Riana terpaksa menerima lamaran keluarga seorang pria beristri karena keadaan yang menghimpitnya. Sayangnya, pria yang menikahinya pun tidak menghendaki pernikahan ini. Sehingga menjadikan pria tersebut dingin nan angkuh terhadap dirinya.
Mampukah Riana tetap mencintai dan menghormati imamnya? Sedangkan sikap labil sering sama-sama mereka tunjukkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rini sya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Terbaik
Riana masih berdiri gemetar di dekat jendela sambil memegang bolpoin milik perawat yang tertinggal. Dia segaja mengambil bolpoin itu untuk melindungi diri. Karena dalam pikirannya, alat itu ia bisa gunakan andai saja pria itu nantinya menyerang lagi. Lalu, dengan sigap ia akan menancapkan bolpoin itu ke leher pria biadap itu. Biar mati sekalian. Batin Riana mulai tak mau memberi toleransi kepada Langit.
"RI, aku minta maaf!" ucap Langit sembari maju satu langkah untuk mendekati dan tentu saja ia ingin memeluk wanita yang kini sanggup membuatnya goyah.
"Tidak! Jangan mendekat. Kalau tidak aku sungguhan lompat. Aku teriak!" jawab Riana marah. Napasnya sesegal-segal. Sepertinya dia memang benar-benar marah.
"Ampuni aku, Ri. Maafkan aku!" ucap Langit sembari bersujud tepat di depan Riana.
Riana yang terlanjur takut, tentu saja langsung memiliki niat untuk melarikan diri. Mumpung Langit sedang bersujut, Riana pun melancarkan niatnya untuk lari.
"R, jangan pergi!" cegah Langit sambil berusaha bangkit.
Sayangnya, ketika ia sampai di depan pintu, pintu itu terbuka dan ternyata yang datang adalah Dayat dan Nana
Melihat di ruangan itu ada sang putra dan Riana sendiri dalam keadaan gemetar, tentu saja membuat Nana dan Dayat tanggap. Mereka masih bersikap tenang. Karena mereka tahu ini rumah sakit. Mereka harus tetap menjaga etika. Jangan sampai urusan keluarga mereka menjadi konsumsi publik.
Nana langsung memeluk mantu kesayangannya. Riana sendiri yang saat itu sedang berada dalam ketakutan yang parah, hanya bisa menangis dan memohon kepada sang ibu mertua untuk melindunginya. Bukan hanya itu, dalam isak tangisnya ia juga memohon pada wanita paruh baya itu untuk segera membawanya pergi dari sini. Membawanya pergi menjauh dari pria jahat itu.
"Sekarang kamu puas kan?" tanya Datar langsung pada inti permasalahan mereka.
"Maafkan Langit, Pa. Langit khilaf!" ucap Langit langsung sujud lemas di depan kedua orang tuanya.
"Khilaf kamu bilang? Sebuah kebencian bukan khilaf, Langit. Kamu jangan membela tindakan bejatmu dengan alasan khilaf." Dayat masih belum meninggikan suaranya. Karena ia tetap ingin sang putra berada di tempat dan mendengarkan setiap kata yang hendak ia ucapkan. Dayat ingin Langit tahu, betapa dia dan sang istri sangat kecewa dengan perangai buruknya.
Langit diam. Masih menundukkan kepala di depan sang ayah.
"Kami memilih Ria untuk menjadi istrimu bukan tanpa alasan, Langit. Sebelumnya, kami sudah mencari tahu bagaimana sikap dan sifat Riana. Kesabarannya, kasih sayangnya, ketulusannya, itu adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh tumbuh kembang putrimu. Kami tahu, kalo kamu dan Ria sendiri terpaksa menerima pernikahan ini. Namun, aku dan mamamu berharap, kamu bisa melihat ketulusan hati istrimu, sehingga kalian bisa menerima satu sama lain. Bisa membantu pekerjaan satu sama lain. Terutama untukmu," ucap Dayat.
Sungguh, saat ini, detik ini, ingin rasanya ia menghajar sang putra dengan tangannya, dengan tongkat besi kalau perlu. Beruntung ini adalah rumah sakit. Sehingga, mau tak mau, Dayat pun menahan hatinya untuk tidak bertindak anarkis.
"Maafkan Langit, Pa!" ucap Langit memohon.
"Tidak Langit, kesalahanmu sungguh tidak manusiawi. Papa dan Mama sudah sepakat. Kami akan mengembalikan Riana kepada orang tuanya." Dayat kembali menghela napas dalam-dalam.
"Jangan, Pa! Langit mohon. Bagaimana dengan Ara?" jawab Langit, padahal Ara hanya alasannya agar Riana tidak pergi. Ia ingin memperbaiki kesalahan yang ia lakukan. Langit tak mau berpisah seperti ini. Setidaknya dia harus membuktikan pada Riana bahwa dia benar-benar menyesal.
