Binar di wajah cantik Adhisty pudar ketika ia mendapati bahwa suaminya yang baru beberapa jam yang lalu sah menjadi suaminya ternyata memiliki istri lain selain dirinya.
Yang lebih menyakitkan lagi, pernikahan tersebut di lakukan hanya karena untuk menjadikannya sebagai ibu pengganti yang akan mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn, suaminya, dan juga madunya Salwa, karena Salwa tidak bisa mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn.
Dalam kurun waktu satu tahun, Adhisty harus bisa mmeberikan keturunan untuk Zayn. Dan saat itu ia harus merelakan anaknya dan pergi dari hidup Zayn sesuai dengan surat perjanjian yang sudah di tanda tangani oleh ayah Adhisty tanpa sepengetahuan Adhisty.
Adhisty merasa terjebak, ia bahkan rela memutuskan kekasihnya hanya demi menuruti keinginan orang tuanya untuk menikah dengan pria pilihan mereka. Karena menurutnya pria pilihan orang tuanya pasti yang terbaik.
Tapi, nyatanya? Ia hanya di jadikan alat sebagai ibu pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Pemandangan indah di dapur pagi itu, dimana sepasang suami istri yang sedang masak bersama akn membuay iri siapa saja yang melihatnya. Tak akan ada yang menyangka jika mereka hanyalah pasangan yang terikat karena sebuah perjanjian semata.
Selesai, memasak bersama. Keduanya pun sarapan berdua. Karena ada Zayn di sana bi Asih yang biasanya menemani Adhisty makan, kini perannya diambil alih oleh majikannya tersebut. Wanita paruh baya itu menghilang entah kemana. Seolah memang sengaja memberi waktu untuk mereka berdua.
"Makan yang banyak, Num. Saya tidak ingin anak saya kelaparan," ujar Zayn saat ia dan Adhisty menikmati hasil masakan mereka tadi.
"Iya, Mas," sahut Adhisty.
"Mau nasi goreng saya?" tawar Zayn.
Adhisty menggeleng, "Buat mas Zayn saja," ujarnya.
"Susumu masih?" tanya Zayn.
Adhisty langsung tersedak saat mendengar pertanyaan ambigu dari suaminya tersebut. Otaknya menangkap lain dari maksud Zayn yang sebenarnya.
Zayn langsung memberikan gelas berisi air putih yang ada di depan Adhisty, "Makasih. Em, susunya... Masih, kok mas," ucap Adhisty kemudian.
Zayn menahan tawanya melihat ekspresi Adhisty, "Saya hanya tanya susu hamil kamu, apakah masih? Kalau habis, kita beli stoknya," ucap Zayn menjelaskan maksudnya.
Blush, betapa malunya Adhisty karena otaknya yang langsung traveling entah kemana. "I-iya, itu maksudnya. Susu buat ibu hamilnya masih ada, mas. Tapi tinggal sedikit," ucapnya.
"Ya sudah, nanti saya belikan," ucap Zayn.
"Minggu depan saja mas, belinya. Biar aku sekalian periksa kandungan ke dokter" sahut Adhistu.
"Minggu depan? Sudah jadwalnya buat cek, ya?" tanya Zayn dan Adhisty mengangguk.
"Baiklah, minggu depan saya akan antar kamu ke dokter," ucap Zayn.
Mata Adhisty langsung berbinar, "Serius mas?" tanyanya tak yakin.
"Apa tampang saya terlihat seperti sedang bercanda? Serius, Shanum. Saya janji akan luangkn waktu untuk menemani kamu. Karena saya juga ingin tahu perkembangan anak saya," kata Zayn.
Detik kemudian, wajah Adhisty berubah sendu, apa itu artinya pria itilu akan mendatanginya lagi pekan depan. Pasti akan terasa lama.
"Lusa saya harus keluar kota, mungkin lima hari baru pulang. Nanti pulangnya pas jadwal periksa kamu, bisa juga sebelumnya," ujar Zayn.
"Baiklah, akan aku tunggu mas Zayn buat jemput minggu depan, makasih mas sudah mau perhatian dan peduli sama anak ini," ucap Adhisty.
"Itu anak saya, Num. Darah daging saya. Tentu saja saya peduli," ujar Zayn.
