Luna selalu tidak percaya diri jika tampil di depan banyak orang, padahal ia memiliki suara indah. Cita-cita Luna sebenarnya ingin menjadi seorang penyanyi tetapi ditentang oleh orang tuanya. Suatu hari Luna mendapatkan tawaran kerja menjadi seorang penyanyi oleh temannya, Mona. Namun, tempat kerja itu merupakan tempat terlarang. Hingga akhirnya ia kabur dari tempat kerja itu, dan bertemu dengan sahabatnya, Adi. Rasa jatuh cinta Luna kepada Adi itu semakin nyata, namun ia tak bisa mengungkapkannya. Adi dan Hani yang merupakan sahabat Luna menyarankan untuk mendaftar audisi menyanyi. Luna pun diterima di audisi itu, dengan perjuangan dan pengorbanannya selama di karantina, Luna berhasil menjadi juara 1 di audisi menyanyi itu, hingga akhirnya kedua orang tua Luna menyadari kalau mereka telah mementingkan egonya bukan masa depan Luna. Cita-cita Luna menjadi seorang penyanyi terkenal akhirnya tercapai dan ternyata Adi juga memiliki rasa terhadapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fiore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengorbanan Membuahkan Hasil
Beberapa hari sebelum pertandingan 5 besar itu dimulai, aku sudah mengirimkan pesan kepada orang tua ku untuk bisa hadir di malam ini. Aku sangat mengharapkan kehadiran mereka di audisi ini karena sejak pertama aku mengikuti kompetisi ini, orang tua ku belum pernah datang untuk menonton dan menyaksikan penampilanku.
Hingga tak terasa malam persaingan 5 besar itu tiba, banyak sekali pengunjung yang datang malam ini. Kursi penonton sampai penuh tak ada satupun yang tersisa.
Adi datang bersama keluarganya dan Hani pun juga datang bersama keluarganya, suara mereka sangat terdengar saat meneriaki namaku.
Penuhnya kursi penonton membuat aku tidak bisa memastikan apakah orang tuaku benar datang atau tidak. Hal itu masih membuatku tanda tanya.
Di pertandingan malam ini, aku berhasil menampilkan penampilan terbaik ku lagi dan aku pun mendapatkan peringkat pertama kembali dan melaju ke 4 besar.
Walaupun malam ini ada Adi, Hani, dan tetangga terdekat ku yang pada datang, tapi tetap saja seperti ada yang kurang.
Ini sudah 2 kalinya aku meminta orang tua ku datang untuk menyaksikan penampilanku tapi apa boleh buat jika orang tua ku tidak setuju dengan cita-cita ku, pasti mereka pun tidak akan pernah datang.
Hati ini rasanya sesak sekali dan aku ingin menangis.
Tiba-tiba saja tiga orang polisi masuk ke dalam ruangan dimana tempat para peserta audisi berkumpul sebelum pulang.
“Angkat tangan Mona! Kamu akan kami tangkap dan ikut kami ke kantor polisi”, kata salah satu polisi itu dengan menodongkan sebuah pistol.
Semua orang yang berada di ruangan itu menjadi kaget dan bingung. Kenapa tiba-tiba ada polisi yang datang?
“Ada apa ini, pak?”, tanya panitia audisi ini.
“Mona harus kami tangkap karena telah menjadi tersangka tindakan kejahatan tabrak lari”, kata polisi itu.
“Ada apa ini? Aku tidak melakukan apa-apa?”, kata Mona memberontak saat tangannya akan diborgol.
“Kamu harus ikut kami ke kantor polisi!”, jelas polisi itu.
“Aku tidak melakukan apa-apa!!! Aku tidak melakukan apa-apa!!!”, kata Mona yang terus memberontak sambil menangis.
Ketiga polisi itupun langsung membawa Mona pergi keluar dari ruangan ini. Aku berharap Mona akan mendapatkan hukuman yang setimpal agar ia jera dengan semua perilaku yang pernah dilakukannya. Suasana di ruangan ini pun masih gaduh.
