NovelToon NovelToon
CEO'S Legal Wife

CEO'S Legal Wife

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: salza

Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28

Bandara internasional pagi itu ramai, namun area keberangkatan kelas utama VVIP terasa lebih tenang. Leonard berdiri dengan jas gelap rapi, satu tangan di saku, satu lagi menggenggam paspor. Di sebelahnya, Leora mengenakan mantel tipis warna krem, rambutnya tergerai sederhana. Wajahnya terlihat antusias meski ia berusaha menahannya.

Minjae menatap mereka bergantian, senyumnya tak pernah lepas sejak tadi.

“Prancis,” katanya pelan, seperti sedang mengulang sesuatu yang lama ia tunggu. “Akhirnya.”

Leora tersenyum sopan. “Iya, Buuu..terimakasihh ibuku sayangg”

Minjae menggeleng cepat. “Mengantar anak dan menantu sendiri itu udah keharusan Leora..”

"Ayahmu Lee gak bisa mengantarkan kalian hari ini, ada meeting urgent"

Leora mengangguk

"Aku tau dia selalu seperti itu" Ucap Leonard.

Minjae lalu meraih tangan Leora, menggenggamnya hangat.

 “Jaga kesehatan. Jangan terlalu capek. Leonard kamu jaga anak momy ya! awas kalau menantu momy kenapa-napa.”

Leonard mendecih pelan. “Bu...”

Damian yang sejak tadi diam, berdiri dengan kedua tangan di balik punggung, akhirnya bersuara. Nadanya datar, tapi matanya tajam memperhatikan putranya.

“Honeymoon bukan sekadar jalan-jalan,” katanya. “Gunakan waktu ini untuk bersenang-senang dan membuat pengalaman yang indah.”

Leonard menatap ayah mertuanya sejenak. “Aku tahu,Ayah.”

“Dan satu lagi,” lanjut Damian. “Kali ini, jangan bawa pekerjaan.”

Minjae menepuk lengan Damian pelan, lalu kembali ke Leonard. “Dengar ayahmu. Perusahaan tidak akan runtuh hanya karena kamu pergi sebentar.”

Leonard mengangguk singkat. “Tenang saja, Sekretaris dan pegawai ku yang akan mengurus semuanya bu”

Pandangan Minjae lalu jatuh pada tangan Leonard yang sejak tadi masih menggenggam paspor Leora juga. Senyumnya mengembang, lebih lembut.

“Jaga istrimu baik-baik.”

Leonard menoleh ke Leora sesaat, lalu kembali menatap ibunya. “Hm.”

Minjae tertawa kecil. “Bagus. Seharusnya begitu.”

Pengumuman keberangkatan terdengar dari pengeras suara. Leonard melirik jam tangannya.

“Sudah waktunya.”

Damian mengangguk. “Pergilah.”

Minjae menarik Leora ke dalam pelukan singkat. “Nikmati setiap momennya. Ini perjalanan pertama kalian… jangan disia-siakan.”

Leora membalas pelukan itu dengan tulus. “Iya, Bu.”

Leonard menunduk hormat pada ayahnya. “Aku pergi.”

Damian menepuk bahu Leonard sekali singkat, tapi penuh makna. “Pulanglah dengan pikiran yang lebih jernih.”

Leonard dan Leora berjalan berdampingan menuju gate. Beberapa langkah sebelum masuk, Leora melirik ke samping.

Prancis date with you..

---

Ruang VVIP itu sunyi. Terlalu sunyi, bahkan.

Tidak ada suara penumpang lain, hanya dengung mesin pesawat yang konstan dan lampu temaram berwarna keemasan.

Leonard sudah duduk lebih dulu di sisi jendela. Tubuhnya bersandar santai, satu tangan terlipat di dada, tatapannya tertuju ke luar entah benar-benar melihat langit atau hanya berpura-pura sibuk dengan pikirannya sendiri.

Leora duduk di sampingnya. Kursi itu memang lebih pantas disebut kasur lebar, empuk, dan bisa direbahkan penuh. Ia menyesuaikan posisi duduknya pelan, sedikit canggung, seolah takut suara gerakannya terdengar terlalu jelas di ruang yang terlalu privat itu.

“Ini… berlebihan,” gumam Leora akhirnya, menatap sekeliling kabin.

Leonard melirik sekilas. “Standar.”

Leora mendengus kecil. “Biasanya kalau aku ke luar Negeri juga gini tapi gak berlebihan seperti ini..”

Pesawat mulai bergerak, perlahan meninggalkan landasan. Getaran halus terasa di bawah mereka. Leora refleks menggenggam sandaran kursinya, lalu menyadari hal itu dan segera melepaskannya, pura-pura tenang.

Leonard melihatnya. Tidak berkomentar.

