung lamar saja pada kedua orang tuanya."
Uhuk
Air yang baru saja mengaliri tenggorokannya itu seketika dipaksa naik kembali, gara-gara mendengar jawaban yang diberikan Hasna.
"Mas Kevin nggak papa?" Hasna sedikit khawatir melihat lelaki itu tiba-tiba tersedak minumannya. Mungkinkah jawabannya salah.
Kevin tak menjawab, hanya mengangkat tangannya seolah mengatakan aku baik-baik saja.
"Langsung melamar? Kalau di tolak gimana?" Tanya Kevin saat dirasa tenggorokannya mulai membaik.
Sepertinya saran Hasna terlalu ekstrim menurut Kevin. Yang benar saja, dia harus melamar Hasna secara tiba-tiba. Dia belum menyiapkan mentalnya jika ditolak nantinya. Tapi jika tidak melangkah, berarti hubungannya akan seperti ini saja. Tidak akan ada kejelasan.
"Ya, kan usaha. Urusan ditolak atau tidak, itu masalah belakangan. Yang terpenting perempuan itu tau kalau ada lelaki yang tengah memperjuangkannya. Yang namanya perempuan itu butuh kepastian, Mas." Ucap Hasna menyemangati.
"Harus ya?" Lirih laki-laki itu. Seolah tengah menguatkan mentalnya, jika benar itulah yang harus ia lakukan.
"Ya tergantung sih. Kalau Mas Kevin hanya mencintainya untuk sesaat, cukup kagumi saja. Kalau memang sudah mantap untuk melabuhkan tujuan, ya segeralah maju. Niat baik itu tidak baik ditunda terlalu lama." Ucap Hasna dengan bijak.
"Apakah kamu akan memberikan jawaban yang sama, kalau seandainya kamu tau bahwa perempuan yang aku cintai itu kamu, Hasna? Atau bahkan seketika itu juga kamu akan menolak ku mentah-mentah. Sungguh aku belum sanggup mendengar kata penolakan itu. Lebih baik aku mencintaimu dalam diam, daripada nantinya kamu akan menjauhiku saat mengetahui perasaanku yang sesungguhnya terhadapmu."
"Oh iya, Mas Kevin, sepertinya aku tidak bisa lama-lama. Aku balik duluan ya."
Hasna melambaikan tangannya, hendak meminta bill pada pelayan. Namun, lebih dulu Kevin memberikan beberapa lembar uang dan diberikan pada pelayan sebelum Hasna membuka dompetnya.
"Anggap saja biaya konsultasi." Kekeh lelaki itu.
"Terima kasih banyak. Aku duluan ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Perempuan itu pun beranjak meninggalkan Kevin, dan lelaki itu masih setia menatap punggung yang perlahan menghilang dibalik pintu keluar.
Kevin menggaruk keningnya dengan jari telunjuk, memikirkan perkataan Hasna yang berputar dipikirannya.
Melamar? Apa harus seperti itu? Sungguh dilematis memikirkannya. Keinginan memiliki Hasna seutuhnya sangatlah besar, tapi jika tiba-tiba melamar, apa mungkin cintanya juga bersambut?
Jika melihat dari gerak gerik Hasna, sepertinya perempuan itu biasa saja jika bersamanya, kadang malah terlihat canggung. Apakah mungkin memang seperti itu Hasna bersikap pada lelaki yang bukan muhrimnya? Atau justru perempuan itu tak memiliki perasaan apapun terhadapnya?
Inilah yang membuat Kevin merasa dilematis jika harus langsung melamar Hasna. Tapi perempuan seperti Hasna pasti banyak lelaki diluar sana yang ingin memilikinya.
Aaahhh sungguh pusing Kevin di buatnya.
***
Selalu tinggalkan jejak kalian ya teman-teman, dengan cara like, komen, gift juga vote nya.
Dukungan kalian sungguh berarti buat karyaku. Makin semangat pula aku nulisnya.
Semoga terhibur ya...