“Lunaaaaaa”, terdengar suara orang memanggil namaku.
Saat aku menoleh ke arah belakang, ternyata mereka adalah kedua orang tua ku. Hati yang sesak itu kini berubah menjadi bahagia.
“Bapak. Ibu”, kataku dengan berlari ke arah nya.
Kami bertiga saling berpelukan dan menangis bersama, melepas rasa rindu kami yang sudah 6 bulan lebih kami tak bertemu ataupun berkomunikasi.
“Maafkan Bapak dan Ibu ya, Na. Yang selalu mementingkan ego kami dan tidak pernah memikirkan masa depanmu akan seperti apa?”, kata bapak menangis.
“Kami juga malah mempercayai perkataan orang lain, bukannya mempercayai perkataan anak sendiri. Setelah mendengar kabar bahwa anak pak camat ditangkap polisi. Disitu kami baru sadar, Na”, tambah Ibu.
“Maafkan Luna juga karena tidak kembali ke rumah, searusnya Luna bicarakan dulu sama bapak dan ibu”, kataku.
“Kak, Luna”, terlihat Banu adik laki-lakiku yang juga ternyata ikut hadir pada acara malam ini.
“Banu”, Kami berdua saling berpelukan.
“Mulai sekarang, kamu boleh bebas memilih cita-cita mu sesuai dengan bakatmu, asalkan itu tidak di jalan yang salah”, kata bapak.
“Terima kasih, pak”, balasku.
Terlihat Adi dan Hani dari kejauhan menyaksikan aku dan keluarga ku bisa berkumpul kembali.
Tak terasa hari terus berganti, semua perjuangan dan pengorbanan ku ternyata tidak sia-sia, aku berhasil masuk ke grand final dalam audisi itu yang kini tinggal menyisakan 3 orang peserta.
Di malam grand final nanti akan di selenggarakan di suatu gedung dengan kapasitas penonton yang lebih banyak dari biasanya.
Malam ini aku sedikit gugup, karena di malam grand final ini hanya menyisakan lawan yang kuat. Apakah aku sanggup mengalahkan mereka? Pikirku dalam hati.
Saat aku akan tampil di atas panggung, aku melihat bapak, ibu, dan adikku Banu hadir untuk menyaksikan penampilan ku. Begitu pun juga dengan tetangga ku yang datang hampir satu RT, yang meminta mereka semua hadir pasti Hani dan Adi. Suara mereka pun terdengar gemuruh meneriaki namaku.
Melihat kehadiran mereka membuat aku semakin percaya diri dan semangat saat tampil. Malam ini aku merasakan rasa kebahagiaan yang benar-benar luar biasa dan berbeda dengan yang aku rasakan sebelumnya. Hingga akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu itu datang juga. Dewan juri menyebut namaku kalau akulah pemenang pertamanya.
Mendengar itu, aku pun langsung bersujud syukur, aku benar-benar tidak menyangka kalau aku akan menang di audisi ini.
Dewan juri langsung memberikan ku piala dan memakaikan sebuah mahkota kecil di kepala ku sebagai tanda gelar “Queen of Melody”, yaa... Siapa yang menang di kompetisi ini, maka akan mendapat gelar sebagai ratu melodi. Aku pun tak bisa menahan air mata haru itu.
“Selamat, Na”, satu-persatu orang mengucapkan selamat kepada ku. Namun aku belum melihat Adi, tapi tadi aku melihatnya di kursi penonton.
Tiba-tiba saja saat aku membalikkan tubuhku, Adi berada tepat di belakang ku.
“Selamat ya, Na. Cita-cita mu berhasil tercapai kan”, ucapnya dengan menyerahkan buket bunga kepada ku.
“Terimakasih Adi”, lalu ku peluk erat tubuhnya itu.
“Ini juga karena ada kamu dan Hani. Kalau kalian tidak ada, mungkin aku tidak kuat dan bertahan hingga saat ini”, jelasku dengan menitikkan air mata.
