Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02
BYURR...
" Cepat bangun, dasar pemalas,". Suara teriakan Linda menggema di seluruh ruangan.
Aku terbangun dengan nafas terengah, dan tubuh yang mengigil. Air dingin menetes dari ujung rambut ku, menusuk Hingga ke dalam kulit, seperti tertusuk ribuan jarum. Di hadapan ku, ibu tiriku berdiri dengan sorot mata penuh kebencian. Dengan sebuah ember kosong di tangannya, yang isi dari ember tersebut telah ia gunakan untuk mengguyur tubuhku yang Masih terlelap.
Linda melempar ember yang ia bawa kelantai, hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Lalu menyilangkan tanganya kedepan dada.
" Kau pikir, bisa tidur seenaknya di rumah ini, tanpa melakukan apapun," ucapnya dengan suara meninggi. Mendengar itu, aku pun hanya bisa menunduk. Menahan air mata yang akan terjatuh. Hari baru saja di mulai dan neraka pun kembali menyapa ku. Sempat terbesit dalam benakku, untuk melawan setiap perlakuan kejam yang aku terima. namun. apa yang dapat di lakukan oleh anak berusia delapan tahun seperti ku.
" Ada apa? Kenapa ribut sekali," suara dingin itu tiba-tiba terdengar dari ambang pintu. Nadanya berat dan tajam, seperti palu yang siap menghancurkan apa pun yang tak sesuai dengan keinginannya. Wajahnya, seperti biasa, tak menyimpan kehangatan sedikit pun. Hanya kebencian yang sejak lama menetap di sana, terutama padaku.
Linda, seolah tahu benar cara memainkan perannya, segera berjalan mendekat ke arahnya. Wajahnya penuh kepura-puraan, seolah dialah korban dalam cerita ini.
“Mas, anak pembawa sial ini mau mencoba bermalas-malasan. Sudah hampir setengah tujuh, dan dia masih saja tidur nyenyak. Bahkan seragam sekolah Leo pun belum dia setrika,” adunya dengan suara manis yang beracun.
Aku hanya diam, menatap lantai kamar yang basah oleh air dan air mataku sendiri. Entahlah, aku tak tahu apa yang pernah kulakukan hingga membuat Linda begitu membenciku. Sejak langkah pertamanya menapaki rumah ini, tatapannya padaku selalu penuh penolakan, seolah aku hanyalah beban, duri yang harus dicabut dari hidupnya.
Dan yang paling menyakitkan. ayahku membiarkannya. Selalu membiarkannya
....
8 TAHUN KEMUDIAN
Delapan tahun berlalu, kini usia ku sudah menginjak usia remaja. Aku tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik berusia 16 tahun.
Mungkin suatu anugerah aku dapat bertahan hidup hingga sampai saat ini. Di balik wajah ku yang terlihat cantik, terdapat banyak bekas luka yang tersembunyi di balik pakaian yang aku gunakan.
Di sinilah kisah ku yang sesungguhnya di mulai. Sebuah kisah yang menceritakan tentang kekejaman yang aku alami, bukan lagi tentang siksaan fisik, namun juga tentang pelecehan seksual yang aku dapatkan dari Leo, kakak tiri ku.
Aku duduk di bangku kelas sebelas, di sekolah negeri yang jaraknya tak jauh dari rumah. Tempat di mana aku bisa berpura-pura normal, bisa tertawa sejenak bersama teman-teman, dan melupakan sejenak bahwa saat lonceng terakhir berbunyi, aku harus kembali ke rumah neraka itu.
" Raya, ngelamun aja, ntar kesambet loo," ucap Dava membuyarkan lamunan ku sembari mengoyangkan bahu ku pelan.
Dava, teman sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Dia selalu ada saat aku butuh tawa, selalu tahu kapan aku sedang membutuhkan waktu untuk mengalihkan pikiran dari rumah yang penuh kebencian itu.
Aku tersenyum kecil, mencoba menghapus jejak-jejak kegelisahan yang selalu mengikutiku.
"Ah, jangan lebay, Va," jawabku, berusaha menutupi kegelisahan di wajahku.
"Cuma lagi mikir pelajaran aja." Ucapku.
Dava mendelik, menatapku dengan mata yang seolah bisa membaca apa yang tersembunyi di balik kata-kataku. Dia memang selalu seperti itu, tidak mudah dibohongi.
"Kau tahu, Ray," kata Dava sambil mencondongkan tubuhnya, berbisik agar tidak didengar teman-teman lain.
"kalau ada yang bisa bikin kamu lebih bahagia, aku di sini kok. Jangan terlalu dipendem, ya? Jangan kayak dulu lagi." Ucapnya lagi.
Aku menunduk, tidak bisa menatap matanya. Aku tidak ingin Dava terlalu banyak mengetahui kebohongan yang aku sembunyikan. Aku tidak ingin dia terjebak kedalam dunia yang penuh luka seperti yang telah aku alami.
"Terima kasih, Va," jawabku pelan, meski kata-kataku terasa kosong.
"Aku cuma... capek aja." Lanjut ku.
Dia mengangguk pelan, lalu kembali duduk tegak, seolah dia tahu aku tak ingin melanjutkan percakapan itu lebih jauh. Dava memang selalu bisa memahami batasan tanpa aku perlu mengatakan apa-apa.
Bel pulang sekolah pun berbunyi. Dan para siswa pun satu persatu mulai meninggalkan halaman sekolah. Dengan berat hati, aku melangkah kan kaki ku menuju neraka kehidupan yang selama ini aku huni. Sebuah rumah mewah dan megah, namun menyembunyikan kekejaman di dalam nya.
Aku membuka pintu perlahan, memasukan sedikit kepalaku untuk memastikan keadaan.
Setiap memasuki rumah ini, jantung selalu berdetak lebih cepat. Dan selalu berfikir perlakuan yang bagaimana, yang akan aku terima selanjutnya.
" Hey... pembunuh sini kamu," sebuah suara yang berasal dari ruang tamu. Suara itu terdengar penuh keangkuhan.
Aku berjalan mendekat menghampiri sang pemilik suara.
" Maaf..ma, tapi Raya bukan pembunuh," jawab ku dengan suara tegas, entah keberanian dari mana sehingga aku dapat mengatakan hal itu.
PLAKK...
" oh.. sudah berani menjawab rupanya," ucapnya seraya berdiri dan melayangkan tamparan keras di pipiku. Yang membuat tubuhku terhuyung ke belakang. Aku memegang pipiku yang terasa panas, ingin menangis tetapi rasanya air mataku telah mengering.
" Kalau kamu bukan pembunuh, lalu apa? bukankah ibumu mati itu karena ulah mu. Ibu yang berada di neraka sana pasti menyesal, melahirkan anak seperti mu."ucapnya dengan suara lirih tetapi menekan, sembari tangannya terus menunjuk-nunjuk kepalaku, hingga membuat kepala ku terdorong ke belakang.