Beberapa detik berlalu. Pesawat sudah stabil di udara. Sabuk pengaman masih terpasang.

Leora menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya. “Kamu sering Jalan-jalan begini? ”

“Ya.”

“Sendiri?”

Leonard terdiam sejenak. “Biasanya.”

Pramugari masuk sebentar, menawarkan minuman. Setelah mereka memilih, ruang itu kembali sunyi.

Leora menyesap minumnya, lalu berkata ringan, “Aneh ya. Di kantor kita hampir nggak pernah duduk sedekat ini.”

“Karena di kantor kita bukan pasangan,” jawab Leonard datar.

Leora tersenyum tipis. “Di luar kantor juga kita jarang bertingkah kayak pasangan.”

Leonard menoleh, menatap Leora lebih lama kali ini. Tatapannya tidak tajam lebih seperti menilai sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

“Kamu merasa terganggu?” tanyanya.

Leora menggeleng. “Enggak. Cuma… rasanya lucu aja. Kita sah, tapi kayak orang asing yang kebetulan satu pesawat.”

Leonard kembali menatap jendela. “Hah,memang itu kesepakatan di awal.”

Leora tiba-tiba merogoh tasnya, lalu mengeluarkan dompet tebal berwarna hitam. Terlalu tebal untuk ukuran dompet biasa.

Leonard melirik sekilas. Alisnya terangkat tipis.

Leora membuka bagian kartu. Satu per satu kartu berjejer rapi. Ia menariknya keluar, lalu mulai menghitung sambil bergumam.

“Satu… dua… tiga… empat… dan lima.”

Ia mengangguk puas sendiri.

“Ah, untungnya masih ada lagi digital lima ratus juta.”

Leonard menoleh penuh kali ini. Tatapannya jatuh ke kartu-kartu itu, lalu ke wajah Leora. Sudut bibirnya naik bukan senyum ramah. Lebih ke senyum… jijik bercampur heran.

“Kenapa kau membawa kartu sebanyak itu?” tanyanya datar.

Leora mendongak. “Hah? Hallo. Gue ini cewek. Kalau jalan, pasti banyak jajannya.”

Leonard menyandarkan punggungnya. “Emang banyak yang seberapa?”

Leora terkekeh kecil, lalu berkata asal,

“Mungkin… sepuluh miliar? Hahaha.”

Leonard tertawa. Bukan tawa kecil tapi tawa pendek yang terdengar seperti seseorang yang terbiasa menganggap angka itu tidak berarti apa-apa.

Tawa sugardaddy versi CEO kejam.

Leora langsung menyipitkan mata. “Jangan ketawa kayak gitu. Jijik tau.”

Leonard tidak menjawab. Ia justru meraih ponselnya.

“Nomor rekeningmu.”

“Apa?” Leora refleks menoleh. “Ngapain?”

Leonard menatap layar, jemarinya sudah siap mengetik. “Kasih.”

“Nggak,” jawab Leora cepat. “Ngapain juga gue—”

Leonard menoleh tajam. “Leora.”

Nada itu.

Nada yang tidak memberi ruang debat.

Leora mendengus kesal, lalu menyebutkan nomor rekeningnya dengan cepat. “Tapi jangan macem-macem ya. Gue cuma bercanda barusan.”

Leonard tidak menjawab. Beberapa detik kemudian, bunyi notifikasi terdengar dari ponsel Leora.

Leora menatap layarnya.

Sekejap.

Lalu matanya membesar.

“…Apa-apaan ini?!”

Ia langsung membalikkan layar ke arah Leonard. “Lima puluh miliar?! Gila ya lo?!”

Leonard menyimpan ponselnya santai. “Untuk jajan.”

Leora hampir berdiri dari kursinya. “What the fuck, Leonard! Gue cuma bercanda! Lagian uang sebanyak ini mau gue apain, hah?!”

“Pakai,” jawab Leonard singkat.

“Ini bukan uang receh!” suara Leora naik. “Gue nggak minta!”

“Sekarang sudah punya.”

Leora mengusap wajahnya frustasi. “Ini kelewatan. Gue nggak mau nerima.”

Leonard meliriknya. “Uangnya sudah masuk.”

“Ya gue balikin!”

Leonard menoleh penuh, suaranya tenang tapi menusuk.

“Jangan keras kepala.”

Leora menatapnya tajam. “Gue bukan cewek yang bisa lo lempar uang seenaknya!”

Ruangan kembali sunyi.

Hanya dengung mesin pesawat yang terasa makin berat.

Leonard menatap Leora beberapa detik, lalu berkata pelan,

“Aku tahu.”

Leora terdiam. Napasnya masih naik turun.

“Tapi aku juga bukan orang yang suka dengar istrinya bicara soal uang seolah itu masalah,” lanjut Leonard.

Kata istrinya itu membuat Leora tercekat sesaat.