"Tidak, Langit! Jangan menambah dosa kami. Kami tak ingin ikut menanggung dosaakan perbuatanmu." Dayat tetap pada pendiriannya.
"Ma, Langit mohon!" pinta langsung bersimpuh di kau ibunya. Sedangkan Riana langsung berlari di belakang Dayat. Karena dia memang tak mau berdekatan dengan pria jahat itu.
"Kamu lihat, betapa gadis ini ketakutan melihatmu? Kami tak ingin menambah beban mentalnya lagi. Sudah Ma, ayo kita jalan. Biarkan bocah ini memikirkan masalahnya sendiri. Dia kan merasa sudah hebat. Bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Bisa menanggung masalahnya sendiri. Dia sudah membuktikan pada kita bukan, bahwa dia sama sekali tak butuh bantuan kita. Sekarang mari kita lihat, Ma. Apakah istri pesakitannya itu bisa mengurusnya. Atau mengurus bayi mungil itu. Papa pengen lihat, sampai seberapa langkahnya memperjuangkan hidupnya!" ucap Dayat. Kali ini Dayat tak ingin menutupi apapun tentang rasa sakit yang ia simpan di dalam hati. Sebab baginya, Langit sangat keterlaluan.
"Ampuni Langit, Pa!" pinta Langit memohon. Gantian, pria ini pun langsung beralih memeluk kaki sang ayah.
"Sudah Papa bilang, tidak ya tidak. Kami sudah berusaha membantu. Mencarika solusi terbaik untuk masalahmu. Untuk kesulitanmu. Nyatanya seperti ini balasan yang kamu berikan kepada kami. Kamu menyiksa gadis yang nyata-nyata tidak bersalah. Kalau pun kemarahanmu karena dia meminta mahar pernikahan yang mahal, itu haknya. Bagi Papa itu wajar. Toh kita sebagai pihak laki-laki yang menawarkan. Salahnya di mana? Jangan menghakimi seseorang yang kamu tidak tahu masalahnya, Langit. Belajarlah dewasa. Pikirkan jika apa yang menimpa Riana menimpa putrimu, atau ibumu, adikmu barangkali. Bagaimana perasaanmu? Yakin kamu bisa terima?" desak Dayat. Masih dengan nada suara biasa. Tapi tetap penuh penekanan dan kekecewaan.
Terang saja, ucapan itu sukses membuat Langit menangis, menyesal. Pria ini tak sanggup lagi menjawab, ia hanya bisa menangis takut. Takut tak mendapatkan maaf dari gadis yang ia sakiti.
"Ria, maafkan aku!" pinta Langit.
Riana bergeming. Diam seribu bahasa. Gemetar tak karuan.
Melihat sang menantu yang mulai Los kontrol, Dayat pun paham. Dengan cepat ia pun meminta Nana untuk membawa sang menantu keluar dari ruangan ini.
"Bawa dia, Ma. Kasihan! Walaupun dia terlahir dari keluarga sederhana, dia tetap wajib kita lindungi. Kita hargai. Yang buta biarkan buta. Percuma kita tunjukkan pelangi pada mereka yang buta. Langit sudah memilih jalannya sendiri. Kita sebagai orang tua bisa apa? Mari kita selesaikan ini. Bukankah Ria juga sudah setuju dengan perpisahan ini. Ria sudah ikhlas kan?" Dayat semakin tak sanggup menahan sesak yang ada di dadanya.
Rasa kecewa dan benci yang ditanam oleh Langit di hatinya sungguh tak main-main. Dayat sungguh-sungguh kecewa.
"Mulai besok, kamu tidak usah datang ke kantor. Papa bisa menghendel sendiri kerjaan. Insya Allah para pekerja Papa juga bisa membantu. Oia, besok pengacara yang menangani kasus perceraian kalian akan datang menemuimu. Tolong sportif. Tidak usah memperkeruh suasana. Ria tidak melaporkanmu ke pihak yang berwajib saja, harusnya kamu sudah bersyukur. Jadi Papa harap, kamu bisa paham keputusan kami!" ucap Dayat lagi.
Bagai disambar petir di siang bolong. Semua barisan kalimat yang ia dengar hari ini, seperti sebuah tali tambang yang tanpa ampun menjerat lehernya. Jangankan untuk menjawab setiap kata tersebut. Untuk bernapas pun Langit tak bisa.
Langit tertunduk lesu menyesali perbuatannya. Diam. Langit Diam tanpa kata.
Bersambung...
Like komen n votenya... jangan lupa😍😍😍
msh merasa paling tersakiti