NOVEL DEWASA
Fase kedua dalam kehidupan percintaan.
Seberapa mampu kita bertahan dan mempertahankan cinta dan rumah tangga?
Bukankah badai pasti berlalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juliana S Hadi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Me Time!
Keesokan paginya Reza membangunkan aku dan mengajakku mandi. Kusuruh dia mandi duluan, dan membiarkan aku mandi sendiri. Kali ini dia tidak memaksa. Pun pada aktivitas-aktivitas berikutnya, dia tidak rewel lagi dan tidak mengintiliku lagi.
Setelahnya, aman dalam lingkungan damai rumah kami dan nada-nada musik yang mengalun merdu dari pengeras suara, kutuangkan segelas jus jeruk yang seharusnya sudah kuminum sejak tadi. Tidak ada yang mesti kusesali dari semua hal yang sudah terjadi dan aku tidak mesti mempertahankan mati-matian rumah tanggaku. Selama Reza setia padaku, aku bersedia menghabiskan sisa hidupku sebagai istrinya -- teman hidup yang hangat untuknya. Begitu juga sebaliknya. Semua tergantung padanya.
Setelah makan siang, kulirik jam -- pukul 12.45 -- lalu aku memutuskan untuk menghabiskan waktu di luar, aku ingin jalan-jalan sendiri. Kuambil tasku lalu menghampiri Reza di halaman belakang, dia sedang bersama Erik dan seseorang yang dipercayakan untuk mengurus renovasi bagian belakang rumah kami.
"Mas, aku mau izin pergi," kataku. Aku sedikit gugup sebab sebelumnya aku belum pernah minta izin pergi kepadanya -- sekali pun. Aku belum pernah pergi ke luar rumah tanpa dia.
Sesuai dugaanku, tidak semudah itu. Reza tidak akan mungkin langsung mengiyakan. "Mau ke mana? Biar kutemani, ya?"
"Aku mau pergi sendiri."
"Ke mana?"
"Belum tahu. Tapi aku butuh jalan-jalan."
"Kuizinkan, asal kamu biarkan Erik yang mengantarmu."
Ish! Menyebalkan! "Aku mau pergi sendiri."
"Sayang, tolong...."
"Tidak usah! Aku tidak jadi pergi."
"Sayang...."
Kekecewaan menyergapku. Dengan cemberut aku kembali masuk dan menghempaskan diri ke tempat tidur.
Sepuluh menit sepeninggalku, Reza menyusulku ke kamar. Dia menghampiriku dengan senyumannya yang hangat.
"Aku tidak suka sangkar emas," kataku.
Dia menatapku. Senyum lebar seketika langsung menghiasi wajahnya. "Kenapa? Kamu tidak pernah seperti ini sebelumnya."
Pertanyaan bodoh yang membuatku menggeleng dengan senewen. Hatiku melesak. "Aku butuh me time. Hati dan otakku itu sama penatnya, capek aku menghadapi masalah rumah tangga kita yang semerawut," cetusku.
Reza menganggukkan kepalanya. "Kamu boleh pergi," katanya, lalu ia mencondongkan tubuh dan mencium keningku sebelum keluar dari kamar, plus memberikan kartu debitnya padaku -- meski dia selalu mengisi rekeningku setiap bulannya yang sampai saat ini belum berkurang satu rupiah pun.
"Jangan pulang terlalu malam, dan jangan mematikan ponsel."
Senang. Aku langsung menyambar tas lalu keluar dari kamar.
Tetapi... sewaktu aku sampai ke ruang tamu, aku mengerem langkahku dan berbalik -- menghampiri Reza di teras belakang. "Apa?" tanyanya saat aku menjulurkan tangan dengan telapak terbuka.
"Salim."
Senyumannya yang manis seketika mengembang, ia pun menjulurkan tangan. "Hati-hati, ya, Sayang."
Aku mengangguk, dan lekas-lekas berlalu.