Ia membuang pandangannya, bergumam kesal,

“Dasar… gila.”

Leonard tersenyum tipis. Kali ini bukan jijik.

Lebih ke puas.

...----------------...

Di sisi lain kota, Alastair Group tetap berdiri megah dingin, profesional, dan berjalan seperti biasa.

Hanya saja, kursi CEO kosong.

Untuk sementara, Adriel mengambil alih kendali. Semua keputusan strategis, tanda tangan penting, dan koordinasi lintas divisi melewati mejanya. Ia bekerja tenang, presisi, seolah sudah lama dipersiapkan untuk posisi itu.

Sementara itu, pendiri Alastair Group Presdir Lee, ayah Leonard sudah jarang terlihat di gedung tersebut. Beberapa hari terakhir, namanya justru ramai dibicarakan di lingkaran bisnis.

Ia resmi mendirikan perusahaan baru Davosa Group.

Perusahaan itu masih muda, tapi langsung menyita perhatian karena satu haln

kerja samanya dengan Damian Group, milik ayah Leora.

Dua nama besar.

Satu aliansi baru.

---

Di lantai tempat Leora biasa bekerja, suasana jauh lebih santai.

Riani, Dimas, Selin, dan Arga berkumpul di dekat meja Dimas, obrolan mereka melompat dari satu topik ke topik lain dari drama kantor, kopi yang makin pahit, sampai gosip divisi sebelah.

“Eh,” Selin tiba-tiba bersuara, menoleh ke kursi kosong di sudut.

“Hari ini Leora nggak masuk lagi.”

Riani melirik ke arah itu. “Iya ya… dari kemarin.”

“Masih sakit kali,” kata Dimas santai.

Arga tidak langsung menanggapi. Ia menatap kursi Leora lebih lama dari yang lain.

“Perutnya kemarin katanya sakit banget,” gumamnya. “Mudah-mudahan nggak kenapa-kenapa.”

Belum sempat obrolan berlanjut, seorang pria tinggi dengan rambut sedikit beruban mendekat. Pak Yore, salah satu karyawan senior yang dikenal pendiam dan rapi.

Ia membawa selembar kertas.

“Ini,” katanya sambil meletakkan surat di meja Riani. “Surat izin Leora. Dokter minta dia istirahat dulu.”

“Oh,” Selin mengangguk cepat. “Pantes.”

Pak Yore tersenyum tipis. “Iya. Jadi jangan dulu diganggu.”

Seolah teringat sesuatu, Pak Yore menambahkan dengan nada biasa saja,

“Pak Leonard juga beberapa hari ini tidak masuk.”

Keempatnya saling pandang.

“Hah?” Dimas refleks.

“Bos besar juga?”

“Iya,” jawab Pak Yore singkat. “Semua urusan atas di-handle Adriel.”

Riani mengerutkan kening. “Kok barengan, ya…”

Belum sempat ada yang berspekulasi lebih jauh

Tok. Tok.

Suara sepatu hak terdengar tegas mendekat.

Bu Sherly muncul dengan gaya khasnya map tebal di tangan, wajah tanpa senyum. Ia langsung meletakkan berkas di meja Dimas dengan bunyi cukup keras.

“Deadline nanti pukul satu siang,” katanya dingin.

“I-iya, Bu,” jawab Dimas cepat.

Bu Sherly menyilangkan tangan, tatapannya menyapu satu per satu wajah mereka.

“Apa aku tidak salah dengar barusan?”

Semua refleks diam.

“Leora lagi izin?” ulang Bu Sherly, nadanya naik sedikit.

“Iya, Bu,” jawab Riani hati-hati. “Masih sakit, katanya.”

Bu Sherly mendengus kecil. “Aneh. Baru naik, langsung sering izin.”

Arga spontan menegakkan badan. “Tapi performa kerja Leora bagus, Bu.”

Bu Sherly menoleh tajam. “Aku tidak sedang membahas performanya.”

Ia melirik surat di meja, lalu ke Pak Yore.

“Surat dokter atau tidak, tanggung jawab tetap jalan.”

Pak Yore mengangguk tenang. “Tentu, Bu.”

Bu Sherly kembali menatap keempatnya.

“Jangan ada yang menjadikan absennya Leora sebagai alasan kerja melambat. Dan..”

tatapannya berhenti di kursi kosong Leora,

“jangan terlalu sibuk mengurusi orang yang tidak ada di tempat.”

Ia berbalik pergi tanpa menunggu jawaban.

Setelah langkahnya menjauh, suasana mendadak hening.

Selin berbisik, “Kok rasanya… makin hari Bu Sherly makin sewot ya.”

Arga tidak menjawab. Ia hanya kembali menatap kursi kosong itu, dengan perasaan yang entah kenapa terasa ganjil.

1
pamelaaa
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!