Tidak cantik, tidak menarik, tidak berdandan apik, tidak dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. Namun, hidupnya penuh polemik. Lantas, apa yang membuat kisah hidupnya cukup menarik untuk diulik?
Tini Suketi, seorang wanita yang dijuluki sebagai legenda Desa Cokro yang melarikan diri. Kabur setelah mengacaukan pesta pernikahan kekasih dan sahabatnya.
Didorong oleh rasa sakit hati, Tini berjanji tak akan menginjak kampungnya lagi sampai ia dipersunting oleh pria yang bisa memberinya sebuah bukit. Nyaris mirip legenda, tapi sayangnya bukan.
Bisakah Tini memenuhi janjinya setelah terlena dengan ritme kehidupan kota dan menemukan keluarga barunya?
Ikuti perjalanan Tini Suketi meraih mimpi.
***
Sebuah spin off dari Novel PENGAKUAN DIJAH. Yang kembali mengangkat tentang perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup dengan cara pandang dan tingkah yang tidak biasa.
***
Originally Story by juskelapa
Instagram : @juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Titik Balik Kandang Ayam
Manusia mana pun, dalam soal niat tidak perlu diragukan. Niat dulu, diwujudkan belakangan. Niat baik saja sudah cukup menjadi awal dari sebuah tindakan baik.
Hari ketiga lepas dari pekerjaan, Tini mulai gelisah. Ia memang belum menyampaikan keinginannya mengundurkan diri dari karaoke secara resmi. Ia hanya mengatakan mau beristirahat sejenak, karena membutuhkan penyegaran. Aslinya, Tini hanya bergelimpangan di ranjang dan di lantai kamarnya.
Begitu pula dengan Boy. Laki-laki itu sudah mengundurkan diri dari perusahaannya dan menyandang status pengangguran. Pagi hari Boy keluar kos-kosan untuk melamar pekerjaan dan lewat tengah hari, ia akan kembali ke kos-kosan.
Sudah seminggu lamanya Boy melakukan hal itu. Uang persediaan sudah semakin menipis. Lauk-pauk juga semakin minimalis. Minuman dari jus, berganti ke es teh manis. Tak juga mendapat panggilan kerja, ia jadi semakin pesimis.
“Ayo, makan. Aku baru selesai masak,” ajak Dijah pada Tini, Boy, dan Asti yang duduk di teras kamar. Sedangkan Mak Robin, tak perlu ditawari makan siang lagi. Perempuan itu sudah bersendawa berkali-kali sejak setengah jam yang lalu.
“Aku jadi nggak enak gini,” kata Tini, berdiri dari duduknya menuju kamar Dijah.
“Enggak enak kau bilang, tapi cepat kali kau berdiri,” sindir Mak Robin.
“Kebutuhan perut bisa menyingkirkan rasa malu, Mak. Ketimbang kamu, Mak. Sendawa seratus kali, tapi nggak peka nawarin makan. Harusnya nawarin, walau cuma basa-basi.” Tini menarik tengkuk kerah kaus yang dikenakan Boy.
“Tanganmu, Tin!” sergah Boy, menepis tangan Tini seraya ikut berdiri menuju kamar Dijah.
“Mana mungkin bisa basa-basi sama kau. Kalo kutawari, pasti langsung masuk kau ke kamarku ngambil piring.” Mak Robin tertawa terbahak-bahak.
“Asik ... ayo, makan sama-sama. Tadi aku beli nasi pakai kari ayam,” kata Asti, mengikuti Boy masuk ke kamar Dijah dengan bungkusan di tangannya. Ia sengaja menunda jam makan siang menunggu Dijah selesai masak agar bisa makan bersama.
“Kari ayam? Jadi kangen Puput,” gumam Tini di ambang pintu.
“Siapa Puput, Mbak?” tanya Asti.
“Kari ayam,” jawab Tini kalem. Asti hanya mengernyit mendengar jawaban Tini.
Asti membuka kertas nasinya di tengah lantai. Dijah menambahkan dua kertas nasi di kanan-kiri nasi bungkus yang direntangkan Asti. Lalu, tiga mangkok nasi pun ditambahkannya ke atas kertas.
“Aku sebenarnya juga malu. Masa Dijah yang ngasi makan kita, Tin. Mau nolak, tapi aku juga kangen masakan rumah. Rasanya udah lama nggak makan masakan ibu.” Boy mulai duduk bersila memperhatikan tangan Dijah yang dengan cekatan menyendokkan sayur lodeh ke atas nasi.
“Begini maunya, kan?” tanya Dijah, meletakkan mangkok sayur, kemudian memindahkan telur dadar ke atas nasi.
“Sambelnya, Jah. Awas tumpah,” ujar Tini, mengangkat mangkuk sambal dan menyendokkan isinya ke atas telur. “Cuci tangan, Boy. Dari tadi aku liat kamu garuk semua celah di badanmu,” pinta Tini, menyenggol bahu Boy dengan bahunya.