Awalnya aku tidak pergi jauh, hanya ke kedai kopi kecil di sekitar rumah. Aku memesan caramel latte dan membiarkan aroma kopi segar menenangkan denyut nadiku yang berpacu karena mengingat Reza tidak kunjung memberikan keputusan untuk mendepak Salsya dari kehidupan kami, sementara kelebat kekacauan yang lebih hebat mengancamku dalam waktu tiga bulan. Salsya akan melahirkan pada awal November.
Lima belas menit kemudian, aku menyadari ada yang mengikuti. Aku tidak tahu siapa namanya, tapi aku mengingat wajahnya, salah satu karyawan Reza yang pernah bertemu denganku sewaktu ia mengantar mendiang ibu mertuaku -- sehari setelah Reza melamarku dan aku ribut dengan ayahku. Aku memang lemah mengingat apa yang pernah telingaku dengar, tapi aku memiliki ingatan yang sangat tajam atas apa dan siapa yang pernah kulihat, seperti rekaman sebuah kamera pengintai.
Bagus. Dia tidak mengirimkan Erik, tapi mengirimkan orang lain sebagai gantinya.
Sebenarnya aku tidak marah untuk hal ini. Aku bisa menganggap orang itu tidak ada selama dia berada jauh beberapa meter dariku. Tapi sepercik ide untuk menyentil mental Reza tiba-tiba muncul di otakku ketika aku melewati kantor biro hukum tempat Rizki bekerja yang terletak di lantai tiga sebuah bangunan mengilap, tidak jauh dari Mall Taman Anggrek -- tempat yang sebenarnya ingin kutuju. Dinding-dindingnya terbuat dari kaca, karpetnya sewarna karamel, dan perabotnya terbuat dari jenis kulit licin yang membuat pantatmu selalu merosot kalau kau duduk di kursinya.
Saat aku tiba di sana, resepsionisnya menanyaiku -- apakah aku sudah membuat janji temu dengan Rizki sebelumnya.
"Belum," kataku. "Tolong katakan adiknya -- Inara Satria -- ingin bertemu."
Ah, secara tidak langsung aku telah mengakui bahwa dia adalah saudara angkatku, meski sebenarnya aku tidak suka.
"Mari," kata resepsionis itu, persis setelah ia meletakkan gagang telepon dari tangannya.
Rizki Satria Anggara bangkit dari balik mejanya yang superbesar waktu aku masuk ke ruangannya. "Hai," dia menyapaku.
"Aku harap kedatanganku tidak mengganggu."
"Tentu, sama sekali tidak. Jadi, hal apa yang membawamu kemari?"
"Tidak ada," kataku. "Aku kebetulan lewat sini dan berpikir untuk mampir."
Rizki menunduk dengan memasukkan kedua tangannya ke saku, dia nampak santai untuk seorang pengacara yang selama ini kupikir merupakan pribadi yang kaku, atau berengsek seperti ayahku.
"Sayangnya matamu tidak berkata demikian, Dik."
Aku tergelak. Dia menyebutku Dik. Itu terdengar aneh sekaligus lucu. "Yeah. Sejujurnya aku berpikir mungkin aku akan memerlukan bantuanmu. Maksudku, bukan sekarang. Mungkin suatu saat. Boleh aku menyimpan kontakmu? Kalau kamu tidak keberatan."
"Kamu sedang ada masalah? Dengan... suamimu?"
Hening. Aku tidak tahu mesti mengatakan apa.
"Baiklah. Hubungi aku kapan pun kamu membutuhkan bantuanku." Rizki membuka lacinya dan memberikan kartu namanya padaku. "Tapi aku ingin kamu bahagia. Jangan pernah gegabah dalam mengambil keputusan. Oke?"
Aku mengangguk. "Ya. Pasti," kataku. "Kalau begitu, aku permisi -- Kak."
"Yap, silakan. Senang bertemu denganmu."
Aku tersenyum. "Aku juga," sahutku. Kusimpan kartu nama itu lalu melangkah pergi.