Adhisty tersenyum. Meski ia tak yakin dengan Salwa apakah nantinya akan bisa menjadi ibu yang baik buat anaknya. Tapi, setidaknya ia yakin jika Zayn akan berusaha menjadi ayah terbaik. Pria itu akan merawat dan menjaga anak itu sepenuh hati sehingga ia tak perlu khawatir.
"Habis ini mau ngapain lagi? Kuliah?" tanya Zayn.
"Aku kuliahnya nanti siang mas. Habis ini mau jalan-jalan sekitar sini. Katanya bagus buat ibu hamil," ujar Adhisty.
"Baiklah. Habiskan sarapanmu lalu kita berangkat!"
"Kemana mas?" tanya Adhisty polos.
"Katanya mau jalan-jalan," jawab Zayn.
"Mas mau ikut jalan-jalan?"
"Kenapa? Tidak boleh?" Zayn langsung sedikit negegas.
"Boleh, mas. Tapi emang mas gak Kerja?" tanya Adhisty.
"Saya bisa kerja dari manapun, kamu jangan khawatir,"
Adhisty tak lagi bicara. Ia pun segera menyelesaikn makannya.
........
Keduanya benar-benar berjalan beriringan menyusuri jalan sekitar rumah Adhisty. Sesekali Adhisty melirik suaminya. Ia merasa bagai upik abu dan pangeran karena Zayn begitu tampan. Zayn yang dengan penampilan sultannya, sementara ia hanya memakai dress selutut dan juga sandal jepit.
Tak jarang orang-orang yang melihat mereka bertanya-tanya. Siapa gerangan sosok tinggi, tegap tampan dan terlihat berkelas yang jalam dengan perempuan yang mereka ketahui baru pindah ke rumah mewah yang letaknya paling ujung tersebut sepekan lalu. Rumah yang di tempati oleh Adhisty memang lebih mencolok dari pada yang lain karena rumah itu paling mewah di sana yang memang merupakan komplek perumahan biasa.
Jalan-jalan kali ini tak terasa cukup jauh mereka tempuh. Jika biasnya Adhisty hanya sekitaran rumahya saja, berbeda kali ini. Mereka asyik berbincang hingga tak sadar jarak. Tahu-tahu Adhisty merasa lelah.
"Kamu biasanya jalan-jalan seperti ini?" tanya Zayn.
"Iya mas, sering. Kalau nggak pagi ya sore sekalian. Capek mas, haus!" keluh Adhisty.
Zayn menoleh ke kanan dan kiri, tak ada toko atau warung yang bisa ia beli minuman buat Adhisty.
"Kita kejauhan kayaknya jalannya," ujar Adhisty. Bahkan mereka sudah keluar dari komplek perumahan yang Adhisty tempati. Mereka sampai ke perkampungan yang terletak di belakang perumahan tempat tinggal Adhisty.
"Air kelapa muda kayaknya enak ya, Num?" ujar Zayn, jakunnnya naik turun melihat ada pohon kelapa di depan sana. Lebih tepatnya di halaman rumah salah seorang warga.
Adhisty mengikuti arah pandangan Zayn, "Itu punya orang, mas. Lagian gimana caranya buat metiknya, tinggi!" ujarnya.
"Tapi, saya pengin banget, Num. Kelapanya kayak melambai-lambai pengin di petik lalu diminum, segar sekali pasti," kata Zayn.
"Mas ini kayak orang ngidam aja, padahal aku yang hamil biasa saja," kata Adhisty. Ia melihat ke sekeliling, siapa tahu menemukan pemilik pohon tersebut.
Dan benar saja, Adhisty melihat seorang kakek tua yang sedang duduk santai di sebuah gazebo halaman rumah yang tak jauh dari pohon kelapa tersebut. Adhisty berjalan mendekati kakek itu. Zayn hanya mengikutinya dari belakang.
"Maaf kek, apa kakek pemilik pohon kelapa itu?" tanya Adhisty sopan.
"Iya, ada apa ya neng?" tanya sang kakek.
"Em, begini Kek. Apa boleh saya minta satu saja kelapa mudanya?" Adhisty menoleh pada suaminya yang tak sabar menunggu, "Saya lagi hamil, kek. Dan sepertinya suami saya yang mengidam pengin sekali minum air kelapa hijau itu. Apa. Boleh saya minta, eh tidak. Saya akan membayarnya, kek. Kalau kakek tidak keberatan mengijinkan kami memetiknya," lanjut Adhisty.