“Aku udah cuci tangan tujuh kali, Tin. Kamu jangan bikin semua orang jadi kenyang karena denger omonganmu. Nanti makanmu yang paling banyak,” jawab Boy.
“Geser dikit duduknya, Boy. Nanti Dijah malah jongkok karena rentangan kaki kamu ini. Kan, kita semua jadi nggak enak.” Tini menepuk kaki Boy agar bergeser merapat ke tepi ranjang.
“Dari tadi nggak enak—enggak enak sama Dijah. Udah tinggal makan, banyak kali cakap kelen. Makan aja diam-diam,” seru Mak Robin dari luar kamar.
Asti dan Dijah terkikik. Sendok lalu dibagikan dan semua kepala menunduk di atas gundukan nasi. Tingkah rutin mereka pun dimulai. Saling memindahkan jenis sayur yang tak disukai ke siapa yang menyukainya.
Makan bersama, apa pun lauk dan sayurnya entah kenapa selalu lebih enak. Empat sendok pun terletak di atas kertas nasi yang sudah diremukkan.
Boy beringsut ke dinding yang sejajar kepala ranjang. Asti berdiam menyandari tepi ranjang. Tini mengangkat kertas nasi bekas dan memasukkannya ke dalam kresek. Dijah duduk di sebelah Asti. Di bahunya sudah tersampir sebuah handuk.
“Jaman tinggal di kos-kosan mahal, tiap abis makan kita semuanya pasti ngopi. Atau minum-minuman kekinian gitulah. Boba-boba kayak gitu,” ujar Boy.
“Boba-boba gimana? Yang pake tepung kanji bulet-bulet itu?” tanya Tini.
“Itu boba, Tin, namanya.” Boy memandang Tini yang sedang mengulum sebatang tusuk gigi.
“Sama aja, dari tepung kanji. Itu mahal di kemasan aja,” ujar Tini.
“Rasanya enak, kok. Yang kemarin aku kurang suka, itu jenis kopi V60. Agak pait, nggak ngerti nama jenis kopinya apa.” Boy beranjak mengambil tusuk gigi di atas meja plastik Dijah.
“Enggak usah sok V60—V60, boba—boba, apa itu? Kelas kita, tuh, udah pas di pop ice aja. Ya kan, Jah?” Tini memandang Dijah yang mengangguk-angguk.
“Iya, bener. Kalian masih di sini? Aku mau mandi,” kata Dijah bangkit dari duduknya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Tini.
“Enggak ke mana-mana, Tin. Biar keliatan sibuk aja,” jawab Dijah keluar kamar.
Kebanyakan hari seperti itulah yang mereka lewati di kos-kosan kandang ayam. Boy menganggur hampir dua minggu dan banyak menumpang makan bersama Dijah. Uang persediaan menipis, tapi sanggup bertahan dan berhasil tak meminta ke kampung.
Minggu berikutnya Boy diterima bekerja di sebuah perusahaan kosmetik lain. Motornya masih sanggup dipertahankan dan tak melayang ke showroom motor bekas. Sebagai balas budinya pada Dijah, Boy sering membelikan Dul jajanan.
Sedangkan Tini, belum keluar sepenuhnya dari karaoke. Ia masih sibuk mengirimi adik-adiknya uang. Tak terasa, Tini sudah bekerja di karaoke itu selama dua tahun lebih. Di tempat itu ia merupakan senior yang disegani. Pekerjaannya pun semakin mudah. Ia tak perlu terlalu sibuk meladeni tamu pria mencari teman minum. Ia hanya mengatur wanita mana yang menemani siapa.
Walau masih menjalankan pekerjaannya, Tini pelan-pelan masih mencari pekerjaan yang menerimanya sebagai lulusan SMA. Kebanyakan sebagai pegawai restoran, rumah makan, atau mini market. Sebenarnya Tini tidak keberatan kalau tempat bekerjanya tak jauh dari kos-kosan. Tapi, karena kebanyakan yang dilamarnya menawari lokasi kerja yang lumayan jauh, Tini menolak.
Hasil perkalian dan hitung-hitungannya belum masuk ke budget yang sesuai. Untuk kos-kosan saja dia membutuhkan 500 ribu sebulan. Belum termasuk makan, kebutuhan pribadi dan transportasinya. Ia tak mau bekerja sia-sia.
Sampai suatu hari, seorang tamu menawarinya bekerja sebagai SPG Rokok yang kemasannya berwarna merah menyala. Entah kenapa, Tini tertarik mencobanya. Syarat awal bekerja di sana tidak sulit. Tini hanya perlu menjual rokok dua puluh bungkus selama masa pelatihannya. Pekerjaan itu bisa dilakoninya selama akhir pekan. Artinya ia bisa tetap datang ke karaoke di hari biasa untuk mencari tambahan.
Lalu, datanglah sore itu.