Adi tersenyum lalu ia juga memeluk erat tubuhku.
Dua hari kemudian, karena audisi ini sudah selesai aku mengemas semua barang-barang ku untuk pergi meninggalkan hotel. Hotel ini memiliki banyak kenangan, kenangan dimana saat aku sedang berjuang untuk menggapai mimpiku.
Mobil Adi datang untuk menjemputku, namun saat aku tengok ke dalam nya, bukan Adi yang mengendarai mobil itu, Adi sepertinya tidak ikut. Yang ada hanya Hani dan Rio teman Adi.
“Adi tidak ikut?”, tanyaku setelah memasukkan barang-barang ku ke dalam mobil bersama Rio.
“Hari ini dia lagi ada panggilan sidang tentang kasusnya Mona itu”, jelas Hani.
“Oh iya, aku lupa kalau hari ini adalah acara sidang nya Mona”, kataku.
“Kita juga kesana yuk, aku penasaran dengan ekspresi wajah Mona saat dia sedang disidang”, kata Hani yang masih menaruh rasa benci terhadap Mona.
Akhirnya kami bertiga memutuskan untuk menyusul ke kantor pengadilan. Tak lama kemudian kami pun tiba di kantor pengadilan.
Saat Mona ditanyakan tentang perilaku kejahatannya, ia masih belum mengakui kalau ia yang melakukan nya, ia masih menuding kalau sopirnya lah yang melakukannya. Keluarganya Mona pun juga mendukung kalau Mona tidak melakukan nya.
Setelah rekaman video CCTV itu ditayangkan, Mona dan keluarganya tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Mona melihat diriku yang ikut hadir di acara persidangan itu. Tiba-tiba saja ia memberontak dan berjalan ke kursi pengunjung yang telah menyaksikan jalannya per
“Ini semua gara-gara dia!!!!!!”, Mona mencekik keras leherku.
Nafasku sampai terasa begitu sesak, hingga akhirnya polisi dan beberapa petugas pengadilan berhasil memisahkan diriku dengan Mona.
“Ini semua gara-gara diaa!!!!!”, Mona masih meronta-ronta dan menangis saat dibawa oleh petugas pengadilan. Hingga akhirnya sidang pun ditunda oleh hakim ketua karena terjadi keributan.
“Kamu tidak apa-apa, Na?”, tanya Hani yang berada didekat ku.
Saluran nafas di leherku masih terasa agak sesak dan leherku masih terasa sakit. Hani dan bapaknya Adi langsung membawa ku keluar dari ruangan sidang.
“Ada apa ini?”, tanya Adi yang sedang menunggu di ruang saksi dan keluar karena mendengar suara keributan.
“Tadi Mona sempat mencekik Luna, Di”, jawab Hani.
“Apa? Benar-benar jahat sekali itu orang”, kata Adi.
“Aku tidak apa-apa kok”, kataku, aku merasakan leherku tidak sesakit tadi yang aku rasakan.
Karena sidang itu ditunda aku dan lainnya memutuskan pulang saja, apalagi aku sudah hampir 8 bulan tidak pulang ke rumah. Di parkiran mobil, Mona masih terlihat menangis-nangis dan meronta-ronta saat akan di naikkan ke dalam mobil tahanan.
Mungkin ini adalah balasan akibat semua perbuatannya, sudah banyak aku dikerjai dan dibohonginya, sampai aku berada di titik terendah dan jauh dari orang tua.
Tapi, untung saja ada kedua sahabat ku yang selalu menolong dan menguatkan aku hingga akhirnya aku bisa berdiri kembali.
Hari demi hari pun berlalu, Mona akhirnya mendapatkan hukuman penjara selama 7 tahun karena ia telah melakukan tindakan pidana perencanaan pembunuhan. Bapaknya yang seorang camat pun mengalami gangguan jiwa karena melihat anak perempuannya di penjara.