Sang kakek melihat ke arah Zayn, pria itu hanya mengangguk sopan sebagai sapaannya terjadap kakek itu.
" Tentu saja boleh, neng. Boleh ambil sepuasnya. Tak perlu di bayar. Cukup doakan kebaikan buat kakek saja," ujar kakek itu tulus.
"Terima kasih, kek. Saya doakan, semoga kake di berik kesehatan selalu dan di beri yang panjang dan berkah," ucap Adhisty tersenyum.
"Aamiin. Kakek doakan juga yang terbaik buat kalian. Semoga sehat-sehat anak. Dan ibunya sampai lahiran nanti. Lancar persalinannya. Dan semoga pernikahan kalian langgeng sampai kakek nenek dan maut yang memisahkan," ujar kakek.
Adhisty trenyum mendengar doa sang kakek. Ia mengamininya dengan perasaan haru dan penuh harap, berharap sang pemilik takdir mengabulkan doa kakek.
Pun dengan Zayn, ia dengan sungguh-sungguh mengamini doa kakek itu dalam hatinya.
"Lalu, siapa yang akan memanjat pohonnya, Neng? Kakek sudah tua, tidak bisa lagi memanjat," kakek itu lalu melihat ke arah Zayn, "Suamimu juga sepertinya bukan orang sembarangan. Tidak mungkin mau memanjat pohon kelapa itu," lanjutnya.
Kakek benar, Adhisty bingung harus bagaimana. Iapun mendekati Zayn yang sedang bersedekap dada di bawah pohon kelapa yang tak terlalu tinggi itu.
"Mas malah beridri di sini, kalau kejatuhan kelapa, bagaimana? Bahaya itu kepala," ucap Adhisty.
"Saya yang akan memanjatnya. Sepertinya tidak tinggi," ucap Zayn.
"Jangan aneh-aneh! Tidak tinggi pun tetap saja kalau jatuh sakit. Bisa patah tulang. Parahnya remuk semua badan. Lagian apa mas pernah manjat pohon?"
"Pernah! Manjat pohon mangga pakai tangga. Sama... Manjat kamu," ucap Zayn dengan lugunya.
Adhisty menepuk jidatnya, sempat-sempatnya mesum pria ini, pikirnya.
"Ini beda mas, ini pohon kelapa. Nggak usah jadi aja, ya? Kita cari nanti beli!"
Zayn menggeleng, "Pengin banget yang itu. Petik langsung dari pohonnya," rengeknya macam anak kecil yang mana membuat Adhisty heran.
"Percaya kalau saya bisa, kamu jangan ragukan kemampuan saya,"
"Terserahlah. Ingat di sini ada anak yang masih butuh papanya. Hati-hati, meski sebentar, aku masih pengin jadi istrimu,"
Zayn tersenyum, ucapan Adhisty adalah semangat untuknya, "Doain ya?" ucapnya sudah seperti hendak maju ke medan perang saja.
Berbekal menonton video yutub barusan saja, Zayn mulai naik. Beruntung pohon iti ada tatakan kakinya cukup banyak sehingga ia bisa sedikit lebih mudah memanjatnya.
"Sampai, Num!" teriak Zayn girang saat sampai atas, tepat di bawah kelapa. Tapi , dia ngeri juga saat melihat ke bawah.
"Jangan lihat ke bawah, mas! Langsung petik saja terus cepat turun!" teriak Adhisty.
Zayn bingung harus memilih kelapa yang mana yang masih muda. Kakek memberitahunya cara memilih kelapa yang masih muda.
Setelah berhasil menjatuhkan tiga buah kelapa, kini saatnya Zayn turun. Sialnya dia mendadak tremor kakinya. Berbeda saat naik tadi.
Akhirnya, Zayn memejamkan matanya saja sambil merosot pelan-pelan ke bawah dengan terus memeluk pohon kelapa tersebut.
"Sudah nginjak tanah itu mas kakinya," ucapan Adhisty membuat Zayn membuka matanya. Ia benar-benar malu rasanya karena kebodohan yang begitu jelas.
Zayn merasa tak nyaman di dadanya, ia membuka kancing kemejanya, "Pantesan perih, merah-merah, kegores Num!" ucapnya.
...----------------...