Robin sudah disekolahkan ibunya di sebuah TK di dekat kos-kosan dan setiap malam bertengkar karena alat tulis bocah itu yang selalu raib. Walau Bapak Robin belum bisa sering-sering pulang, setidaknya Mamak Robin bisa melepas rindu dengan suaminya sebulan dua kali. Itu sudah cukup melegakan para penghuni kandang ayam lantai satu, karena Mak Robin yang sering uring-uringan tiap merindukan suaminya.
Asti sudah memasuki tahun akhir di kampusnya. Gadis itu belakangan terlihat murung, karena pria yang dipacarinya beberapa bulan belakangan sering menghindar tanpa sebab yang pasti. Berulang kali Tini mengatakan kalau pemuda itu punya kekasih lain, tapi sepertinya Asti masih mengingkari kenyataan.
Boy sedang berancang-ancang untuk memulai usahanya. Belakangan ia sering menaiki motor berkeliling mencari tempat yang berpotensi untuk membuka usahanya.
Dijah masih memulung dan malam hari masih bekerja sebagai pengantar minuman di kafe remang-remang.
Sore yang cerah, rasa gerah panas matahari masih terasa walau cahayanya sudah sejak tadi tenggelam di ufuk barat. Tini baru selesai bersiap-siap mau berangkat ke karaoke. Dari luar pintu kamar, ia mendengar suara sepeda motor berhenti.
Pasti bukan sepeda motor Boy. Karena suaranya berbeda. Juga pasti bukan suara motor-motor ojek yang selalu ditumpangi Gatot yang biasa berhenti hampir selalu masuk ke kamar Tini. Usai memulaskan lipstik, Tini segera memakai sepatunya.
Suara Mak Robin dengan ciri khasnya yang selalu menggelegar terdengar berbicara pada seseorang. Dari apa yang wanita itu katakan, sudah bisa dipastikan kalau ia sedang berbicara pada Dijah.
Dijah baru saja pulang, dan wanita itu pasti babak belur lagi. Sejak siang, Tini memang belum ada melihat sahabatnya itu kembali usai memulung. Biasanya, kalau Dijah tak menampakkan batang hidungnya di siang hari, wanita itu mengunjungi anaknya.
Tini melangkahkan kakinya keluar dan mengunci pintu kamar. Benar seperti dugaannya, Dijah pulang dalam keadaan wajah babak belur. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Fredy, mantan suami temannya itu.
“Tin! Mau ke mana kau? Ko tengok dulu ini kawan kau udah bengap-bengap (babak belur) mukanya!” teriak Mak Robin memanggil Tini.
Tini mendekati Dijah dengan sepatu yang saking tingginya, membuat ia harus terpincang-pincang menghindari bebatuan kecil di halaman.
“Ya ampun, Jah. Kok kayak gini lagi? Nanti pulang kerja aku obati ya. Sekarang nggak sempet aku udah ditunggu,” ujar Tini sedikit mengangkat dagu Dijah.
“Kau mau ke mana sore-sore gini?” tanya Mak Robin pada Tini.
“Melontelah, Mak. Kan, nggak mungkin aku ngantor jam segini,” jawab Tini.
“Astaga .... “ Terdengar pria yang sejak tadi kehadirannya terabaikan oleh Tini.
“Aku pergi dulu, kamu nggak usah kerja Jah!” tambah Tini seraya berjalan menjauh. “Eh, Jah! Ini siapa?” Tini menanyakan soal sosok pria di atas motor besar berwarna merah.
“Siapa? Ojek! Itu Ojek!” seru Dijah meringis.
“Astaga ...,” gumam pria itu lagi saat Tini mendekatinya. Pria itu sedikit mundur dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah siapa pria yang mengantarkan Dijah hari itu, yang jelas menurut Tini, pria itu ganteng dan bertubuh bagus.
Tini tak pernah menyangka, kalau hari itu adalah di mana semua kehidupan membosankan di kandang ayam, akhirnya menemukan titik terang.
Sore itu, adalah kali terakhir Tini melihat Dijah babak-belur oleh tangan suaminya.
To Be Continued
Mulai Minggu depan akan ada games kecil-kecilan di GC berhadiah poin ya ....
Catatan dari Admin GC juskelapa (Prameswari/ Miss Anget)
*Kuis akan diselanggarakan 2x dalam seminggu. Hari Kamis dan Hari Sabtu. Jam 8 malam.
(Bisa berubah sewaktu waktu)
*Tiap pertanyaan berhadiah 100 poin jika jawaban benar.
*Jawaban diambil dari siapa yang chat duluan dengan jawaban yang benar.
*Siapa saja boleh ikut jawab.
*Hadiah poin akan diberikan di GC Yang diundang oleh Admin. Untuk menghindari penikungan.
*Dimaksimalkan tidak ada chat lain selain chat jawaban.
*Jangan ada yang menjawab jika ada member lain chat diluar jawaban. Biarkan admin yang menjawab untuk mengurangi penumpukan chat.
*Harap tertib dan sopan