Aku, Hani, dan Adi kini sudah memiliki kesibukan masing-masing. Hani sekarang sudah memiliki butik sendiri yang tak jauh dari rumahnya. Adi masih melanjutkan kuliah S1 nya. Sementara aku sudah memiliki banyak job dan sering tampil di acara televisi ataupun diundang pada acara-acara tertentu.
Beberapa bulan, kami bertiga tak bertemu. Hingga suatu hari kami janjian untuk ketemuan di sebuah restoran.
Saat bertemu kami bertiga bercerita tentang pekerjaan kami masing-masing.
“Hmm.... Kalian enak sudah pada punya kerjaan, sementara aku masih harus menyelesaikan kuliahku 3 tahun lagi”, kata Adi.
“Kenapa kamu tidak memilih untuk bekerja saja?”, tanya Hani.
“Yaa... Sebenarnya aku ingin belajar bagaimana cara berbisnis dulu, karena aku ingin membuka beberapa toko mebel. Jadi, barang dari pabrik mebel bapak ku bisa langsung dijual di toko ku”, jelas Adi.
“Jalan yang kamu pilih itu benar, Di. Kalau kita mau membuka usaha tapi tidak mengetahui cara berbisnis yang ada nantinya usaha kita bangkrut”, kata ku.
“Sekarang cita-cita kita berdua sudah tercapai, tinggal menunggu cita-cita Adi saja,nih”, kata Hani.
Tiba-tiba saja ponsel Hani berdering, lalu ia mengangkatnya.
“Aku lagi bersama sahabatku. Iya, dijemput yaa”, kata Hani di telepon itu. Tak lama kemudian dia langsung menutup teleponnya.
“Aku pulang duluan ya, soalnya ada janji nih”,kata Hani malu-malu.
“Janji sama siapa?”, tanyaku.
“Ada deh... Kalau ada waktu kita ketemuan lagi yaa”, katanya tersenyum dan langsung pergi meninggalkan aku dan Adi.
Kini yang ada hanya aku dan Adi, entah mengapa jantung ku kembali berdegup kencang padahal tadi pada saat ada Hani biasa saja.
“Luna”, kata Adi.
“Eh.. Iya, Di”, kataku menjadi sedikit canggung.
Tak lama kemudian Adi meraih tanganku. Lalu ia mengeluarkan sebuah kotak dari kantong celananya.
“Luna, maukah kamu menikah denganku”, kata Adi dengan membuka kotak itu yang berisi sebuah cincin berlian.
Rasa senang dan haru itu sangat terasa. Apakah ini yang dimaksud Hani, kalau wanita yang dikagumi Adi sebenarnya adalah diriku, sehingga ia tidak mau mengatakannya.
“Iya, Di”, aku terima lamarannya karena aku juga merasakan jatuh cinta kepadanya.
“Tapi, kamu maukan menunggu kuliah ku selesai dulu?”, tanya Adi.
“Iya, Di. Lagipula kamu kan memang harus menyelesaikan kuliahmu dulu”, jawabku.
Adi duduk didekatku, ia memakaikan cincin berlian itu pada jari manis ku lalu mencium keningku.
“Suit... Suit...”, terdengar suara Hani.
Aku lihat ternyata Hani masih berada disini, Hani dan Rio berada di belakang ku. Sepertinya ini sudah disetting oleh mereka.
“Haniiii! Ternyata kamu”, ucapku.
“Gimana? Sekarang kamu sudah tau kan wanita yang dikagumi Adi”, kata Hani.
“Haniiiii”, pipiku memerah karena aku jadi merasa malu dengan Adi.
Adi hanya tertawa saja. Hari ini seperti sebuah lembaran hidup baru. Rasa sakit, sedih, dan putus asa itu akan menjadi sebuah cerita dalam hidup ini. Apalagi saat ini sudah ada seseorang yang membuat hati ini jatuh cinta dan ia juga akan menemani hidupku untuk selamanya.
...****************...
...TAMAT...